Phinisi Mengarungi tiada akhir

Rabu, 20 Juli 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1996
TENTANG
PERAIRAN INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik Indonesia
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi
tanggal 13 Desember 1957 dan Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
telah menetapkan wilayah perairan Negara Republik Indonesia;
b. bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi hukum negara kepulauan dengan
dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut);
c. bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum
negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Kon-vensi tersebut pada huruf b;
d. bahwa sehubungan dengan itu, serta untuk memantapkan landasan hukum yang mengatur wilayah
perairan Indonesia, kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia
dalam rangka pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, maka perlu mencabut Undangundang
Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan mengganti dengan Undang-undang
yang baru;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3319);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERAIRAN INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat
mencakup pulau-pulau lain.
2. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah di-kelilingi oleh air dan yang berada di atas
permukaan air pada waktu air pasang.
3. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau
tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga
pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi,
pertahanan keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
4. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan
pedalamannya.
5. Garis air rendah adalah garis air yang bersifat tetap di suatu tempat tertentu yang menggambarkan
kedudukan permukaan air laut pada surut yang terendah.
6. Elevasi surut adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas
permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang.
7. Teluk adalah suatu lekukan jelas yang penetrasinya berbanding sedemikian rupa dengan lebar
mulutnya sehingga mengandung per-airan tertutup yang lebih dari sekedar suatu lengkungan pantai
semata-mata, tetapi suatu lekukan tidak merupakan suatu teluk kecuali apabila luasnya adalah seluas
atau lebih luas daripada luas setengah lingkaran yang garis tengahnya ditarik melintasi mulut lekukan
tersebut.
8. Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing di atas alur laut
tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk
transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui atau di atas
perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.
9. Konvensi adalah United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982, sebagaimana telah
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Pasal 2
(1) Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan.
(2) Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pu-lau-pulau atau bagian pulau-pulau
yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya
merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan
bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
BAB II
WILAYAH PERAIRAN INDONESIA
Pasal 3
(1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan
pedalaman.
(2) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi dalam garis pangkal lurus
kepulauan tanpa mem-perhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.
(4) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang ter-letak pada sisi darat dari garis air rendah
dari pantai-pantai Indo-nesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi
darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 4
Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan,
dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman
serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Pasal 5
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.
(2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan,
maka digunakan garis pang-kal biasa atau garis pangkal lurus.
(3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar
dari kepulauan Indonesia.
(4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100
(seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal
yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu
kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
(5) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke
elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang se-cara
permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau
sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
(6) Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai.
(7) Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan
titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau
yang terdapat di dekat sepanjang pantai.
Pasal 6
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dicantumkan
dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula
dibuat daftar titik-titik koordinat geografis yang secara jelas memerinci datum geodetik.
(2) Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia
atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pemerintah Indonesia mengumumkan sebagaimana mestinya peta dengan skala atau skala-skala yang
memadai atau daftar titik-titik koordinat geografis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta
mendepositkan salinan daftar titik-titik koordinat geografis tersebut pada Sekretariat Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 7
(1) Di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat
menarik garis -garis penutup pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.
(2) Perairan pedalaman terdiri atas :
a. laut pedalaman; dan
b. perairan darat.
(3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah bagian laut yang terletak pada
sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah.
(4) Perairan darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah segala perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang
terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Pasal 8
Batas luar laut teritorial Indonesia diukur dari garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 9
(1) Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 4, Pemerintah Indonesia menghormati persetujuan dan perjanjian
yang ada dengan negara lain yang menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan
kepulauannya.
(2) Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1)
termasuk sifat, ruang lingkup, dan daerah berlakunya hak dan kegiatan tersebut, atas permintaan dari
salah satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan per-setujuan bilateral.
(3) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh dialihkan atau dibagi kepada negara ketiga atau
warga negaranya.
(4) Kabel telekomunikasi bawah laut yang telah dipasang oleh negara atau badan hukum asing yang
melintasi perairan Indonesia tanpa memasuki daratan tetap dihormati.
(5) Pemerintah Indonesia mengizinkan pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4) setelah diterima-nya pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai letak dan maksud
untuk memperbaiki dan mengganti kabel-kabel tersebut.
Pasal 10
(1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada
persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah
garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik ter-dekat pada garis pangkal dari mana
lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau
keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negara
menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
BAB III
HAK LINTAS BAGI KAPAL-KAPAL ASING
Bagian Pertama
Hak Lintas Damai
Pasal 11
(1) Kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tak ber-pantai, menikmati hak lintas damai
melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.
(2) Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial dan perairan ke-pulauan Indonesia untuk keperluan:
a. melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di
tengah laut atau fasilitas pela-buhan di luar perairan pedalaman; atau
b. berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau
fasilitas pelabuhan tersebut.
(3) Lintas damai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus terus-menerus, langsung serta secepat
mungkin, mencakup berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi
yang normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi
pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.
Pasal 12
(1) Lintas dianggap damai apabila tidak merugikan kedamaian, keter-tiban, atau keamanan Indonesia, dan
dilakukan sesuai dengan ke-tentuan Konvensi dan hukum internasional lainnya.
(2) Lintas oleh kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan
Indonesia, apabila kapal tersebut se-waktu berada di laut teritorial dan atau di perairan kepulauan
mela-kukan salah satu kegiatan yang dilarang oleh Konvensi dan atau hukum internasional lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lintas damai sebagaimana dimak-sud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah Indonesia dapat menangguhkan sementara lintas damai segala jenis kapal asing dalam
daerah tertentu di laut teritorial atau perairan kepulauan, apabila penangguhan demikian sangat
diperlu-kan untuk perlindungan keamanannya, termasuk keperluan latihan senjata.
(2) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku hanya setelah dilakukan pengumuman
sesuai dengan ketentuan yang ber-laku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penangguhan sementara sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Apabila diperlukan dengan memperhatikan keselamatan navigasi, Pemerintah Indonesia menetapkan
alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial dan perairan kepulauan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial
dan perairan kepulauan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerin-tah.
Pasal 15
Dalam melaksanakan hak lintas damai di laut teritorial dan perairan kepulauan, kapal selam dan kendaraan
bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan bendera
kebangsaan.
Pasal 16
Kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya
berbahaya atau beracun, apabila me-laksanakan hak lintas damai harus membawa dokumen dan mematuhi
tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian inter-nasional.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dagang, kapal perang dan kapal pemerintah asing
yang dioperasikan untuk tujuan niaga dan bukan niaga dalam melaksanakan hak lintas damai melalui
perairan Indonesia, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Pasal 18
(1) Lintas alur laut kepulauan dalam alur-alur laut yang khusus ditetapkan adalah pelaksanaan hak
pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi dengan cara normal hanya
untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, dan secepat mungkin serta tidak terhalang.
(2) Segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara pantai maupun negara tak berpantai,
menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian dari
laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara negara asing yang
melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Pemerintah Indonesia menentukan alur laut, termasuk rute pener-bangan di atasnya, yang cocok
digunakan untuk pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan oleh kapal dan pesawat udara asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan juga dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui alur laut.
(2) Alur laut dan rute penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan dengan suatu
rangkaian garis sumbu yang bersam-bungan mulai dari tempat masuk rute hingga tempat ke luar
melalui perairan kepulauan dan laut teritorial yang berhimpitan dengannya.
(3) Apabila diperlukan, setelah diadakan pengumuman sebagaimana mestinya, alur laut dan skema
pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan sebelumnya dapat diganti dengan alur laut dan skema pemisah
lalu lintas lainnya.
(4) Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas, Pemerintah Indonesia
harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang untuk mencapai kesepa-katan
bersama.
(5) Pemerintah menentukan sumbu-sumbu alur laut dan skema pemisah lalu lintas dan menetapkannya
pada peta-peta yang diumumkan.
(6) Kapal asing yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus me-matuhi alur-alur laut dan skema
pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peratur-an Pemerintah.
Bagian Ketiga
Hak Lintas Transit
Pasal 20
(1) Semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran dan penerbangan semata- mata
untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial
Indonesia di selat antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut
lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya.
(2) Hak lintas transit dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lainnya, dan
atau peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 21
(1) Apabila diperlukan dengan memperhatikan keselamatan navigasi, Pemerintah Indonesia dapat
menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk pelayaran di lintas transit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan alur laut dan skema pemisah lalu lintas transit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Hak Akses dan Komunikasi
Pasal 22
(1) Apabila suatu bagian dari perairan kepulauan Indonesia terletak di antara dua bagian wilayah suatu
negara tetangga yang langsung berdampingan, Indonesia menghormati hak-hak yang ada dan kepentingan-
kepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradi-sional oleh negara yang
bersangkutan di perairan tersebut melalui suatu perjanjian bilateral.
(2) Pemerintah Indonesia menghormati pemasangan kabel laut dan mengizinkan pemeliharaan dan
penggantian kabel yang sudah ada dengan pemberitahuan terlebih dahulu sebagaimana mestinya.
BAB IV
PEMANFAATAN, PENGELOLAAN, PERLINDUNGAN,
DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN PERAIRAN INDONESIA
Pasal 23
(1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkung-an perairan Indonesia dilakukan
berdasarkan peraturan perundang- undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional.
(2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian ling-kungan perairan Indonesia
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
(3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian
lingkungan perairan Indonesia seba-gaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan
koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB V
PENEGAKAN KEDAULATAN DAN HUKUM
DI PERAIRAN INDONESIA
Pasal 24
(1) Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di
bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelang-garannya,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional lainnya, dan peraturan
perundang-undangan yang ber-laku.
(2) Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut
teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum
internasional lainnya, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
(3) Apabila diperlukan, untuk pelaksanaan penegakan hukum sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
(1) Selama Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) belum ditetapkan, maka
pada Undang-undang ini dilam-pirkan peta ilustratif dengan skala atau skala-skala yang menggambarkan
wilayah perairan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis pangkal
kepulauan Indonesia.
(2) Peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia tetap
berlaku sepanjang tidak berten-tangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undangundang
ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Dengan berlakunya Undang-udang ini, Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942)
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 1996
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Agustus 1996
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 73
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1996
TENTANG
PERAIRAN INDONESIA
UMUM
Berdasarkan fakta sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia bahwa Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, secara geografis adalah negara kepulauan. Oleh sebab itu,
pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan suatu pernyataan
(deklarasi) menge-nai Wilayah Perairan Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :
"Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah
daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional yang
berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak
bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan kese-lamatan Negara Indonesia.
Penentuan batas landas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan
titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan diatur selekas-lekasnya dengan Undang-undang".
Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 tersebut, mengandung makna bahwa Negara Indonesia adalah satu
kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan air (lautan) secara tidak terpisahkan sebagai "Negara
Kepulauan".
Negara kepulauan tersebut, kemudian diberikan landasan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Deklarasi tersebut
mengakibatkan suatu perubahan mendasar dalam struktur kewilayahan Negara Republik Indonesia karena
laut tidak lagi dianggap sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi pemersatu yang menjadikan kese-luruhannya
suatu kesatuan yang utuh.
Deklarasi yang diumumkan pada saat perjuangan bangsa Indonesia mengembalikan Irian Barat ke dalam
wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia juga banyak menghadapi kesulitan, antara lain karena
perairan Indonesia di sekitar Irian Barat masih dianggap sebagai perairan internasional yang bebas
dimanfaatkan oleh siapa saja.
Selain alasan terhadap ancaman pertahanan-keamanan, tindakan Pemerintah ini didasarkan pula bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta ruang udara di atasnya diperuntukkan bagi
kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Kebijaksanaan tersebut juga ingin memberikan bentuk nyata
kepada kesatuan dalam keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika) yang menjadi semboyan bangsa
Indonesia.
Baik Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 maupun Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia dilandasi oleh Wawasan Nusantara, yang kemudian sesuai dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983 ditetapkan sebagai wawasan dalam mencapai pembangunan
nasional yang mencakup perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan
pertahanan-keamanan.
Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desemb er 1957 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan
agar konsepsi hukum negara kepulauan diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan tersebut
akhirnya telah menghasilkan pengaku-an masyarakat internasional secara universal (semesta) yaitu dengan
diterimanya pengaturan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab
IV Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi tersebut telah
diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Perubahan kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan membawa implikasi yang
sangat luas tidak saja terhadap kepentingan nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di
perairan Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara kepulauan sebagai penjelmaan
aspirasi bangsa Indonesia, membawa konsekuensi bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak
masyarakat internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional, terutama hak lintas damai dan
hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal-kapal asing.
Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini Indonesia tidak ber-maksud mengurangi
hak- hak dunia pelayaran yang sah dan tercapai suatu keseim-bangan antara keinginan Indonesia untuk
mengamankan keutuhan wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
di satu pihak, dan kepentingan dunia pelayaran internasional di pihak lain, asas negara kepulauan ini
akhirnya diterima dunia internasional.
Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan
Indonesia bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang kemudian diakui oleh dunia
internasional dengan dimuatnya asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam BAB IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982.
Ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Konvensi ter-sebut mengandung
berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan sebagai-mana diatur dalam Undang-undang
Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Salah satu pengembangan tersebut adalah dengan
diakuinya garis pangkal lurus kepulauan, di samping garis pangkal biasa dan garis pangkal lurus sebagai
cara pengukuran garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan cara pengukuran tersebut, maka dalam
wilayah perairan Indonesia terdapat lebih kurang 17.508 pulau yang berada di bawah kedaulatan Negara
Republik Indonesia.
Dengan demikian, alasan yang mendorong bangsa Indonesia untuk mencetuskan asas negara kepulauan
kemudian mengundangkannya, sampai saat ini masih tetap relevan. Akan tetapi dengan berkembangnya
berbagai kepentingan dan kegiatan di perairan Indonesia, maka kepentingan nasional dan internasional di
perairan Indonesia perlu ditata, diamankan dan dikembangkan secara terarah dan bijaksana sesuai dengan
tujuan pembangunan nasional.
Selain kepentingan pertahanan-keamanan, persatuan- kesatuan, dan ekonomi, juga perlindungan
lingkungan terhadap bahaya pencemaran dan pelestariannya serta kepentingan pengelolaan dan
pemanfaatan di perairan Indonesia, dirasakan semakin mendesak.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang- undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia perlu dicabut dan diganti dengan undang-undang yang baru, karena sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam BAB IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia menganut asas
negara kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Deklarasi tanggal 13 Desember 1957, dan merupakan
penerapan dari Pasal 46 huruf a Konvensi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Sebagai negara kepulauan, untuk menentukan garis pangkal kepulauan Indonesia pada prinsipnya
dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan.
Ayat (2)
Tidak dapat dipergunakannya garis pangkal lurus kepulauan disebabkan kondisi geografis atau keadaan
pantai dan pulau sedemikian rupa, maka di-pergunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dapat tidaknya garis pangkal lurus kepulauan ditarik dari dan ke titik ter-luar pada garis air rendah dari
suatu elevasi surut tergantung dari dua syarat, yaitu:
a. bahwa elevasi surut tersebut terletak pada suatu jarak dari suatu pulau terdekat tidak lebih dari 12 (dua
belas) mil laut; atau
b. pada elevasi surut tersebut terdapat bangunan tetap, misalnya mercu suar.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 13 dan Pasal 47 ayat (4) Konvensi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan "peta dengan skala atau skala-skala yang memadai" adalah peta laut
(hidrografi) dengan skala besar yang dipilih yang memadai penggunaannya bagi penyelenggaraan
penegakan kedaulatan dan hukum.
- Yang dimaksud dengan "titik-titik koordinat geografis" adalah titik-titik yang ditetapkan dengan
lintang dan bujur geografis.
- Yang dimaksud dengan "datum geodetik" adalah referensi matematik yang dipergunakan sebagai dasar
pengukuran titik-titik pangkal dari garis -garis pangkal wilayah negara kepulauan, yang ditetapkan oleh
Pemerintah Indonesia.
Ayat (2)
Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ayat ini, merupakan peta dengan skala besar yang dibuat oleh
lembaga Pemerintah yang berwenang di bidang pemetaan hidro-oseanografi. Pembuatan peta di-lakukan
secara berlanjut sesuai dengan perubahan, baik perubahan kondisi geografis yang disebabkan oleh peristiwa
alam maupun perubahan berdasar-kan Konvensi, perjanjian, atau persetujuan dengan negara tetangga.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan "kuala" adalah suatu perairan yang berada di mu lut sungai, yang untuk
kepentingan tertentu tunduk pada rezim ter-tentu yang biasanya dipergunakan untuk wilayah
kehidupan ikan.
- Yang dimaksud dengan "anak laut" adalah bagian dari laut yang terletak dalam suatu lekukan yang
jelas yang mengandung perairan yang tertutup dan yang secara historis merupakan bagian dari wilayah
Indonesia.
Ayat (2)
Dalam keadaan tertentu perairan pedalaman dapat terdiri dari laut pedalaman dan perairan darat. Hal ini
terjadi apabila ditarik garis penutup yang perairannya tidak berjatuhan sama dengan garis air rendah.
Misalnya di teluk yang perairannya cukup luas sehingga ada bagian laut terletak pada sisi darat garis
penutup. Khusus untuk mulut sungai agak sukar untuk memisahkan bagian air yang terletak pada sisi darat
dari garis air rendah dari bagian air yang terletak pada garis lurus yang menutup mulut sungai, sehingga
seluruh perairan yang terletak di sisi darat dari garis penutup harus dianggap sebagai perairan darat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Meskipun Indonesia mempunyai kedaulatan penuh di perairan kepulauan-nya, tetapi Indonesia mempunyai
kewajiban untuk menghormati perjanjian-perjanjian atau persetujuan-persetujuan yang dibuat dengan
negara- negara lain tentang penggunaan secara sah bagian-bagian dari perairan kepulau-annya untuk
pelaksanaan hak perikanan tradisional, hak akses dan komu -nikasi negara tetangga yang langsung
berdampingan, pemasangan, pemeli-haraan, dan penggantian kabel-kabel di dasar laut oleh negara-negara
lain.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pemberitahuan sebagaimana mestinya" adalah pemberitahuan resmi secara tertulis
yang dilakukan oleh pemilik kabel melalui saluran diplomatik kepada Pemerintah Indonesia disertai
penjelasan antara lain mengenai letak, perkiraan waktu penyelesaian, peralatan yang digunakan, jenis
perbaikan yang dilakukan, dan maksud perbaikan atau penggantian kabel-kabel, sebelum dilakukan
kegiatan tersebut.
Pasal 10
Di laut teritorial tertentu, Indonesia tidak dapat menetapkan laut teritorialnya secara penuh sampai dengan
jarak 12 (dua belas) mil laut dari garis pangkal lurus kepulauan karena laut teritorialnya tumpang tindih
dengan negara- negara tetangga yang letak pantai-pantainya berhadapan atau berdampingan. Untuk menetapkan
garis batas laut teritorial demikian maka akan ditarik garis tengah yang diukur sama jauh
dari titik-titik pangkal pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing diukur.
Apabila terdapat hal-hal khusus seperti adanya hak-hak historis atau adanya kondisi geografis khusus
seperti bentuk pantai atau adanya pulau, maka garis batas laut teritorial tersebut akan ditetapkan melalui
perundingan untuk mencapai suatu kesepakatan.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "menikmati hak lintas damai" adalah hak yang diperuntukkan bagi setiap kapal
asing untuk melaksanakan pelayaran pada lintas damai sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum
internasional lain-nya, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
- Yang dimaksud dengan "lintas" adalah semua pelayaran dari :
a. laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia melalui laut teritorial atau perairan kepulauan
Indonesia menuju ke laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tanpa memasuki perairan
pedalaman; atau
b. laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di
tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 18 ayat (1) Konvensi.
- Yang dimaksud dengan "navigasi" adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik lain
dengan lancar dan dapat menghindari bahaya dan atau rintangan pelayaran agar dapat menyelesaikan
perja-lanan dengan selamat dan sesuai dengan jadwal
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kegiatan yang dilarang oleh Konvensi" adalah kegiatan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 19 ayat (2) yaitu:
a. setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuh-an wilayah atau kemerdekaan
politik negara pantai,atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum
internasional sebagai-mana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
b. setiap latihan atau praktek senjata apapun;
c. setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau
keamanan negara pantai;
d. setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai;
e. peluncuran, pendaratan, atau penerimaan setiap pesawat udara;
f. peluncuran, pendaratan, atau penerimaan setiap peralatan dan perleng-kapan militer;
g. bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara berten-tangan dengan peraturan
perundang-undangan bea cukai,fiskal, imigrasi, atau saniter negara pantai;
h. setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang berten-tangan dengan Konvensi;
i. setiap kegiatan perikanan;
j. kegiatan riset atau survei;
k. setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau
instalasi lainnya negara pantai; atau
l. setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Penegakan kedaulatan dan perlindungan keselamatan negara di laut erat hubungannya dengan pertahanan
dan keamanan negara. Oleh karena itu, kalau perlu, untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara,
Pemerintah Indonesia berwenang untuk menutup sementara waktu bagian-bagian ter-tentu dari perairan
Indonesia bagi pelayaran kapal-kapal asing.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 25 ayat (3) Konvensi.
Ayat (2)
Penangguhan demikian harus dilakukan dengan suatu pengumuman yang wajar, misalnya dalam bentuk
pengumuman kepada para pelaut (notice to mariners).
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 25 ayat (3) Konvensi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Agar pengawasan terhadap kapal-kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai di perairan Indonesia
dapat dilaksanakan dengan baik, serta untuk men-jamin keselamatan pelayaran, Pemerintah Indonesia
menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial dan perairan kepulauannya. Lintas
damai melalui alur-alur yang ditetapkan khususnya diperlukan bagi lintas kapal tanki, kapal bertenaga
nuklir, dan kapal yang mengangkut muatan yang ber-bahaya atau beracun, termasuk limbah radio aktif.
Alur lintas damai demikian dapat juga ditetapkan untuk kepentingan per-lindungan perikanan, termasuk
budidaya laut dan pelestarian lingkungan laut.
Penetapan alur-alur laut, terutama skema pemisah lalu lintas tersebut dilakukan dengan bekerja sama
dengan organisasi internasional yang berwenang terutama dalam masalah teknis keselamatan pelayaran.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 22 Konvensi.
Pasal 15
Kapal selam yang berlayar di perairan Indonesia diwajibkan untuk berlayar di permukaan air. Apabila
kapal selam asing tersebut tidak memenuhi ketentuan ini maka lintas yang dilakukannya dianggap tidak
damai, dan kapal tersebut diperingatkan untuk segera meninggalkan perairan Indonesia.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 20 Konvensi.
Pasal 16
Setiap kapal asing bertenaga nuklir dan kapal asing yang mengangkut bahan nuklir atau bahan lain yang
sifatnya berbahaya atau beracun, harus mematuhi aturan-aturan serta standar internasional yang berlaku.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 23 Konvensi.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Untuk menegakkan kedaulatan, keselamatan perairan dan ruang udara di atasnya, Pemerintah Indonesia
menentukan alur-alur laut kepulauan untuk digunakan oleh kapal asing, dan ruang udara di atasnya untuk
digunakan sebagai rute penerbangan oleh pesawat udara asing. Penetapan alur-alur laut dan rute
penerbangan ini dilakukan dengan pertimbangan agar dapat dilaku-kan lintas yang langsung dan terusmenerus,
serta dengan menempuh jarak yang terdekat. Di samping itu, untuk menjamin keselamatan
pelayaran, Pemerintah Indonesia dapat juga menetapkan skema pemisah lalu lintas di alur-alur laut yang
dianggap rawan kecelakaan.
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (1) Konvensi.
Ayat (2)
Berlainan dengan alur laut untuk lintas damai, alur laut kepulauan dan rute penerbangan di atasnya tidak
merupakan suatu alur atau koridor yang secara fis ik ada secara nyata melainkan merupakan suatu rute lintas
yang hanya ada apabila sedang digunakan. Alur ini ditentukan dengan menetapkan titik-titik sumbu atau
poros untuk menentukan lebar alur laut kepulauan yang dapat digunakan. Ketentuan ini merupakan
penerapan dari Pasal 53 ayat (5) Konvensi.
Ayat (3)
Untuk menegakkan kedaulatan dan keamanan negara serta dengan memper-hatikan keselamatan pelayaran,
apabila diperlukan, Pemerintah Indonesia dapat sewaktu-waktu mengganti alur laut dan skema pemisah lalu
lintas yang telah ditetapkan. Penggantian alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas ini harus diumumkan
secara wajar, misalnya dalam bentuk pengumuman kepada para pelaut (notice to mariners).
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (7) Konvensi.
Ayat (4)
Di laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia mempunyai kedaulatan penuh. Oleh karena itu
pengajuan usul untuk menentukan atau mengganti alur laut atau skema pemisah dimaksudkan semata-mata
untuk meminta pertimbangan dari segi keselamatan pelayaran. Organisasi internasional yang dimaksud
adalah International Maritime Organization (IMO).
Ketentuan ini merupakan penerapan dari Pasal 53 ayat (9) Konvensi.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Kecuali dengan izin Pemerintah Indonesia, kapal dan pesawat udara asing yang berlayar atau terbang di
luar alur-alur laut kepulauan yang telah di-tetapkan dianggap tidak melaksanakan hak lintas alur kepulauan.
Apabila kapal tersebut berlayar juga di luar alur-alur laut yang telah ditetapkan untuk lintas damai,
dianggap melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak lintas transit dalam Undang-undang ini adalah hak lintas transit di Selat Malaka dan di Selat
Singapura.
Yang dimaksud dengan "ketentuan Konvensi" adalah hak lintas transit sebagaimana ditentukan antara lain
dalam Pasal 39 Konvensi yaitu:
a. lewat dengan cepat melalui atau di atas selat;
b. menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik negara Indonesia atau dengan cara apapun yang melanggar asas-asas
Hukum Internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
c. menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus-menerus, langsung dan secepat
mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena "force majeure" atau karena gangguan navigasi;
dan
d. memenuhi ketentuan internasional tentang :
1) keselamatan pelayaran di laut;
2) pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal;
3) keselamatan penerbangan sesuai peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization); dan
4) memonitor frekuensi radio yang ditunjuk.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Hak akses dan komunikasi yang dimaksudkan adalah hak akses dan komunikasi sebagaimana telah diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1983 tentang Pengesahan atas Treaty between Malaysia and
Indonesia relating to the Legal Regime of the Archipelagic State and Rights of Malaysia in the Teritorial
Sea, Archipelagic Waters and the Territory of Indonesia lying between East and West Malaysia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 7, Tam-bahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3248).
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan nasional yang ber-laku", misalnya Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undangundang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta
peraturan perundang-undangan dari pelbagai konvensi atau perjanjian internasional lainnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "administrasi dan yurisdiksi" adalah administrasi dalam rangka pelaksanaan
yurisdiksi yang dilakukan oleh instansi yang terkait dengan masalah lingkungan perairan Indonesia.
Misalnya mengenai penetapan Baku Mutu Lingkungan atau Analisis Dampak Lingkungan yang dilakukan
oleh Kantor Menteri Negara Ling-kungan Hidup, maka mengenai administrasi tersebut antara lain
mengenai persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan Baku Mutu Lingkungan atau Analisis Dampak
Lingkungan tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pelaksanaan penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan
tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dilakukan untuk memelihara
keutuhan wilayah perairan Indonesia serta menjaga dan melindungi kepentingan nasional di laut. Sanksi
atas pelanggaran kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, antara lain dapat dilakukan dengan
memperingatkan kapal asing yang bersangkutan untuk segera meninggalkan perairan Indonesia.
Ayat (2)
Yurisdiksi terhadap kapal asing dapat mengenai yurisdiksi pidana, perdata, atau yurisdiksi lainnya.
Mengenai yurisdiksi pidana dan perdata antara lain berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 27
dan Pasal 28 Konvensi, hukum internasional lainnya, dan atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 27 ayat (1) Konvensi menyatakaan bahwa yurisdiksi kriminal negara pantai tidak dapat dilaksanakan
di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan
penyidikan yang bertalian dengan kejahatan apapun yang dilakukan di atas kapal selama lintas demikian,
kecuali :
a. apabila akibat kejahatan itu dirasakan di negara pantai;
b. apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut
wilayah;
c. apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nahkoda kapal atau oleh wakil diplomatik atau
pejabat konsuler negara bendera; atau
d. apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan
psikotropika.
Selanjutnya Pasal 28 Konvensi menyatakan bahwa yurisdiksi perdata tidak dapat dilakukan terhadap kapal
asing atau orang yang berada di atasnya, kecuali :
a. hanya apabila berkenaan dengan kewajiban atau tanggung jawab ganti rugi yang diterima atau yang
dipikul oleh kapal itu sendiri dalam mela-kukan atau untuk maksud perjalanannya melalui perairan
Indonesia; atau
b. untuk melaksanakan eksekusi atau penangkapan sesuai dengan undang-undang yang berlaku dengan
tujuan atau guna keperluan proses perdata terhadap suatu kapal asing yang berada atau melintasi laut
teritorial atau perairan kepulauan setelah meninggalkan perairan pedalaman. Yang dimaksud dengan
"yurisdiksi lainnya" misalnya yurisdiksi administra-tif.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (2) mengatur mengenai penegakan kedaulatan dan hukum di perairan
Indonesia, namun karena mengenai pene-gakan kedaulatan telah diatur secara tegas dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988, maka yang perlu
dikoordinasikan hanya mengenai pelaksanaan penegakan hukum.
Penegakan hukum dilaksanakan oleh instansi terkait, antara lain Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian,
Departemen Keuangan, dan Departemen Kehakiman, sesuai dengan wewenang masing-masing instansi
tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional.
Pasal 25
Ayat (1)
Peta ilustratif yang dilampirkan dalam Undang-undang ini mempunyai sifat sementara sampai
ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang
menggambarkan wilayah per-airan Indonesia atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis
pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
Pelampiran peta ilustratif dalam Undang-undang ini dilakukan dengan per-timbangan bahwa pembuatan
peta dengan skala atau skala-skala yang me-madai atau daftar titik-titik koordinat geografis dari garis -garis
pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) memer-lukan waktu yang
cukup lama. Oleh sebab itu, demi kepastian hukum dalam Undang-undang ini dilampirkan peta ilustratif
wilayah perairan Indonesia. Dalam hal terdapat batas wilayah tertentu di perairan Indonesia masih dalam
perundingan dengan negara tetangga, maka batas wilayah tertentu tersebut akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah berdasarkan hasil perundingan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3647
Kutipan : MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1996

HUKUM PAJAK

HUKUM PAJAK

PERTANYAAN
1. Tuliskan beberapa istilah mengenai Hukum Pajak ?
2. Tuliskan pengertian Hukum Pajak secara umum dan berdasarkan pendekatan pengertian pajak ?
3. Tuliskan dan jelaskan pembagian Hukum Pajak beserta contohnya ?
4. Jelaskan perbedaan pendekatan Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formiil?

JAWABAN
1. Istilah-istilah yang terdapat dalam Hukum Pajak :
 Pajak adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Fiscal berasal dari bahasa Ltin fisicale = kantung uang
 Belastingstelsel berasal dari bahasa Belanda = Perpajakan
 Tax law berasal dari bahasa inggris = hukum pajak
 Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
 Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
 Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
 Pejabat yang berwenang adalah Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Gubernur, Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan.
 Peraturan perundang-undangan perpajakan adalah semua peraturan di bidang perpajakan.
 Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
 Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
 Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 Surat Uraian Banding adalah surat terbanding kepada Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas alasan Banding yang diajukan oleh pemohon banding.
 Surat Tanggapan adalah surat dari tergugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas Gugatan yang diajukan oleh penggugat.
 Surat Bantahan adalah surat dari pemohon Banding atau penggugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi bantahan atas surat uraian Banding atau Surat Tanggapan.

2. Pengertian Hukum Pajak secara umum dan berdasarkan pendekatan pengertian pajak :

 Pengertian hukum pajak secara umum
Secara umum hukum Pajak ialah keseluruhan peersatuan yang ada atau diadakan untuk mengatur hubungan hukum di bidang perpajakan antara pemerinyah selaku pemungut pajak dan rakyat sebagai wajib pajak atau pembayar pajak.
 Pengertian hukum pajak berdasarkan pendekatan
• Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat di tunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum dari batasan ini beliau juga mempunyai pengertian lain dalam buku ke duanya yakni Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat ke kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk publik saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai publik investmen.
• Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja menyatakan Pajak adalah iuran wajib, barupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
• Menurut Prof. PJA. Adriani menyatakan Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelemggarakan pemerintahan.
• Prof. Dr Smeets menyatakan bahwa Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
• Menurut pendapat saya yakni pajak adalah iuran yang dikeluarkan masyarakat atau rakyat yang disebut sebagai wajib pajak baik berupa uang atau barang yang di berikan kepada penguasa atau pemerintah dalam hal ini pemungut pajak yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi pidana yang melanggarnya untuk membiayai program pemerintah untuk memenuhi kebutuhan secara umum.

3. Pembagian Hukum Pajak beserta contohnya :
 Berdasarkan Substansinya:
• Hukum Pajak Materiil
Hukum pajak material membuat norma-norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak ini, berapa besar pajaknya, dengan kata lain segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya hutang pajak dan pola hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Contoh :
1. Undang-undang No.18 tahun 2000 tentang pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
2. Undang- undang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ayat (1)
3. Menurut Undang Undang No.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan,yang didalamnya memuat subjek, objek dan bukan objek Pph.
• Hukum Pajak Formiil
Hukum pajak fomiil yaitu memuat ketentuan-ketentuan yang mendukung ketentuan hukum pajak materiil yang diperlukan untuk melaksanakan atau merealisasikan ketentuan hukum materiil.
Contoh :
1. Undang-undang No.6 tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.9 tahun 1004 Terntang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-undang No.17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
3. Undang-undang No.19 tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat paksa
 Berdasarkan ruang lingkup berlakunya:
• Hukum Pajak Internasional
Hukum Pajak Internasional adalah hukum pajak yang ditetapkan oleh dua Negara atau lebih dan berlaku pada wilayah yang terikat dari perjanjian yang diadakan untuk itu. Hukum Pajak Internasional dibagi atas dua yakni dalam arti sempit dan arti luas.
Contoh :
UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto.
• Hukum Pajak Nasional
Hukum Pajak Nasional adalah hukum pajak yang ditetapkan oleh suatu Negara dan berlaku dalam wilayah Negara yang mrnetapkannya. Dalam hukum pajak nasional terdapat hukum pajak daerah yang ditetapkan oleh suatu daerah tertentu dalam wilayah Negara dan berlaku hanya pada daerah yang bersangkutan,.
Contoh :
1. UU RI NO 17 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas uu no 7 thn 1983 tentang pajak penghasilan
2. UU RI NO 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua atas uu no 8 thn 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah
• Hukum Pajak Lokal
Hukum pajak lokal Ialah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin daerah tempat mereka tinggal.(Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)
Contoh :
Pasal 79 mencantumkan sunber pendapatan daerah terdiri dari
1. PAD (pendapatan asli daerah )
a. Hasil pajak daerah
b. Hasil retribusi daerah
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. Dan lain-lain penghasilan daerah yang sah
2. Dana perimbangan
3. Pinjaman daerah
 Berdasarkan Jenisnya:
• Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) ialah Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri / PPh OPDN adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak orang pribadi atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.
Contoh :
UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan UU Nomor 10 Tahun 1994.
• Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ialah Pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.
Contoh :
Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.
• Undang-undang Pajak Pertambahan nilai barang dan jasa dan penjualan atas barang mewah ialah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen
Contoh :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 berikut revisinya, yaitu UU No.11/1994 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.18/2000.
• Undang-undang Daerah ialah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, Pajak daerah merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintahan daerah.
Contoh :
Pajak tontonan, pajak reklame, PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) PBB, Iuran kebersihan, Retribusi terminal, Retribusi parkir, Retribusi galian pasir.

5. Perbedaan pendekatan Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formiil :
Pembedaan antara hukum pajak materiil dan formiil sangat penting, terutama harus dimengerti bahwa peraturan dari hukum formal tidak pernah akan menimbulkan suatu utang pajak, ini semata-mata ditentukan oleh hukum material. Tetapi adakalanya karena adanya peraturan-peraturan formal tertentu suatu pajak yang telah ditentukan oleh peraturan material, pemungutanya tidak mungkin diselenggarakan.

TAHAP PROSES PENUNDAAN PEMBAYARAN HUTANG

TAHAP PROSES PENUNDAAN PEMBAYARAN HUTANG


1. Penundaan sementara kewaiban pembayaran hutang setelah syaratsyarat administrasi telah terpenuhi, hakim Pengadilan Niaga harus segera mengabulkan dan harus menunjuk hakim pengawas dan mangangkat satu atau lebih pengurus (dalm kepailitan disebut Kurator ) Putusan pengadilan Niaga tentang penundaan pembayaran hutang ini berlaku sebelum 45 hari.

2. Penundaan pembayaran hutang secara tetap Pengadilan Niaga melalui pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor untuk menghadap dalam sidang yang akan diselenggarakan paling lambat pada hari ke 45, terhitung sejak saat ditetapkannya putusan penundaan sementara dalam sidang tersebut akan diputuskan apakah diberikan penundaan pembayaran secara tetap dengan maksud untuk memungkinkan debitor ; pengurus dan kreditor menyetujui perdamaian dan penundaan kewajiban pembayaran secara tetap disetujui oleh kreditor, maka hakim Pengadilan Niaga menetapkan secara tetap dalam waktu 270 hari.


Perbuatan Kepailitan debitor dengan penundaan kewajiban pembayaran utang

1. Kewenangan debitor
2. Jangka waktu penyelesaian
3. Fungsi perdamaian
4. Pengurus (kaki tangan debitor dan kreditor dan hakim pengawas yang independent dan dibentuk oleh hakim Pengadilan Niaga) dan Kurator. Fungsi Kurator : dalam kepailitan menggantikan posisi debitor dalam mengurus harta pailit. Fungsi Pengurus : dalam penundaan kewajiban pembayaran hanya bertindak untuk secara bersama-sama dengan debitor mengurus harta debitor.
5. Jangka waktu penangguhan eksekusi kreditor preferen atau saparatis.
6. Alasan pengajuan pailit dan penundaan pembayaran hutang.
7. Pihak yang menagajukan permohonan (pasal 222 UU no. 37/2004) hanya kreditor dan debitor; Menurut pasal 1 UU Kepailitan yang dapat mengajukan pailit adalah
a. Pihak debitor yang akan pailit
b. Salah satu dari Kreditor
c. Pihak kejaksaan (untuk kepentingan umum)
d. Bapepam jika debitor adalah perusahaan efek
e. Pihak Bank Indonesia jika debitor adalah Bank
f. Pihak Menkeu jika debitor peruahaan asuransi, BUMN, Taspen.
8. Debitor Pailit; Direktur dan Komisaris perusahaan Pailit.

.1. Kewenangan Debitor

Kewenagan debitor dalam kepailitan berbeda dengan kewenangan debitor dalam proses penundaan pembayaran. Dalam proses kepailitan setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga , maka pihak debitor pailit hilang kewenangannya sejauh menyangkut dengan kepengurusan hartanya, kewenangan tersebut digantikan oleh kurator yang bertugas melakukan kepengurusan dan oleh pemberesan harta pailit. Dalam proses penundaan kewajiban pembayaran hutang pihak debitor tidak kehilangan kewenangan dalam hal pengurusan itu, harus didampingi/disetujui oleh pengurus.

. 2. Jangka waktu penyelesaian

Seluruh proses penundaan kewajiban pembayaran hutang (sampai perdamaiannya disahkan oleh Pengadilan Niaga) tidak boleh melebihi 270 hari sejak Putusan Pengadilan Niaga terhadap penundaan pembayaran hutang tersebut. Apabila lewat dari waktu tersebut belum juga dicapai dan disahkan perdamaian maka debitor tersebut demi hukum dianggap pailit. Dalam proses kepailitan setelah diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga , maka tidak ada batas waktu tertentu untuk penyelesaian seluruh proses kepailitan (sampai dengan proses pembagian harta pailit dan rehabilitasi).

. 3. fungsi Perdamaian

Dalam penundaan kewajiban pembayaran utang dengan fungsi perdamaian dalam kepailitan . Dalam penundaan kewajiban pembayaran utang fungsinya lebih luas sedangkan dalam kepailitan fungsinya lebih sempit, hanya sebatas bagaimana cara pemberesan dan pembagian harta pailit.

.4. Pengurus dan Kurator.

Dalam proses kepailitan terdapat curator dan proses penundaan kewajiban pembayaran hutang disebut pengurus.
Fungsi Kurator dalam Kepailitan menggantikan posisi debitor dalam mengurus harta pailit.
Fungsi Pengurus dan penundaan kewajiban pembayaran hutang hanya bertindak untuk bersama-sama dengan debitor mengurus harta debitor.

. 5. Jangka waktu penangguhan eksekusi kreditor preferen .

Eksekusi hak jaminan oleh kreditor separatis ditangguhkan baik dalam kepailitan maupun dalam penundaan pembayaran hutang. Dalam proses kepailitan penangguhan eksekusi berlakuk untuk jangka waktu maksimum 90 hari sejak putusan pailit ditetapkan oleh Pengadilan Niaga tingkat I, sedangkan dalam proses penundaan kewajiban pembayaran hutang jangka waktu penangguhan eksekusi tersebut berlaku selama masa penundaan pembayaran hutang yaitu masa 270 hari sejak putusan Pengadilan Niaga tentang penangguhan pembayaran hutang tingkat 1.

. 6. Alasan pengajuan pailit dan penundaan pembayaran hutang ;

Alasan pengajuan pailit : Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya 1 hutang yang dapat ditagih dan telah jatuh tempo.
Alasan pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang karena debitor dalam keadaan tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran hutang-hutang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

. 7. Pihak yang mengajukan permohonan

Menurut pasal 222 UU No. 37/2004, yang dapat mrngajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang hanyalah pihak debitor dan kreditor.
Menurut pasal 1 UU Kepailitan : debitor, kreditor, kejaksaan dst.

. 8. Debitor pailit; direktur dan Komisaris perusahaan pailit ; debitor pailit (pribadi) Direktur dan Komisaris dari suatu perusahaan yang dinyatakan pailit, tidak boleh menjadi Direksi atau Komisaris pada Perusahaan lain , karena yang bersangkutan dipandang ikut bersalah yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit kecuali telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah yang berangkutan dinyatakan bersalah. Ketentuan semacam ini tidak berlaku pada penundaan kewajiban pembayaran hutang.


Beberapa motif pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang;
1. Debitor beritikad baik merestrukturisasi hutangnya :
Seorang debitor dapat memohon ke Pengadilan Niaga untuk diterima penundaan kewajiban pembayaran hutang-hutangnya apabila ia benar berada dalam keadaan tidak dapat atau diperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran hutang-hutangnya. Maksud pengajuan tersebut adalah untuk rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian serta rencana restrukturisasi hutang-hutangnya.
2. Sebagai perlawanan terhadap permohonan pailit dari kreditor ; seringkali terjadi bahwa permohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang diajukan oleh debitor sebagai perlawanan terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh pihak kreditornya.
3. Jika permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan pembayaran hutang diperiksa pada saat yang bersamaan maka permohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang harus diputuskan lebih dahulu:


Pihak yang terlibat dalam proses penundaan kewajiban pembayaran hutang :

1. Pengurus (dalam kepailitan  Kurator)
2. Hakim pengawas  mengawasi proses penundaan pembayaran hutang.
3. Hakim Pengadilan Niaga  membuat putusan penundaan pembayaran hutang
4. Panitia Kreditor  diangkat oleh Pengadilan Niaga
5. Lawyer masing-masing pihak
6. Tenaga ahli ; melakukan pemerisaan dan penyusunan laporan tentang keadaan rta debitor.


Akibat-akibat hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang:

1. Debitor kehilangan indepedensi : debitor tetap masih berwenang mengurus harta dan usaha ; hanya saja dalam bertindak khususnya menyangkut kepengurusan atau pemindahan hak atas harta kekayaan; pihak debitor tidak lagi independent seperti dalam PKPH ; sebab dalam bertindak debitor harus selalu didampingi oleh pengurus
2. Jika debitor yang meminta pailit ; maka tidak lagi dapat meminta PKPH ; dalam hal debitor yang memohonkan dirinya pailit .
3. Jika PKPH berakhir ; debitor langsung pailit; Pengadilan Niaga harus menyatakan debitor pailit selambat-lambatnya hari berikutnya ( tanpa hak untuk kasasi atau PK) apabila :
a. Jangka waktu penundaan sementara kewajiban penundaan hutang berakhir karena kreditor tidak menyetujui pemberian penundaan Kewajiban pembayaran hutang secara tetap.
b. Perpanjangan PKPH telah diberikan ; tetapi sampai dengan tanggal batas akhir PKPH (270 hari) belum juga tercapai persetujuan terhadap rencana perdamaian.
4. Debitor tidak dapat diperiksa membayar hutang dan pelaksanaan eksekusi ditangguhkan. Selama berlangsungnya PKPH maka debitor tidak dapat dipaksakan untuk membayar hutang-hutang serta semua tindakan eksekusi guna mendapatkan pelunasan hutang terseut harus ditangguhkan.
5. Perkara yang sedang berjalan ditangguhkan ; pada prinsipnya PKPH , tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa , ataupun menghalangi pengajuan perkara baru , akan tetapi terhadap perkara yang semata-mata mengenai tuntutan pembayaran suatu piutang yang telah diakui oleh debitor dan setelah dicatatnya pengakuan tersebut maka hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal tersebut sampai dengan berakhirnya PKPH.
6. Debitor tidak boleh menjadi penggugat /tergugat ; debitor yang telah ditunda kewajiban pembayaran hutang tidak beracara di pengadilan baik sebagai penggugat ataupun tertugat dalam perkara-perkara yang menyangkut dengan harta kekayaan kecuali dengan bantuan dari pihak pengurus.
7. PKPH tidak berlaku bagi kreditor preferens , PKPH tidak berlaku terhadap tagihan-tagihan dari kreditor separatis (gadai, hak tanggungan, fidusia) atau tagihan yang diisimewakan terhadap barang-barang tertentu milik debitor. Tagihan hutang tersebut harus dibayar secara penuh.
8. PKPH tidak berlaku terhadap beberapa jenis pembayaran penting : contoh ; tagihan pembayaran pemeliharaan, pengawasan, pendidikan yang seharusnya dibayar.
9. Berlaku masa penangguhan eksekusi hak jaminan; baik dalam proses kepailitan , maupun dalam PKPH ada masa penangguhan pelaksanaan eksekusi hak jaminan hutang, hanya saja yang berbeda adalah bahwa dalam proses kepailitan batas waktu adalah 90 hari setelah putusan pailit oleh Pengadilan niaga TK I setelah proses PKPH, penangguhan pelaksanaan eksekusi hak jaminan hutang berlaku sebelum 270 hari sesuai masa PKPH.
10. Tidak ada ACTIO PAULIANA> dalam hal PKPH tidak berlaku Actio Pauliana seperti yang berlaku dalam proses kepailitan.
11. Berlaku ketentuan pidana> Apabila kreditor nekat melakukan perbuatan secara sepihak (sendiri) dalam perbuatan pengurusan harta bendanya tanpa sepengetahuan izin pengurus ; maka konsekwensi hukum debitor tersebut diancam dengan pidana kurungan 3 bulan ; karena melakukan tindak pidana termasuk pelanggaran terhadap ketertiban umum.


PENUNDAAN KPH= ELEMEN PENTING= PERDAMAIAN (ACCORD)
HAK ULAYAT MASYARAKAT
DALAM KETENTUAN HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR (HP3)

Oleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM. dan Dinah Yunitawati, S.T.


Kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan
Hak Ulayat, didefinisikan sebagai "kewenangan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan
hidupnya dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan".

Hak ulayat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda,
merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang
meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat
hukum adat tertentu yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.
Hak ulayat mengandung 2 (dua) unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum
perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula
sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu
kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta
lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur
kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola
dan mengatur peruntukkan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut,
baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri, maupun ekstern
dengan orang-orang bukan warga atau orang luar.

Yang juga perlu disamakan pengertiannya adalah tentang masyarakat hukum adat
dan tanah ulayat. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.Tanah ulayat
adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat
hukum adat tertentu.

Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang merupakan
persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal
(territorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis) yang
dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya
suku, marga, dati, dusun, nagari, dan sebagainya. Apabila orang yang
seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua
atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek
hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan
kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.

Dalam rangka hak ulayat tersebut, para masyarakat hukum adat yang
bersangkutan berhak untuk menguasai dan menggunakan bagian-bagian tanah
bersama itu secara individual, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
warga yang lain dengan hak-hak atas tanah yang sifatnya pribadi. Hak
penguasaan individual itu bersifat pribadi, karena tanah yang dikuasai
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Hak-hak
perorangan tersebut ada yang sifatnya sementara, ada pula yang karena
tingkat intensitas penguasaan dan penggunaannya berkembang menjadi hak
pribadi yang kuat, tidak terbatas jangka waktu berlakunya dan dapat pula
dipindahkan kepada warga yang lain. Ada pengaruh timbal balik antara
kekuatan hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak-hak pribadi para warganya.


Pengakuan Hak Ulayat Laut
Hak ulayat merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas
tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang "komunalistik",
religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan
hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan" (Boedi Harsono, 1997). Hak ulayat memiliki paling sedikit 3
unsur pokok, yaitu:
1. Masyarakat hukum sebagai subjek hak ulayat;
2. Institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas
hak ulayat;
3. Wilayah yang merupakan objek hak ulayat, yang terdiri atas tanah,
perairan, dan segenap sumber daya alam yang terkandung didalamnya.

Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam bidang
hukum perdata adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan,
sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk
mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharaannya. Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam
lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah
dihak-i oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hak
ulayat tidak ada tanah maupun perairan sebagai res nulius (Boedi Harsono,
1997).

Konsekuensi dari ada dan tidaknya tanah dan perairan res nulius dalam
lingkungan hak ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum yang bersifat
perdata maupun publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat,
yang diwakili oleh suatu sistem kepemimpinan dengan
kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat laut, hal ini berarti
perairan yang merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk sepenuhnya
di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.

Di Indonesia, selain hak ulayat laut di kenal pula jenis hak adat lainnya,
seperti tradisi penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan
penangkapan ikan secara tradisional di Sulawesi Selatan yang disebut bagang
(Saad, 2000).


Hak Masyarakat Adat
Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki
kewajiban-kewajiban terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar mereka.
Antara hak dan kewajiban harus ada keseimbangan yang kuat sehingga membentuk
pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang terintegrasi baik secara
sosial, politik, alamiah, budaya, dan agama dari kehidupan masyarakat adat
(Ronald Titahelu, Paper on Indonesian Legal Center for Community Based
Property Rights and Marine and Coastal Resources Management).

Bagi masyarakat pesisir dan laut misalnya, sumber daya laut dan pesisir
tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kehidupan
sehari-hari masyarakat, tetapi mereka sangat mengenal lingkungan sekitar
mereka dan tahu bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup secara harmonis
dan tetap dapat mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan
pesisir beserta sumber daya alam di dalamnya.

Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam mengelola
wilayah laut dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang memberikan
potensi besar bagi masyarakat untuk melakukan ancaman dari orang luar,
termasuk dari Negara. Masyarakat adat telah melindungi dan mempertahankan
hak dan kewajiban mereka jauh bahkan sebelum negara itu ada. Pengakuan
kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah laut dan pesisir bukan atas
pemberian Negara melainkan secara alamiah merupakan bagian dari legenda dan
sejarah masyarakat adat itu sendiri. Wilayah adat yang mereka diami
merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.

Hak memiliki atau mengelola dari masyarakat adat menekankan pada 3 (tiga)
elemen mendasar, yaitu:
1. Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan.
2. Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri.
3. Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana
kegiatan/kebijakan negara yang berdampak pada nasib masyarakat itu sendiri.

Saat ini, hubungan antara sumberdaya laut dan pesisir dengan kewenangan
pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan dari
pemerintah dan pembuat kebijakan. Selain itu, beberapa inisiatif dari
masyarakat dan dorongan dunia internasional mulai bermunculan untuk
mendukung masyarakat nelayan walaupun hukum nasional yang spesifik,
kebijakan-kebijakan, dan instrumen hukum lainnya yang mengakui kewenangan
pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber daya laut dan pesisir belum
terdapat di Indonesia. Namun pelaksanaan otonomi daerah dan pelimpahan
kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah pusat kepada
daerah merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta mengkhawatirkan untuk
mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh masyarakat adat,
walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi.


Eksistensi Hak Ulayat di Lapangan
1. Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna
. Sumber kearifan lokal masyarakat di Kawasan Pulau Tiga bersumber dari
ajaran Islam dan kepercayaan yang berbau mistik. Prinsip-prinsip kearifan
lokal mereka berbasiskan ekologi dan ekosistem.

. Bentuk kearifan lokal yaitu dengan mengkeramatkan daerah-daerah
tertentu, larangan membunuh atau menangkap hewan tertentu, penghormatan
terhadap laut, pemeliharaan terumbu karang, dan penggunaan teknologi
penangkapan sederhana.

2. "Kelong" Kearifan Lokal Nelayan Batam
Di Kota Batam dan beberapa wilayah lain di Kepulauan Riau sebenarnya
terdapat pengelolaan perikanan tradisional yang disebut "Kelong". Kelong ini
merupakan sejenis perangkap (trap) dan diperuntukkan untuk menangkap ikan
Dingkis atau ikan Baronang.

3. "Awig - awig" Hak Ulayat Laut Provinsi Nusa Tenggara Barat
Di Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat dan di Dusun Serewe Kabupaten
Lombok Timur, terdapat hak ulayat laut yang mengatur tentang pelarangan
penggunaan bom dan potassium cyanida pada kawasan terumbu karang dalam upaya
penangkapan ikan oleh nelayan serta pelarangan menebang hutan mangrove.

4. "Panglima Laot", Kearifan Lokal Nelayan Aceh

. Panglima Laot adalah lembaga pemimpin adat nelayan yang telah ada sejak
zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad 14.

. Teritori jendral nelayan yang terkecil adalah lhok (teluk atau kuala)
tempat nelayan menyandarkan perahu-perahu mereka. Di seluruh Nanggroe Aceh
Darussalam saat ini tercatat ada 140 lhok yang masing-masing dipimpin oleh
panglima lhok.

. Kewenangan panglima laot (abu laot, ayah laut), ada dua tugas pokok:
Pertama, dia menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang.
Termasuk dalam hal ini adalah penentuan hari-hari nelayan tidak boleh
melaut, antara lain pada hari raya, hari Jumat, hari kemerdekaan 17 Agustus,
juga pada hari-hari ketika ikan di lautan sedang kawin atau bertelur. Kedua,
panglima laot wajib menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di
kalangan nelayan. Sebisa mungkin, sengketa antar nelayan dibereskan diantara
kaum nelayan sendiri.

5. Mane'e, Kearifan Lokal Nelayan Kabupaten Kepulauan Talaud
Mane'e merupakan keraifan lokal masyarakat nelayan di Kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, berupa pengaturan masa penangkapan ikan
dalam rangka menjaga kelestarian sumberaday kelautan dan perikanan di
wilayah mereka, misalnya dengan cara membuat larangan menangkap ikan pada
masa-masa tertentu serta pembuatan sejenis sistem bendungan untuk
mempermudah penangkapan ikan.


Ilustrasi Keraifan Lokal Mane'e di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi
Utara




Hak Ulayat dalam Ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil pasal 18, disebutkan bahwa HP3 (Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir) dapat diberikan diantaranya kepada masyarakat adat. Lebih lanjut,
pada pasal 60, disebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk melakukan
kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

Pada pasal 61, disebutkan juga bahwa pemerintah mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan
lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan
secara turun-temurun. Kemudian disebutkan juga bahwa pengakuan hak-hak
masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal dijadikan acuan
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

Mengacu pada amanat UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dalam draft PP HP3 ini, pengaturan dan
pemuatan yang berkenaan dengan hak ulayat menjadi semakin terdefinisi untuk
dapat dioperasionalisasikan. Pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat serta
perhatian terhadap keberlangsungan aktivitas dari masyarakat adat tetap
menjadi salah satu muatan utama yang mewarnai muatan PP HP3 tersebut. Esensi
untuk menghormati, melindungi, dan menyetarakan kepentingan masyarakat,
termasuk masyarakat adat dalam kompetisi terhadap kepentingan investasi yang
dikhawatirkan akan mendominasi pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan ruang
laut atau wilayah perairan, merupakan salah satu landasan yang seharusnya
dapat memperkuat PP HP3 ini sebagai suatu kebijakan yang akan berpihak
kepada masyarakat.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa UU No. 27 tahun 2007 telah
mengakomodasi hak ulayat masyarakat. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat
menjadi perhatian dalam mengelola hak ulayat tersebut, khususnya dalam
muatan kebijakan mengenai HP3 yaitu:
1. Penilaian eksistensi terhadap hak ulayat yang sudah ada
Keberadaan masyarakat adat pada suatu daerah, seyogyanya dapat dibuktikan
melalui serangkaian cerita sejarah yang sudah berlangsung dalam komunitas
masyarakat adat tersebut. Keberdaan ini diakui tidak hanya oleh komunitas
adat itu sendiri, tetapi masyarakat lain yang ada disekitarnya dan tentunya
sudah berlangsung untuk suatu jangka waktu yang tertentu

2. Penentuan prioritas terhadap optimalisasi pemanfaatan ruang
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang bertujuan untuk
mengoptimalisasikan sumberdaya-sumberdaya yang ada. Dalam konteks ini,
eksistensi hak ulayat pada suatu daerah dapat memberikan optimalisasi atau
dapat minimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada. Pada konteks ini pula,
prioritas pemanfaatan sumberdaya melalui optimalisasi pemanfaatannya tidak
dapat disetarakan dengan eksistensi hak ulayat itu sendiri, karena secara
manajerial pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat khususnya masyarakat adat
dapat dioptimalkan melalui penerapan teknologi atau optimalisasi manajemen
sumberdayanya

3. Memposisikan hak ulayat terhadap hak-hak lain dalam penentuan status
pengelolaan terhadap suatu area atau wilayah perairan tertentu
Status hak atas suatu wilayah/area perairan tertentu yang berkenaan dengan
subjek hak, seperti masyarakat adat, masyarakat umum, negara, dsb, memiliki
posisi yang tidak berjenjang. Pengalihan hak dapat dilakukan melalui
manajemen konflik atau resolusi konflik, sehingga yang menjadi prioritas
seyogyanya adalah kepentingan atau objek dari hak tersebut dan tentunya
kepentingan-kepentingan ini akan dapat disinergikan dan diselaraskan.

sumber : http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=142

makalah Perjanjian

Pendahuluan
Kontrak (perjanjian) adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal ". (Subekti, 1983:1) . Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).
Pengaturan tentang kontrak diatur terutama di dalam KUH Perdata (BW), tepatnya dalam Buku III, di samping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum. Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang. Contoh perjanjian khusus : jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan.
Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk hukum. Misalnya : Undang-undang Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan. Di samping itu, juga dalam jurisprudensi misalnya tentang sewa beli, dan sumber hukum lainnya.
Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi kontrak. Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW) , yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam perjanjian :
1. Mengenai terjadinya perjanjian
Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanijan hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).
2. Tentang akibat perjanjian
Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah diantara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
3. Tentang isi perjanjian
Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan.Dengan kata lain selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan bahwa :"setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya".
Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak.
Syarat Sahnya Kontrak
Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUH Perdata .
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan.
1. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan.
2. Kecakapan
Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa.
Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian.

3. Hal tertentu
Hal tertentu maksudnya objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Misalnya jual beli sebuah mobil, harus jelas merk apa, buatan tahun berapa, warna apa, nomor mesinnya berapa, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh misalnya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut.
4. Sebab yang dibolehkan
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut. KUH Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KHU Perdata. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis.
Penyusunan Kontrak
Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai.Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi bebrapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak.
Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Prakontrak
a. Negosiasi;
b. Memorandum of Undersatnding (MoU);
c. Studi kelayakan;
d. Negosiasi (lanjutan).
2. Kontrak
a. Penulisan naskah awal;
b. Perbaikan naskah;
c. Penulisan naskah akhir;
d. Penandatanganan.
3. Pascakontrak
a. Pelaksanaan;
b. Penafsiran;
c. Penyelesaian sengketa.
Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar menawar berlangsung. Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak.
Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, baru dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak.
Dalam penulisan naskah kontrak di samping diperlukan kejelian dalam menangkap berbagai keinginan pihak-pihak, juga memahami aspek hukum, dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa yang berlaku. Dalam penggunaan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis. Walaupun tidak ditentukan suatu format baku di dalam perundang-undangan, dalam praktek biasanya penulisan kontrak bisnis mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, sebagai berikut :
(1) Judul;
(2) Pembukaan;
(3) Pihak-pihak;
(4) Latar belakang kesepakatan (Recital);
(5) Isi;
(6) Penutupan.
Pembahasan
Dari contoh kontrak diatas antara PT. Baruga Asrinusa Development dan Syarifuddin dapat diamati bahwa kontrak diatas termasuk kontrak kerjasama (MoU)
Adapun kontrak tersebut memuat:
1. Judul kontrak
Judul kontrak diatas adalah individual kontrak no:0050/HRD-BB/X/2008, tanggal 09 Oktober 2008 betwen PT. Baruga Asrinusa Development and Individual About Teknik dan Perancangan PT. Baruga Asrinusa Development.
2. Pembukaan
Dalam pembukaan memuat tentang jenis perjanjian atau kontrak, yaitu surat perjanjian perseorangan No. :0050/HRD-BB/X/2008, tanggal 09 Oktober 2008
3. Pihak-Pihak
Pihak pihak dalam kontrak memuat subyek hukum berlakunya perjanjian tersebut yang memuat nama, alamat, pekerjaan. Dalam hal ini pihak yang terkait adalah:
Ir. Erda Santi Hamzah,MM.: PT Baruga Asrinusa Development,beralamat di jalan Raya Baruga No.1 Makassar, dalam hal ini bertindak atas nama PT. Baruga Asrinusa Development,yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama. Sedangkan
Syarifuddin,beralamat Tman Sudiang Indah Blok D.No.17 Makassar, dalam hal ini bertindak atas nama preibadi yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua
4. Latar belakang kesepakatan
Dalam kontrak diatas yang menjadi latar belakang kerja sama antara pihak pertama dan pihak kedua adalah mengenai Teknik Dan Perancangan Perumahan Bukit Baruga.
5. Isi
Bagian isi memuat pasal perpasal dimana dalam pasal 1 Pengertian, pasal 2 Kerangka Kerja, pasal 3 Jangka Waktu, pasal 4 Hak dan Kewajiban, pasal 5 Pembiayaan dan Pembayaran , pasal 6 Keamanan Dokumen, pasal 7 Penyelesaian Perselisihan , pasal 8 Sanksi, pasal 9 Force Majeure, pasal 10 Penutup.
6. Penutup
Memuat tentang mulai berlakunya perjanjian kerjasama dan ketentuan mengenai aturan tambahan yang dimungkinkan jika kedua belah p[ihak menyepakati, diakhir kontrak diakhiri dengan tanda tandan kedua belah pihak sebagai bukti disepakatinya perjanjian tersebut.



Penutup
Kotrak adalah suatu bentuk perjanjian dalam bentuk tertulis yang memuat identitas pihak, latar belakang kontrak, bagian isi, dan penutup dalam hal ini dalam kontrak harus memnuhi unsur unsur sesuai dalam pasal 1320 Undang-undang hukum Perdata yaitu:
i. Adanya kesepakatan
ii. Cakap
iii. Mengenai hal tertentu
iv. Suatu sebab yang halal
Dengan unsur unsur di atas maka kontrak tersebut secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menjadi subyek perjanjian. Dan jika terjadi wanprestasi maka kedua belah pihak dapat menyelesaikan secara litigasi maupun melalui mediasi.