Phinisi Mengarungi tiada akhir

Rabu, 20 Juli 2011

Makalah HAM Internasional

Makalah HAM Internasional
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam pentas sejarah peradaban manusia , abad XVI menempati posisi tersendiri . Ia dipandang sebagai awal dari suatu peradaban yang kemudian dikenal dengan masa modern. Di bawah dominasi budaya barat , masa ini ditandai dengan adanya kemajuan yang demikian pesat dalam bidang sains dan teknologi , yang dipandang mampu merubah hal hal yang fundamental dalam kehidupan umat manusia . Melalui media peradaban baru yang semula lahir di kalangan masyarakat barat yang sekuler itu meluas dan merambat masuk ke berbagai penjuru dunia tak terkecuali tentang perlindungan hak hak warga Negara termasuk “Indigenous Peoples” tak ayal telah menjadi perhatian masyarakat dunia internasional untuk mengakui dan melindungi hak hak warga Negara terutama masyarakat adat dan kebudayaannya.
Pasal 281 ayat (3) perubahan kedua UUDNRI Tahun 1945, menegaskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan hal yang substansinya sama , yakni pada pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut

Dalam rangka penegakan ham, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat,dan pemerintah. Identitas kebudayaan masyarakat hukum adat, termasuk hak atas ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman

Penegasan ini menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia diakui eksistensinya secara konstitusional .Dukungan konstitusional ini memperkuat pemahaman dan kesadaran untuk menghormati dan melindungi mereka . Jaminan konstitusi ini juga mengafirmasi sebuah kebijakan nasional yang benar benar memosisikan eksistensi masyarakat adat sebagai bagian dari kehidupan nasional

Harus dipahami bahwa eksistensi mereka bukan “barang langka” yang unik yang mesti dilestarikan, melainkan mereka ada dalam realitas dan tumbuh berkembang dengan manusia lainnya. Karakteristik mereka rentan dengan pelanggara HAM . Lebih dari itu dalam dinamika dan pertumbuhan pembangunan identitas normatif seringkali berbeda dari realitas yang ada,mereka acapkali tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhadap lingkungan dan potensi yang ada bersamanya dan selalu diklaim bodoh dan terbelakang.

Dalam perspektif hukum HAM Internasional, eksistensi masyarakat adat mandapat perhatian serius . Sampai kini pergulatan , pemikiran gerakan perlindungan dan pemenuhan masyarakat hukum adapt terus digulirkan . Selain lahirnya deklarasi, beragam bentuk konvensi Internasional turut menambah keyakinan kita bahwa eksistensi masyarakat adapt merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan penegakan ham internasional.

B RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan laterbelakang diatas maka menurut penulis sangat menarik untuk menganalisis :

1. Apa yang menjadi substansi dari Declaration of the Rights of Indigenous Peoples. (Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di Negara-negara Merdeka)
2. Bagaimana perkembangan pelaksanaan Declaration of the Rights of Indigenous Peoples (Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di Negara-negara Merdeka)






BAB II
PEMBAHASAN

A .Declaration on the Rights of Indigenous Peoples,

Hal hal yang melatarbelakangi lahirnya deklarasi ini antara lain
• Prihatin bahwa “indigenous peoples” telah menderita akibat ketidakadilan sejarah yang disebabkan oleh, antara lain, penjajahan dan pengambilan tanah, wilayah dan sumber daya mereka, seingga menghambat mereka untuk dapat melaksanakan, terutama, hak atas pembangunan sesuai kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.
• Meyakini bahwa penguasaan “indigenous peoples” terhadap pembangunan yang berdampak pada mereka dan pada tanah, wilayah dan sumber daya mereka dapat membuat mereka mempertahankan dan memperkuat lembaga-lembaga, budaya dan tradisi mereka, serta dapat memajukan pembangunan mereka sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan mereka sendiri.
• Mengakui juga bahwa penghormatan terhadap pengetahuan “indigenous”, budaya dan praktek-praktek tradisional, turut serta di dalam pembangunan yang berkelanjutan dan merata dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Adapun beberapa hak dan kewajiban yang bersifat substantif yang penting yaitu :
• Pasal 3: Indigenous peoples memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Didasari pada hak tersebut mereka dapat secara luas menentukan status politik mereka dan untuk menjalankan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
• Pasal 4: Indigenous peoples dalam melaksanakan hak mereka untuk menetukan nasib sendiri , memiliki hak otonomi atau pemerintahan sendiri terkait urusan-urusan internal dan lokal mereka dan dalam mencari cara dan upaya untuk menbiayai fungsi-fungsi otonomi mereka
• Pasal 8: Indigenous peoples dan individu memiliki hak untuk bebas dari asimilasi paksa dan penghancuran budaya.
• Pasal 10: Indigenous peoples tidak dapat secara paksa dipindahkan dari tanah atau wilayah mereka. Relokasi tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan dari indigenous peoples terkait dan setelah diperjanjikan suatu konpensasi yang jujur dan adil dan bilamana imungkinkan disediakan pilihan untuk kembali.
• Pasal 11 ayat 1: Indigenous peoples memiliki hak untuk mempraktekkan dan merevitalisasi adat dan tradisi mereka. Ini mencakup hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan manifestasi budaya masa lalu, masa sekarang dan masa depan, seperti misalnya lokasi arkeologis dan bersejarah, artefak kuno, rancangan-rancangan, acara-acara adat, teknologi dan kesenian dalam bentuk tertulis, pentas dan visual.
• Pasal 11 ayat 2: Negara harus menyediakan pemulihan melalui mekanisme yang efektif, termasuk ganti kerugian, yang dikembangkan bersama, intelektual, keagamaan dan spiritual yang diambil tanpa persetujuan sebelumnya yang bebas dan terinformasi atau yang melanggar hukum, adat serta tradisi mereka.
• Pasal 15 ayat 15: Indigenous peoples memiliki hak atas martabat dan keanekaragaman budaya, tradisi, sejarah dan aspirasi yang tercermin di dalam pendidikan dan informasi publik.
• Pasal 24 ayat 1: Indegenous peoples memiliki hak terhadap obat-obatan tradisional mereka dan hak untuk mempertahankan praktek-praktek kesehatan mereka, termasuk konservasi dari tanaman obat-obatan yang vital, binatang-binatang dan mineral meeka. “indigenous individuals” juga mempunyai hak untuk akses, tanpa diskriminasi, terhadap jasa sosial dan kesehatan.
• Pasal 29 ayat 2: Negara wajib mengambil langkah-langkah efektif untuk menjamin bahwa tidak ada penumpukan atau pembuangan dari material-material yang berbahaya di tanah atau wilayah dari masyarakat asli tanpa persetujuan mereka sebelumnya. Pasal 31 ayat 1: Indigenous peoples memiliki hak untuk mempertahankan, mengendalikan, melindungi dan mengembangkan warisan budaya, pengetahuan tradisional dan ekspresi tradisional serta bentuk perwujudan dari ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya, termasuk sumber daya manusia dan genetik, biji-bijian, obat-obatan, pengetahuan dan kepemilikan atas flora dan fauna, tradisi lisan, sastra, rancangan, olahraga dan permainan tradsional dan seni pentas serta visual. Mereka juga memiliki hak untuk mempertahankan, mengendalikan, melindungi dan mengembangkan hak milik intelektual mereka atas warisan budaya, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
• Pasal 42: Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi di bawahnya, termasuk Permanent Forum on Indigenous Issues, dan Badan-badan Khusus PBB termasuk pada tingkat negara, dan negara-negara, wajib memajukan penghornatan atas dan secara penuh melaksanakan isi Deklarasi ini dan melaksanakannya Deklarasi ini secara efektif.

Pada tanggal 29 Juni 2006, Dewan HAM PBB telah menerima Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, melalui pemungutan suara dengan hasil bahwa dari 47 negara anggota Dewan HAM terdapat; 30 negara mendukung , 3 negara menentang diterimanya deklarasi dan 12 negara mengambil posisi abstain. Sesuai dengan judul tersebut diatas maka penerimaan Deklarasi pada tingkat Dewan HAM bukanlah proses akhir dari kelahiran suatu instrument HAM baru PBB, karena sejalan dengan status Dewan HAM sebagai Badan Subsider Majelis Umum PBB maka rancangan Deklarasi selanjutnya harus diajukan untuk mendapat pengesahan dan penerimaan/adopsi oleh Majelis Umum PBB yang merupakan badan tertinggi di PBB dimana 192 negara anggota terlibat dalam proses perundingan antar Pemerintah.

Pada tingkat internasional Deklarasi tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum dan merupakan bagian dari “soft law”. Namun, sungguhpun Deklarasi tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum tetapi penerimaan Deklarasi oleh PBB mencerminkan pengakuan internasional atas eksistensi dari hak-hak individual dan hak-hak kolektif dari “indigenous peoples”. Dengan demikian Deklarasi tersebut membawa kewajiban moral bagi masyarakat internasional.





B. Prinsip FPIC/“free”, “prior” dan “informed consent
Disamping itu, Deklarasi akan memberikan tambahan referensi bagi kerja badan-badan PBB termasuk dalam mempertajam kebijakan-kebijakan dan prioritas-prioritas program. Misalnya saat ini paket prinsip FPIC/“free”, “prior” dan “informed consent” telah semakin sering dirujuk oleh badan-badan PBB, demikian pula dengan isu hak-hak indigenous peoples atas tanah, sumber daya dan perlindungan keragaman budaya. Oleh karena itu, nantinya respons badan-badan PBB terhadap penerimaan Declaration on the Rights of Indigenous Peoples-lah yang akan semakin meningkatkan opini masyarakat internasional mengenai kewajiban untuk melindungi hak-hak “indigenous peoples”.

C. Pembahasan isu hak-hak indigenous people pada tingkat PBB
Promotional character” dari HAM spesifik berkenaan dengan “indigenous peoples” kiranya telah tercermin dari proses perumusan Deklarasi pada tahun 1993 oleh Kelompok Kerja mengenai Indigenous Populations (WGIP) yang hasil kerjanya tersebut (berupa konsep awal/initial draft) selanjutnya diserahkan dan dilanjutkan oleh Working Group on the Draft Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang dibentuk oleh Komisi Hak Asasi Manusia/KHAM PBB (yang sejak Maret 2006 dibubarkan dan diganti oleh Dewan HAM).

Sejalan dengan sifat Deklarasi yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka Deklarasi ini tidak memiliki mekanisme “redress” (pemulihan hak) dalam hal adanya pengabaian atas pasal-pasal substantive dari Deklarasi. Namun, pada tahun 2000 badan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) telah membentuk Permanent Forum on Indigenous Issues (PFII) atas dorongan organisasi-organisasi indigenous peoples di dunia yang menyampaikan rekomendasinya kepada Konferensi Dunia HAM di WIna tahun 1993 karena pada saat itu mereka memandang bahwa tidak ada satupun badan PBB yang dapat menganalisa isu-isu indigenous peoples secara mendalam. Untuk itu PFII diberi mandate guna mengkoordinasikan langkah-langkah bagi pemajuan hak-hak indigenous peoples di kalangan sistim PBB. Dengan demikian, Forum ini dibentuk atas rekomendasi Konferensi Dunia HAM 1993 sebelum dicanangkannya International Decade of the World’s Indigenous People 1995-2004.
Forum tersebut diatas merupakan badan konsultatif yang beranggotakan 16 anggota terdiri dari 8 pakar indigenous dan 8 pakar pemerintah yang dipilih secara bergilir berdasarkan pengelompokan wilayah (regional groups).Selanjutnya, pada tahun 2001 KHAM PBB telah mengangkat seorang Pelapor Khusus untuk menangani isu Indigenous People (Special Rapporteur on Indigenous People). Kedua mekanisme inilah yang dapat dipastikan bahwa pada akhirnya akan terus berjuang untuk menegakan hak-hak indigenous peoples yang telah dibakukan dalam Deklarasi, Apalagi mempertimbangkan bahwa Pelapor Khusus memiliki mandate yang tepat untuk itu, yaitu mencakup tiga aktivitas sebagai berikut:

- Melakukan riset tematik mengenai situasi indigenous peoples (seperti dampak pembangunan terhadap masyarakat indigenous, hak-hak budaya indigenous peoples)

- Melakukan kunjungan lapangan/on-site visits ke Negara-negara dimana permasalahan telah disampaikan kepada Pelapor Khusus sehingga perlu dilakukan dialog konstruktif dengan otoritas setempat

- Berkomunikasi dengan Pemerintah-pemerintah mengenai tuduhan-tuhan pelanggaran hak-hak populasi indigenous setelah dilakukannya analisa mendalam mengenai kredibilitas dari tuduhan-tuduhan dimaksud.

D. Faktor-faktor yang dipandang merupakan kelemahan Deklarasi
Sejalan dengan proses penerimaan Deklarasi di Dewan HAM yang melalui proses pemungutan suara (bukan consensus), maka proses penerimaan Deklarasi pada tingkat Majelis Umum PBB juga tidaklah mulus dan tersendat-sendat. Hal ini dikarenakan masih kuatnya penolakan Negara-negara atas berbagai isu dalam Deklarasi, seperti:
a. Isu “the right of self-determination”
b. Isu ketiadaan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan indigenous peoples
c. Ketentuan-ketentuan dalam Deklarasi mengenai “lands”, “territories” dan “resources” dipandang bersifat luas, tidak jelas dan dapat menimbulkan penafsiran beragam. Dikhawatirkan bahwa rumusan Deklarasi dapat ditafsirkan untuk mendukung tuntutan hak kepemilikan wilayah-wilayah tradisional sungguhpun wilayah tersebut secara sah telah diatur dalam perjanjian-perjanjian sejarah.


Berkenaan dengan hal tersebut diatas, maka pada tingkat Majelis Umum PBB kelompok Afrika memandang perlu untuk mempelajari lebih lanjut isi Deklarasi dan telah meminta agar PBB memberikan tambahan waktu bagi Negara-negara untuk melakukan konsultasi lebih mendalam mengenai isi Deklarasi. Berkenaan dengan itu maka Deklarasi akan diterima oleh Majelis Umum sebelum berakhirnya Sidang ke-61 Majelis Umum tahun 2006 (September 2007). Adapun naskah Deklarasi sebelum diadopsi oleh Majelis Umum adalah sebagaimana terlampir bersama ini.

E. Posisi Indonesia terhadap Deklarasi mengenai Perlindungan Hak-hak Indigenous People
Kita memahami bahwa sistim hukum nasional Indonesia tidak mengenal pembedaan warganegara Indonesia berdasarkan indigenous dan non indigenous karena semua orang Indonesia adalah indigenous, namun sisitm hukum Indonesia mengakui realita mengenai masyarakat huum adapt, misalnya pada Undang-Undang Pokok Agraria dan pembentukan MRP (Majelis Rakyat Papua) dalam Undang Undang no.21 tahun 2001. Dalam kaitan ini, penting untuk dipelajari kembali telaahan yang telah dilakukan oleh DR Andi Suryaman Mustari Pidie SH dari Univ Hasanudin pada saat semiloka Komnas HAM mengenai Pelindungan dan Pemajuan HAM Masyarakat Hukum Adat. Pada semiloka ini beliau membahas mengenai Eksistensi Juridis dan Realitas Sosial Hak Kolektif Masyarakat Hukum Adat atas Tanah, Pasca Undang-Undang Pokok Agraria sebagai berikut:

1. Keberadaan masyarakat hukum adat ada di dalam pelbagai perundang-undangan nasional, namun semua hanya sebatas pengakuan bersyarat belaka karena tidak bersifat implementatif sehingga memicu timbulnya konflik.
2. Pengakuan hak kolektif masyarakat hukum adat tidak ada lagi dan eksistensinya terbengkalai.
3. Politik hukum agraria nasional mengarah pada negara sebagai satu-satunya pemegang hak menguasai, karena tidak adanya produk hukum untuk itu.
4. Kriteria eksistensi masyarakat hukum adat, yaitu: tatanan yang menyatukan kelompok, punya kekuasaan yang dilengkapi aparat pembantu penguasa, punya kekayaan material dan non material.
5. Dibedakan atas faktor teritorial (masyarakat desa, wilayah, dan gabungan desa) dan genealogis (unilateral dan bilateral-parental).
6. UUPA dan de-ulayat-isasi menyebabkan bahwa pengakuan yang ada sebatas keberadaan kenyatannya saja dan ini ditentukan oleh syarat eksistensinya, yaitu tidak dapat disubstitusikan dengan unsur-unsur bentukan baru.
7. De-ulayat-isasi terjadi karena perkembangan ketatanegaraan indonesia, pemerintahan yang sentralistik( pemda tidak berdaya menghadapi pusat), pemerintahan yang desentralistik (pemda menjepit lembaga adat), adanya pelbagai produk hukum (seperti: UUPP-Daerah 1974,UUP desa No.5 Tahun 1979), dan karena kebijakan sektoral (Hph,Hphti,Hgu,Kp, Tranmigrasi, Suku Terasing).
8. Eksistensi juridis masyarakat hukum adat dan hak kolektifnya, umumnya, tidak utuh lagi dalam realitas sosialnya.

Selanjutnya kita perlu melihat kembali bagaimana pakar Indonesia Prof. DR. Maria SW. Sumardjono, SH, MCL, MPA menanggapi Persyaratan Pengakuan Negara terhadap Tanah Ulayat, yaitu sebagai berikut:

1. Pemahaman hak ulayat dikaitkan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya.
2. Hak ulayat tidak sebatas pada hubungan hukum dengan tanah.
3. Pengakuan hak ulayat dibatasi 2 hal: eksistensi dan pelaksanaannya. Ketiadaan factor eksistensi mengarah pada marjinalisasi.
4. Terdesaknya hak masyarakat hukum adat seringkali karena investasi/proyek pembangunan pemerintah.
5. Efektifitas pengakuan hak ulayat tergantung pada inisiatif pemerintah daerah.
6. Kriteria berlakunya hak ulayat dijabarkan secara umum agar tidak membatasi proses pengakuan hak ulayat sendiri secara objektif.
7. Sikap arif dan penilaian yang objektif rasional sangat mendukung keberlangsungan hak masyarakat adat demi keadilan, kepastian, dan perlindungan hukum pihak hak masyarakat adat.


Semiloka dimaksud juga telah mengangkat keprihatinan Emil Kleiden dari Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN) mengenai Pelanggaran HAM dari Masyarakat Hukum Adat oleh Instansi Pemerintah dan Pihak Ketiga sebagai berikut:


1. Di Kalbar, ada gerakan masyarakat Dayak yang mengedepankan pemajuan, pembangunan, dan konsep pelanggaran HAM, yang berkaitan dengan unsur-unsur keDayakan.
2. Di kabupaten Landak, terdapat faktor pluralitas dari 3 komunitas yang hidup bersama sebagai buruh tani walau tidak punya tanah.
3. Di kaltim, ada AMAN Kaltim yang lebih homogen, yang mengalami persoalan sumber agraria, terdiri dari masyarakat Dayak pada umumnya dan masyarakat Dayak dari komunitas muslim. .
4. Persoalan HAM Ekosob lebih banyak terjadi di luar Pulau Jawa. Sementara, di Pulau Jawa lebih banyak persoalan HAM Sipol.
5. Gerakan HAM di Indonesia cenderung kurang memperhatikan hal yang mendasar dan jangka panjang.
6. Negara kurang serius untuk melihat keberadaan komunitas sebagai suatu kelompok sosial yang khas dalam hubungannya dengan sumber alam sehingga menimbulkan banyak korban jiwa di luar Jawa.
7. Investor lebih banyak didukung oleh pemerintah.
8. Benturan antara investor dan masyarakat banyak menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM.
9. Negara mengedepankan konsep ruang yang melulu ekonomi.


Selanjutnya pihak AMAN mengajukan Rekomendasi sebagai berikut:
• pengakuan keberadaan komunitas adat.
• pendekatan masyarakat lokal untuk pembangunan investasi dengan azas manfaat.
• Sistem nilai dengan alam (dengan mengedepankan persoalan transformasi).
• Otonomi komunitas sebagai kelanjutan otonomi daerah.
• Pengkajian ulang sistem legislasi masyarakat.
• Penghapusan pendekatan militeristik
• Pendekatan sistem ekonomi lokal masyarakat setempat.


Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menentukan posisi Indonesia terhadap Deklarasi PBB mengenai indigenous people adalah bahwa adanya jaminan konstitusional terhadap masyarakat hukum adat pasca perubahan undang-undang dasar 1945 sebagaimana disampaikan oleh Mochamad Isnaeni Ramdhan, bahwa:

1. Jaminan perlindungan masyarakat hukum adat terdapat dalam perubahan kedua UUD’45 psl.18b ay.2. Jaminan konstitusional ini karena adanya kesadaran untuk mendukung keberadaan pelbagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa dan pelbagai kelompok masyarakat hukum adat.
2. Jaminan perlindungan hak masyarakat hukum adat dirumuskan dalam konstitusi agar memiliki kepastian hukum yang berlaku pada seluruh masyarakat hukum adat
3. Pengaturan ini bersifat abstrak, umum, berkesinambungan, dan berciri nasional
4. Pengaturan ini juga terkait dengan hak sosial dan budaya
5. Pengaturan ini juga terkait dengan politik hukum nasional.
6. Jaminan pengakuan terhadap adanya pluralisme hukum di Indonesia yang bersumber selain dari hukum formal juga dari hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat adat
7.
F. Pendekatan Intermestik Departemen Luar Negeri

Sejalan dengan komitmen Departemen Luar Negeri untuk memajukan pendekatan intermestik (internasional dan domestic) dimana perlu dimajukan upaya-upaya untuk mendekatkan antara standar HAM yang telah diterima pada tingkat internasional dengan praktek dan kebijakan nasional, maka para pejabat Departemen Luar Negeri perlu memahami sedalam mungkin aspirasi yang ada maupun berkembang pada tingkat nasional sehubungan isu perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat sehingga kebijakan yang disuarakan pada tingkat internasional benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat nasional baik Pemerintah maupun non Pemerintah. Untuk itu, perdebatan pada tingkat nasional mengenai Declaration of the Rights of Indigenous Peoples, akan memberi masukan kepada Departemen Luar Negeri dalam penyusunan posisi menghadapi pembahasan akhir Deklarasi pada bulan September 2007 mendatang. Masukan-masukan para pemangku kepentingan di bidang HAM terkait sangatlah diharapkan.

Apalagi pada tanggal 9 Agustus 2006 dalam acara yang diprakarsai oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi dan Departemen Sosial berkenaan dengan the International Day of the World's Indigenous People di Gedung Sasono Langen Budoyo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII ) Jakarta, Presiden RI telah menyampaikan sambutan yang a.l menegaskan bahwa;

- Pemerintah akan memberikan dorongan agar hukum adat dapat berperan serta dalam pembangunan Indonesia.

- Bahwa misi besar bangsa Indonesia adalah mempertahankan nilai-nilai hukum adat dan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai adat yang mulia serta budaya luhur bangsa Indonesia agar tidak luntur.

- Bahwa pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat akan mendapat sanksi dan hukuman sesuai dengan norma-norma hukum adat yang bersangkutan, sementara pengakuan dan penghormatan perlu diukur dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, serta diatur dengan UU agar segala sesuatunya menjadi lebih jelas. Karena UU lah yang akan mengatur apa saja yang menjadi hak tradisonal masyarakat hukum adap dan hingga kini Indonesia belum memiliki UU tersebut. Oleh karena itu Presiden RI berharap dapat menyusun rancangan UU itu dalam waktu yang tidak terlalu lama.

- Bahwa dalam mewujudkan hak konstitusional masyarakat hukum adat harus mengedepankan konsep negara kesatuan dan menyerukan kepada segenap jajaran pemerintah di pusat maupun di daerah, agar bersungguh-sungguh dalam memperhatikan kepentingan hukum adat di daerah-daerah dalam menyusun program pembangunan

- Salah satu hasil penting dari acara tersebut diatas yaitu dibentuknya sekretariat nasional perlindungan hak konstitusional masyarakat hukum adat.






BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi substansi dari Konvensi tentang Penduduk Asli dan Penduduk Suku di Negara-negara Merdeka (“Indigenous Peoples”) adanya perlindungan terhadap penduduk asli dan penduduk suku terhadap hak hak ekonomi, social dan budaya dengan mempertimbangkan bahwa :

Prihatin bahwa “indigenous peoples” telah menderita akibat ketidakadilan sejarah yang disebabkan oleh, antara lain, penjajahan dan pengambilan tanah, wilayah dan sumber daya mereka, seingga menghambat mereka untuk dapat melaksanakan, terutama, hak atas pembangunan sesuai kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.
Meyakini bahwa penguasaan “indigenous peoples” terhadap pembangunan yang berdampak pada mereka dan pada tanah, wilayah dan sumber daya mereka dapat membuat mereka mempertahankan dan memperkuat lembaga-lembaga, budaya dan tradisi mereka, serta dapat memajukan pembangunan mereka sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan mereka sendiri.
Mengakui juga bahwa penghormatan terhadap pengetahuan “indigenous”, budaya dan praktek-praktek tradisional, turut serta di dalam pembangunan yang berkelanjutan dan merata dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Selain itu hal menarik bahwa telah ada perhatian yang cukup luas terhadap hak hak penduduk asli dan penduduk suku baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.
Pada tingkat internasional Deklarasi tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum dan merupakan bagian dari “soft law”. Namun, sungguhpun Deklarasi tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum tetapi penerimaan Deklarasi oleh PBB mencerminkan pengakuan internasional atas eksistensi dari hak-hak individual dan hak-hak kolektif dari “indigenous peoples”. Dengan demikian Deklarasi tersebut membawa kewajiban moral bagi masyarakat internasional.
Sedangkan di tingkat nasional sistim hukum nasional Indonesia tidak mengenal pembedaan warganegara Indonesia berdasarkan indigenous dan non indigenous karena semua orang Indonesia adalah indigenous, namun sisitm hukum Indonesia mengakui realita mengenai masyarakat huum adapt, misalnya pada Undang-Undang Pokok Agraria dan pembentukan MRP (Majelis Rakyat Papua) dalam Undang Undang no.21 tahun 2001.

B SARAN
Diperlukan adanya partisipasi masyarakat dan pemerintah serta masyarakat dunia dalam memperjuangkan hak hak ekonomi, sosial, politik dan budaya .

Implikasi hukum terhadap eksistensi masyarakat adat berakibat langsung terhadap eksistensi yuridis hak kolektifnya sehingga perlu mendapat perlindungan secara efektif melalui instrumen hukum yang akomodatif demi terciptanya bangsa dan negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Dalam rangka perlidungan hak kolektif masyarakat adat sebagai bentuk perlindungan hak-hak indigenous peoples maka adopsi terhadap deklarasi indigenous peoples kedalam peraturan perundang-undangan RI perlu dilakukan.hal ini merupakan amanah konstitusi juga merupakan agenda nasional yang sementara bergulir yaitu RANHAM 2004-2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar