Phinisi Mengarungi tiada akhir

Selasa, 19 Juli 2011

Pengertian dan Fungsi Sertifikat Hak Atas Tanah A. Pengertian dan Fungsi Sertifikat Hak Atas Tanah Tanah/lahan merupakan suatu rahmat dan anugerah dari Allah SWT yang sengaja diciptakan untuk tempat bermukimnya mahluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya. Pengertian ini memberikan makna bahwa manusia sebagai mahluk hidup sangat membutuhkan tanah/lahan, baik digunakan sebagi tempat tinggal, tempat bercocok tanam, maupun untuk tempat usaha lainnya, sementara persediaan lahan yang ada sangat terbatas. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa setiap orang berusaha menguasai dan mempertahankan bidang-bidang tanah/lahan tertentu termasuk mengusahakan status hak kepemilikannya. Dalam sistem hukum Agraria di Indonesia dikenal ada beberapa macam hak penguasaan atas tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1961 tentang Pokok Agraria, yaitu antara lain: Hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan. Pada dasarnya istilah “sertifikat” itu sendiri berasal dari bahasa Inggris (certificate) yang berarti ijazah atau Surat Keterangan yang dibuat oleh Pejabat tertentu. Dengan pemberian surat keterangan berarti Pejabat yang bersangkutan telah memberikan status tentang keadaan seseorang. Istilah “Sertifikat Tanah” dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai surat keterangan tanda bukti pemegang hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah bahwa telah menerangkan bahwa seseorang itu mempunyai hak atas suatu bidang tanah, ataupun tanah seseorang itu dalam kekuasaan tanggungan, seperti sertifikat Hipotek atau Kreditverband, berarti tanah itu terikat dengan Hipotek atau Kreditverband (Budi Harsono:1998). Pengertian Sertifikat Tanah dapat dilihat dasarnya yaitu dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 19, menyebutkan bahwa: Ayat (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi : 1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah 2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut 3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat Dengan berdasar ketentuan Pasal 19 UUPA, khususnya ayat (1) dan (2), dapat diketahui bahwa dengan pendaftaran tanah/pendaftaran hak-hak atas tanah, sebagai akibat hukumnya maka pemegang hak yang bersangkutan akan diberikan surat tanda hak atas tanah dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap pemegang hak atas tanah tersebut. Sertifikat Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah atau disebut juga Sertifikat Hak terdiri salinan Buku Tanah dan Surat Ukur yang dijilid dalam 1 (satu) sampul. Sertifikat tanah memuat: 1. Data fisik: letak, batas-batas, luas, keterangan fisik tanah dan beban yang ada di atas tanah; 1. Data yuridis: jenis hak (hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak pengelolaan) dan siapa pemegang hak. Istilah “sertifikat” dalam hal dimaksud sebagai surat tanda bukti hak atas tanah dapat kita temukan di dalam Pasal 13 ayat (3) dan (4) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961, bahwa: Ayat (3) Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur setelah dijahit secara bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut Sertifikat dan diberikan kepada yang berhak”. Ayat (4) Sertifikat tersebut pada ayat (3) pasal ini adalah surat tanda bukti hak yang dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria”. Serifikat hak atas tanah ini diterbitkan oleh Kantor Agraria Tingkat II (Kantor Pertanahan) seksi pendaftaran tanah. Pendaftaran itu baik untuk pendaftaran pertama kali (recording of title) atau pun pendaftaran berkelanjutan (continious recording) yang dibebankan oleh kekuasaan hak menguasai dari negara dan tidak akan pernah diserahkan kepada instansi yang lain. Sertifikat tanah yang diberikan itu dapat berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah, apabila dipersengketakan. Berdasarkan keadaan bahwa pada saat ini banyak terjadi sengketa di bidang pertanahan, sehingga menuntut peran maksimal dan profesionalisme yang tinggi dari petugas Kantor Pertanahan yang secara eksplisit tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan waktu untuk menyelesaikan proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan maupun pengenaan sanksi kepada petugas Kantor Pertanahan apabila melakukan kesalahan dalam pelaksanaan seluruh dan atau setiap proses dalam pendaftaran tanah. Hal ini erat kaitannya dengan hakikat dari sertifikat tanah itu sendiri, yaitu: 1. Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak baik oleh manusia secara perorangan maupun suatu badan hukum; 2. Merupakan alat bukti yang kuat bahwa subjek hukum yang tercantum dalam sertifikat tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya, sebelum dibuktikan sebaliknya atau telah lewat jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan sertifikat tanah; 3. Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak atas tanah tersebut.
Pejabat Pembuat Akta Tanah 1.Pengertian PPAT Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, namun dalam pelaksanaan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini, PPAT adalah Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta tanah tertentu, yaitu akta dari pada perjanjian perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961. 2.Dasar Hukum Dasar hukum PPAT adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa : “PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. PPAT sebagai pejabat umum yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah disebutkan bahwa : “Pejabat Pembuat Akta tanah yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pajabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan yang berlaku” Undang-undang tersebut memberikan ketegasan Bahwa PPAT adalah pejabat umum dan berwenang membuat akta otentik. Dengan demikian sesuai dengan pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa: “Suatu akta autentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditetapkan oleh Undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya” 3.Tugas dan Kewenangan PPAT Dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, tugas pokok PPAT yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu yang mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) diatas adalah berupa Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak guna bangunan, hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan, pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Untuk melaksanakan semua tugasnya itu, PPAT diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalam daerah kerjanya. Menurut bentuknya akta diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu : surat akta dan bukan surat akta. Surat akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Sedangkan pasal 3 dan pasal 4 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kewenangan PPAT, sebagai berikut : a)PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik terhadap semua perbuatan hukum mengenai semua hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. b)PPAT khsusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khsusus dalam penunjukannya dan sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. c)Dalam penjelasan pasal 4 ayat (1), pada dasarnya PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai tanah atau satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya, kecuali kalau ditentukan lain menurut pasal ini. Pelanggaran terhadap ketentuan ini mengakibatkan aktanya tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran yang masing-masing bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. d)Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta-akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi perbuatan hukum dalam akta. 4.Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT Menurut ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1998, PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk suatu daerah kerja tertentu. Dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1998, wewenang mengangkat dan memberhentikan Camat sebagai PPAT Sementara dilimpahkan kepala Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998, mengatur tentang syarat-syarat pengangkatan PPAT sebagai berikut : a)Kewarganegaraan Indonesia b)Berusia sekurang-kurangnmya 30 (tiga puluh) tahun c)Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh instansi Kepolisian setempat. d)Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. e)Sehat Jasmani dan rohani. f)Lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan lembaga pendidikan tinggi. g)Lulus ujian yang diselenggarakan oleh kantor Menteri Negara Agraria/badan Pertanahan Nasional. Sebelum melaksanakan tugas jabatannya, PPAT dan PPAT Sementara harus dilantik dan mengucapkan sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di daerah kerja PPAT yang bersangkutan, Kewajiban sumpah ini diatur dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Sumpah jabatan PPAT dan PPAT Sementara dituangkan dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh PPAT atau PPAT Sementara yang bersangkutan, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan para saksi. Bentuk, susunan kata-kata berita acara pengambilan sumpah /janji diatur oleh Menteri. Adapun mengenai pemberhentian PPAT, maka Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, mengatur sebagai berikut : Pasal 8 a)PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena : 1.meninggal dunia ; atau 2.telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun ; atau 3.diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan kedudukan di Kabupaten / kota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT ; atau 4.diberhentikan oleh Menteri. b)PPAT sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (3) hturf a dan b yaitu : PPAT Sementara berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagai Camat atau Kepala Desa c)dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT khusus apabila tidak lagi memegang jabatan sebagai Kepala Kantor Pertanahan. Pasal 9 : PPAT yang berhenti menjabat sebagai PPAT kerana diangkat dan mengangkat sumpah jabatan di Kebupaten/Kota yang lainnya daripada daerah kerjannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayai (1) huruf c dapat diangkat kembali menjadi PPAT dengan wilayah kerja Kabupaten / Kota tempat kedudukannya sebagai Notaris apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh. Pasal 10 : 1.PPAT berhenti dengan hormat dari jabatannya karena : a)permintaan sendiri ; b)tidak lagi maupun menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk; c)melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT ; d)diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI. 2.PPAT diberhenti dengan tidak hormat dari jabatannya, karena : a)melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT ; b)dijatuhi hukuman kurungan / penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahaun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hokum tetap. 3.Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada Menteri. 4.PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula apabila formasi PPAT daerah kerja tersebut belum penuh. Pasal 11 a)PPAT dapat diberhentikan untuk sementara dari jabatannya sebagaI PPAT karena sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam hukum kurungan / penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat. b)Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 5.Wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah Kedudukan PPAT adalah dalam satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupten/Kota. Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih, maka dalam waktu 1 tahun sejak diundangkannya UU tentang pembentukan Kabupaten/Kota yang baru, PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semula, harus memilih salah satu wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa apabila tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 tahun sejak pemilihan diundangkannya UU pembentukan Kabupaten/Kota baru tersebut, daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang bersangkutan. Formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri, apabila untuk suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT. Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. 6.Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Tugas PPAT. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas PPAT diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 68 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagai berikut : Pasal 65 Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan. Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya oleh Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan. Pasal 66 Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Badan sebagai berikut : 1)Memberikan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT; 2)Memberikan arahan kepada semua pemangku kepentingan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an; 3)Melakukan pembinaan dan pengawasan dan organisasi profesi PPAT agar tetap berjalan sesuai arah dan tujuannya; 4)Menjalankan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk memastikan pelayanan PPAT tetap berjalan sebagai mana mestinya; 5)Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dan PPAT sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT; Pembinaan dan pengawasan PPAT yang dilakukan Kepala Kantor Wilayah sebagai berikut : 1.Menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh kepala badan dan pertuan perundang-undangan yang berlaku; 2.Membantu melakukan sosialisasi, disiminasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan dan petunjuk teknis; 3.Secara periodik melakukan pengawasan kekantor PPAT guna memastikan ketertiban administrasi, pelaksanaan tugas dan kewajibansesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ke-PPATan. Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut : 1Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh kepala badan dan peraturan perundang-undangan 2.Memeriksa akta yang dibuat oleh PPAT dan memberi tahukan kepada PPAT secara tertulis yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya; 3.Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT. Pasal 67 1.Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan PPAT sebagai mana dimaksud dalam pasa 66 ayat (3), Kepala Kantor Pertanahan dapat menugaskan staf yang membidangi ke-PPAT-an. 2.Petugas yang ditugaskan untuk melaksanakan pemeriksaan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan surat tugas. 3.PPAT wajib melayani petugas sebagai mana dimaksud pada ayat (1) untuk memerikasa buku daftar akta, hasil penjilitan akta dan bukti-bukti pengiriman akta kekantor pertanahan. 4.Sebagai mana bukti bahwa daftar akta sudah diperiksa.petugas pemeriksa mencantumkan parafnya pada setiap halaman yang sudah diperiksa dan pada akhir halaman yang sudah diperiksa dengan dicantumkan tulisan “buku daftar akta ini sudah diperiksa oleh Saya......” dan membubuhkan tanda tangannya dibawah tulisan itu. 5.Hasil pemeriksaan tersebut dicantumkan dalam Risalah Pemeriksaan Pelaksanaan Kewajiban Operasional PPAT yang dibuat sesuai contoh dalam lampiran X dan ditanda tangani olehpetugas pemeriksa dan PPAT yang bersangkutan. Pasal 68 1.Apabila PPAT dalam melaksanakan tugasnya mendapat hambatan atau kendala pelayanan dikantor Pertanahan. PPAT yang bersangkutan dapat menyampaikan permasalahannyalangsung kepada Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan. 2.Apabila permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan oleh Kepala Kantor Pertanahan. PPAT yang bersangkutan dapat melaporkan pemasalahannya kepada Kepala Kantor Wilayah setempat atau kepada Kepala Badan melalui Organisasi profesi PPAT.

Pendaftaran Tanah

Pendaftaran Tanah 1. Pengertian Pendaftaran Tanah Tanah merupakan aset yang sangat berharga dan penting pada sekarang ini. Serta banyak sekali permasalahan yang timbul dan bersumber dari hak atas tanah. Untuk mengantisipasi dan mencegah perselisihan yang mungkin timbul maka pemilik hak perlu mendaftarkan tanah yang menjadi haknya supaya tidak terjadi sesuatu yang merugikan dikemudian hari dan menjadi bukti yang dapat dipertahankan terhadap pihak lain . Hak atas tanah suatu bidang tanah harus didaftarkan . Pendaftaran Tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dengan mendaftarkan hak atas tanah yang kita miliki maka kepemilikaan kita atas sebidang tanah berkekuatan hukum. Menurut Boedi Harsono yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah : “Merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur, terus menerus untuk mengumpulkan, menghimpun dan menyajikan mengenai semua tanah atau tanah-tanah tertentu yang ada disuatu wilayah” Dalam PP No. 24/1997 juga terdapat pengertian pendaftaran tanah yaitu dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah : “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terusmenerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi tanah yang sudah ada hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak yang membebaninya.” Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern merupakan tugas negara yang dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sebagaian kegiatannya yang berupa pengumpulan data fisik tanah yang haknya didaftar, dapat ditugaskan kepada swasta. Tetapi untuk memperoleh kekuatan hukum hasilnya memerlukan pengesahan pejabat pendaftaran yang berwenang, karena akan digunakan sebagai data bukti. Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berkaitan 1 (satu) dengan yang lain, berurutan menjadi satu kesatuanrangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat. Kata “terus – menerus” menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpuldan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir. Kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah. Dalam menyelenggarakan hak atas tanah dikenal 2 (dua) asas, yaitu : 1. Asas Spesialitas Asas Spesialitas ini dapat kita lihat dengan adanya data-data fisik tentang suatu hak atas tanah. Data-data fisik tersebut berisi tentang luas tanah yang menjadi subyek hak, letak tanah tersebut, dan juga penunjukkan batas-batas secara tegas. 2. Asas Publisitas Asas publisitas ini tercermin dari adanya data yuridis mengenai hak atas tanah seperti subyek hak nama pemegang hak atas tanah, peralihan hak atas tanah serta pembebanannya. Adapun salah satu bukti bahwa pendaftaran tanah di Indonesia sudah memenuhi asas-asas tersebut adalah dengan disajikannya data-data yang dibagi 2 (dua) kelompok yaitu : a. Data fisik adalah keterangan mengenai letak/lokasi, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. b. Data yuridis keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban yang membebaninya. 2. Asas dan Tujuan Pendaftaran Tanah Asas merupakan fundamen yang mendasari terjadinya sesuatu dan merupakan dasar dari suatu kegiatan , hal ini berlaku pada pendaftaran tanah. Oleh karena itu, dalam pendaftaran tanah ini terdapat asas yang harus menjadi patokan dalam melakukan pendaftaran tanah. Dalam pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutahir, dan terbuka. Sejalan dengan asas yang terkandung dalam pendaftaran tanah, maka tujuan yang ingin dicapai dari adanya pendaftaran tanah adalah sebagai berikut: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada para pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Tujuan pendaftaran tanah juga untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya menurut PP No. 24/1997 pembukuan bidang-bidang tanah yang data fisik atau data yuridisnya belum lengkap atau masih bersengketa, walaupun untuk tanah-tanah yang demikian belum dikeluarkan sertipikat tanda bukti haknya. 3. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah meliputi pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) dan pemeliharaan data pendaftaran tanah ( Maintenance) Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum terdaftar berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961dan PP No. 24 tahun 1997. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah dalam PP No. 24/1997 dijelaskan mengenai kekuatan pembuktian sertipikat yang dinyatakan sebagai alat bukti yang kuat oleh UUPA. Kantor Pertanahan yang menyelenggarakan pendaftaran tanah tersebut adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional wilayah Kabupaten/Kota atau wilayah administrasi lainnya, setingkat yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah menurut PP No. 24/1997 yang merupakan penyempurnaan PP Nomor 10 Tahun 1961 meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik b. Pembuktian hak dan pembukuannya. c. Penerbitan sertipikat d. Penyajian data fisik dan data yuridis e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen Pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu : 1. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Umumnya prakarsa datang dari pemerintah, berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah secara sistematik. 2. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau massal yang dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam hal pengumpulan dan pengolahan data fisik maka dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan yang meliputi: a. Pembuatan peta dasar pendaftaran, bertujuan agar setiap bidang tanah yang didaftar dijamin letak secara pasti dan dapat direkonstruksi di lapangan setiap saat. b. Penetapan batas bidang-bidang tanah, untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah , bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya menurut keperluannya ditempatkannya tanda-tanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan. Dalam upaya penetapan batas tersebut diatas diupayakan mendapat kesepakatan dari pihak yang berkepentingan. c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran. d. Pembuatan surat ukur,untuk kepentingan pndaftaran haknya bidang tanah yang sudah diukur dan dipetakan dalam peta pendaftaran dibuatkan surat ukur. e. Pembuatan daftar tanah, bidang tanah yang sudah dipetakan atau dibukukan nomor pendaftarannya dibukukan dalam daftar tanah yang digunakan sebagai sumber informasi lengkap mengenai bidang tanah yang bersangkutan. Setelah dilakukan kegiatan diatas maka selanjutnya dilakukan pembukuan hak yang diatur dalam pasal 30 PP No. 24 tahun 1997. Dan selanjutnya dilakukan penerbitan sertifikat sebagai surat tanda bukti hak. Dalam hal pemeliharaan pendaftaran tanah (Maintenance) dilakukan apabila terjadi perubahan data fdisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang didaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib pendaftarkan perubahan yang bersangkutan pada kantor Pertanahan. 4. Obyek Pendaftaran Tanah Dalam UUPA telah dijelaskan dan dijabarkan secara rinci mengenai hak atas tanah. Hak atas tanah ini dalam prosesnya berasal dari hak menguasai yang ada pada negara. Atas dasar hak menguasai tersebut maka negara dapat memberikan tanah negara tersebut kepada orang-orang atau badan hukum tertentu. Adapun macam-macam hak atas tanah yang akan diberikan dibicarakan dan wajib untuk didaftarkan di Kantor Pertanahan Tanah adalah: 1. Hak Milik 2. Hak Guna Usaha 3. Hak Guna Bangunan 4. Hak Pakai 5. Hak Pengelolaan Dalam Pasal 9 PP No. 24/1997 dijelaskan lebih rinci lagi mengenai obyek pendaftaran tanah, yaitu : a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. b. Tanah hak pengelolaan c. Tanah wakaf d. Hak milik atas satuan rumah susun e. Hak tanggungan f. Tanah Negara. Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah. Dengan hak-hak tersebut di atas para pemegang hak atas tanah diberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan juga dengan serta ruang yang ada di atasnya, bisa digunakan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut dalam batas-batas UU dan PP yang mengaturnya. 5. Sistem Pendaftaran Tanah dan Sistem Publikasi Dalam tataran filosophis pemikiran (terlepas dari praktek pelaksanaannya) sistim pendaftaran tanah di Indonesia terjadi kemunduran, dari sistem "publikasi positif" ke sistem negatif, yang menutup atau mempersulit jalan pemecahan permasalahan tiadanya jaminan kepastian hukum pertanahan. Kesalahan terbesar terletak pada sistemnya sendiri yang tidak konstruktif. Suatu ironi kebijakan antara pengharapan sekaligus penghalangan pencapaian tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri. Tap MPR no. IX tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam memberi arahan kebijakan untuk mengadakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan Landreform di Indonesia, serta berprinsip pada keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang dan pada keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat provinsi, kabupaten/ kota, desa), masyarakat dan individu. Latar belakang tentang sistim pendaftaran tanah di Indonesia. Overschrijvingsordonnantie (Peraturan Balik Nama) tanggal 2 April 1834 (Stbl. 1834 No. 27) adalah aturan pertama kali mengenai pendaftaran tanah yang menganut sistem positif, "pendaftaran merupakan satu-satunya alat bukti dan peralihan mengenai semua benda tetap serta semua akta dengan mana benda tetap itu dibebani hipotik berikut semua akta cessienya hanyalah sah apabila dibuat dimuka Pejabat Balik Nama". Dengan demikian karena pendaftaran merupakan satu-satunya alat bukti, maka logikanya negara bertanggung jawab atas data yang disajikan, dan hal ini dapat menjamin kepastian hukum. Menurut Boedi Harsono , Sistem pendaftaran tanah ada 2 (dua) macam yaitu : 1. Sistem Pendaftaran Hak (Registration of Titles) 2. Sistem Pendaftaran Akta (Registration of Deeds) Digunakan adalah sistem pendaftaran hak sebagaimana tercantum dalam PP 10/1961, sedangkan sistem publikasi yang kita pakai yaitu sistem negatif mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 2 sub c, Pasal 23 (2), Pasal 32 (2) dan Pasal 38 (2) UUPA. Dalam sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan: apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis serta bentuk bukti haknya. Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh pejabat pendaftaran tanah (PPT). Sikap dari PPT dalam sistem ini passif, ia tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar. Oleh karena sistem ini memiliki kekurangan-kekurangan antara lain lamanya untuk memperoleh data yuridis yaitu harus dengan melakukan “title search”, maka diciptakanlah sistem pendaftaran tanah yang baru yang lebih sederhana dan dimungkinkan orang memperoleh keterangan-keterangan dengan cara yang mudah. Sistem pendaftaran tanah ini dikenal dengan nama registration of title atau lebih dikenal sebagai sistem Torrens. Dalam sistem ini bukan aktanya yang didaftar tetapi hak-hak yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Berbeda dengan sistem pendaftaran akta, sistem ini PPT bersikap aktif. 6. Manfaat Pendaftaran Tanah Tujuan dan fungsi pendaftaran tanah yang telah dijelaskan di atas sebenarnya telah terlihat dnegan jelas manfaat dari pendaftaran tanah yang kita lakukan antara lain: a. Bagi masyarakat : 1. Mendapatkan jaminan kepastian hukum bagi pemegang sertipikat hak atas tanah. 2. Menghindari adanya perselisihan-perselisihan tentang masalah pertanahan yang biasanya timbul. Pada masyarakat pedesaan masalah batas merupakan yang dapat menimbulkan pertengkaran. Dengan adanya sertipikat yang menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah yang memuat data yuridis dan data teknik mengenai hak atas tanah pertengkaran tersebut dapat dicegah dan dihindari. 3. Memberikan kemudahan kepada pihak-pihak yang memerlukan data-data tentang tanah yang telah didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional. b. Bagi Pemerintah : 1. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan, sehingga apabila diperlukan data-data tentang tanah yang sudah didaftarkan pemerintah dapat memperolehnya dengan cepat. 2. Meningkatkan pendapatan negara dari pemasukkan negara lain melalui pendaftaran. 3. Meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak (pajak bumi dan bangunan)

Tujuan dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah

Tujuan dan Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria khususnya Pasal 2 mengenai hak menguasai negara atas tanah telah diuraikan bahwa kewenangan-kewenangan dari negara tersebut adalah : 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. 2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air dan ruang angkasa. Akibat dari keadaan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa wewenang pemberian hak tersebut dilakukan oleh Pemerintah, namun dalam penyelenggaraan wewenang tersebut tentunya banyak dijumpai berbagai macam permasalahan-permasalahan tanah yang salah satunya dapat berakibat pada terjadinya perselisihan maupun persengketaan hak atas tanah, dalam hal inilah dapat dilihat peranan Badan Pertanahan Nasional sebagai instansi Pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi dalam menangani permasalahan tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sejak penanganan masalah pertanahan bernaung di bawah Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri sampai pada akhirnya terbentuknya Badan Pertanahan Nasional, adapun beberapa ketentuan yang dijadikan sebagai dasar atau landasan operasional penyelesaian sengketa hukum hak-hak atas tanah oleh seksi Seksi Penanganan Konflik, Sengketa dan Perkara adalah sebagai berikut : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. 2. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria tanggal 4 Oktober 1983 Nomor SK. 245/DJA/1983 yang disempurnakan dengan SK tanggal 28 Oktober 1985 Nomor 18/DJA/1985 tentang pembentukan team task force penyelesaian masalah atau sengketa hak atas tanah Direktorat Jenderal Agraria. 3. Surat Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. 4. Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1989 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/ Kotamadya. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat khususnya dalam bidang keagrarisan, maka berdasarkan dari beberapa uraian tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa penyelesaian sengketa hak atas tanah pada hakikatnya tidak dapat terlepas dari tugas dan fungsi BPN dalam menangani masalah pertanahan yang dalam hal ini memang memerlukan penanganan secara sungguh-sungguh dan konsisten.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tanggal 29 Desember 1986 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat; b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut, dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional secara bertahap, diusahakan untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara, agar mampu menjadi alat yang efisien, efektit, bersih, serta berwibawa, dan yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat; c. bahwa meskipun pembangunan nasional hendak menciptakan suatu kondisi sehingga setiap warga masyarakat dapat menikmati suasana serta iklim ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan, dalam pelaksanaannya ada kemungkinan timbul benturan kepentingan, perselisilian, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional; d. bahwa untuk menyelesaikan sengketa tersebut diperlukan adanya Peradilan Tata Usaha Negara yang mampu menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat Tata Usaba Negara dengan masyarakat; e. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dan sesuai pula dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, perlu dibentuk Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha. Negara; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 dihubungkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara; 3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951); 4. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Pertama Pengertian Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah; 2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata; 4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan; 6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata; 7. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; 8. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pasal 2 Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana; e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Pasal 3 (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Bagian Kedua Kedudukan Pasal 4 Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Pasal 5 (1) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh : a. Pengadilan Tata Usaha Negara; b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. (2) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Bagian Ketiga Tempat Kedudukan Pasal 6 (1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Bagian Keempat Pembinaan Pasal 7 (1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan oleh Departemen Kehakiman. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara. BAB II SUSUNAN PENGADILAN Bagian Pertama Umum Pasal 8 Pengadilan terdiri atas : a. Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat pertama; b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan pengadilan tingkat banding. Pasal 9 Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk dengan Keputusan Presiden. Pasal 10 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk dengan undang-undang. Pasal 11 (1) Susunan Pengadilan terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. (2) Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. (3) Hakim anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah Hakim Tinggi. Bagian Kedua Ketua, Wakil Ketua, Hakim, dan Panitera Pengadilan Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pasal 12 (1) Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman. (2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini. Pasal 13 (1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri, dilakukan oleh Menteri Kehakiman. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara. Pasal 14 (1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. warga negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya; e. pegawai negeri; f. sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang Tata Usaha Negara; g. berumur serendah-rendahnya dua puluh lima tahun; h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela. (2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 15 (1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), huruf a huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h; b. berumur serendah-rendahnya empat puluh tahun; c. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, atau sekurang-kurangnya lima belas tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara. (2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya sepuluh tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya lima tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. (3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya delapan tahun sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau sekurang-kurangnya tiga tahun bagi Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 16 (1) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. (2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Pasal 17 (1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut : "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional: Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang, serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya ini sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua/Wakil Ketua/Hakim yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". (2) Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara. (3) Wakil Ketua dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara serta Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. (4) Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung. Pasal 18 (1) Kecual ditentuakan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak boleh merangkap menjadi : a. pelaksana putusan pengadilan; b. wali pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksan olehnya; c. pengusaha. (2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena : a. permintaan sendiri; b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; c. telah berumur enam puluh tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan enam puluh tiga tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. (2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara. Pasal 20 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan : a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; b. melakukan perbuatan tercela; c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; d. melanggar sumpah atau janji jabatan; e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. (3) Pembentukan, susunan, dan tata keda Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman. Pasal 21 Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri. Pasal 22 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. (2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2). Pasal 23 (1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya. (2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan Negari dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentain dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentaian sementara, serta hak-hak pejabat yang terhadapnya dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 25 (1) Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden. (2) Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 26 (1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman. (2) Dalam hal : a. Tertangkap tangan melakukan tindak Pidana kejahatan, atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap tanpa perintah dan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Paragraf 2 Panitera Pasal 27 (1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera. (2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti. Pasal 28 Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. warga negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; d. serendah-rendahnya berijazah sarjana muda hukum; e. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera atau tujuh tahun sebagai Panitera Muda Pengaditan Tata Usaha Negara, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pangadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pasal 29 Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan huruf c b. berijazah sarjana hukum; c. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Wakil Panitera atau delapan tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, atau empat tahun sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 30 Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; b. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau enam tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 31 Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan huruf c; b. berijazah sarjana hukum; c. berpengalaman sekurang-kurangnya empat tahun sebagai Panitera Muda atau tujuh tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau empat tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, atau menjabat sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 32 Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; b. berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 33 Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; b. berpengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun sebagai Panitera Pengganti Penpdilan Tinggi Tata Usaha Negara atau empat tahun sebagai Panitera Muda atau delapan tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 34 Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; b. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 35 Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seorang, calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, dan huruf d; b. berpengalaman sekurang-kurangnya lima tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara atau sepuluh tahun sebagai pegawai negeri pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pasal 36 (1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkairan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera. (2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum. (3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan sebagaimana dimaksud dalam rayat (1), dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Pasal 37 Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diangkat dari diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Kehakiman. Pasal 38 Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun". "Saya bersumpah/belanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-sekali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional; Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, seperti layaknya bagi seorang Panitera/Wakil Panitera/Panitera Muda/Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan". Pasal 39 Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja keparliteraan Pengadilan diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung. Bagian Ketiga Sekretaris Pasal 40 Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris. Pasal 41 Jabatan Sekretaris Pengadilan dirangkap oleh Panitera. Pasal 42 Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. warga negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; d. serendah-rendahnya berijazah sadana muda hukum atau sarjana muda administrasi; e. berpengalaman di bidang administrasi peradilan. Pasal 43 Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e; b. berijazah sadana hukum atau sarjana administrasi. Pasal 44 Wakil Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman. Pasal 45 Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris, Wakil Sekretaris diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan; bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut Saya bersumpah/berjanji : "bahwa saya, untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara, dan pemerintah". "bahwa saya akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab." "bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat Sekretaris/Wakil Sekretaris, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang atau golongan". "bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan". "bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara". Pasal 46 (1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum Pengadilan. (2) Tugas serta tanggung jawab, susanan organisasi, dan tata kerja sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman. BAB III KEKUASAAN PENGADILAN Pasal 47 Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Pasal 48 (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Pasal 49 Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan : a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 50 Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama. Pasal 51 (1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding. (2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya. (3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Ngara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48. (4) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi. Pasal 52 (1) Ketua Pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, dan Sekretaris di daerah hukumnya. (2) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya. (3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan yang dipandang perlu. (4) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksaa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara. BAB IV HUKUM ACARA Bagian Pertama Gugatan Pasal 53 (1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi. (2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut; c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut. Pasal 54 (1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat. (2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. (3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan. (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. (5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. (6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat. Pasal 55 Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pasal 56 (1) Gugatan harus memuat : a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya; b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat; c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan. (2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah. (3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara. yang disengketakan oleh penggugat. Pasal 57 (1) Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa. (2) Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan secara lisan di persidangan. (3) Surat kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi. Pasal 58 Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa. Pasal 59 (1) Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan. (2) Setelah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan. (3) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, dan menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang ditentukan. (4) Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis. Pasal 60 (1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengeketa dengan cuma-cuma. (2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di tempat kediaman pemohon. (3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatkan bahwa pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara. Pasal 61 (1) Permohonan gebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 harus diperiksa dan ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. (2) Penetapan ini diambil di tingkat pertama dan terakhir. (3) Penetapan Pengadilan yang telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding dan kasasi. Pasal 62 (1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal : a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan; b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperringatkan; c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak; d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat; e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. (2) a. Penetapan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya; b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan. (3) a. Terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan; b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. (4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat. (5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan sebgaimana dimaksud dalmn ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. (6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum. Pasal 63 (1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. (2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim: a. wajib memberi nasihar kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari; b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. (4). Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru. Pasal 64 (1) Dalam menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan. (2) Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua Paragraf 2. Pasal 65 Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat. Pasal 66 (1) Dalam hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah Republik Indonesia, Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. (2) Departemen Luar Negeri segera menyampaikan surat penetapan hari sidang beserta salinan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melalui Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalain wilayah tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada. (3) Petugas Perwakilan Republik Indonesia dalam jangka waktu tujuh hari sejak dilakukan pemanggilan tersebut, wajib memberi laporan kepada Pengadilan yang bersangkutan. Pasal 67 (1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. (2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya. (4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) : a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan; b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut. Bagian Kedua Pemeriksaan di Tingkat Pertama Paragraf 1 Pemeriksaan Dengan Acara Biasa Pasal 68 (1) Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga orang Hakim. (2) Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan. (3) Pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang. (4) Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik. Pasal 69 (1) Dalam ruang sidang setiap orang wajib menunjukkan sikap, perbuatan, tingkah laku, dan ucapan yang menjungjung tinggi wibawa, martabat, dan kehormatan Pengadilan dengan menaati tata tertib persidangan. (2) Setiap orang yang tidak menaati tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah mendapat peringatan dari dan atas perintah Hakim Ketua Sidang, dikeluarkan dari ruang sidang. (3) Tindakan Hakim Ketua Sidang terhadap pelanggaran tata tertib sebagaimana ditnaksud dalam ayat (2), tidak mengurangi kemungkinan dflakukan penuntutan, jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana. Pasal 70 (1) Untuk keperluan pemeriksaan, Hakiin Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakannya terbuka uuntuk umum. (2) Apabila Majehs Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum. (3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Pasal 71 (1) Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara. (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya perkara. Pasal 72 (1) Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggujawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat badir dan/atau menanggapi gugatan. (2) Dalam hal setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan Surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadirnya tergugat. (3) Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas. Pasal 73 (1) Dalam hal terdapat lebih dari seorang tergugat dan seorang atau lebih di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari sidang yang ditentukan Hakim Ketua Sidang. (2) Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan untuk dipanggil sekali lagi. (3) Apabila pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tergugat atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya. Pasal 74 (1) Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. (2) Hakim Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing. Pasal 75 (1) Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan hanya sampai dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus saksaina oleh Hakim. (2) Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim. Pasal 76 (1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban. (2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan,oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pangadilan hanya apabila disetujui tergugat. Pasal 77 (1) Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pangadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan. (2) Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. (3) Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa. Pasal 78 (1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera. (2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semanda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum. (3) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain. Pasal 79 (1) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa. (2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan atas kehendak Hakim atau Panitera, atau atas permintaan salah satu atau pihak-pihak yang bersengketa. (3) Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka pejabat Pengadilan yang berwenang yang menetapkan. (4) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus diganti dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa telah diputus, maka sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain. Pasal 80 Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa. Pasal 81 Dengan izin Ketua Pengadilan, penggugat, tergugat, dan penasihat hukum dapat mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya. Pasal 82 Para pihak yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Pasal 83 (1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai : a. pihak yang membela haknya; atau b. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang. (3) Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa. Pasal 84 (1) Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertutis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan. (2) Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, maka Hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan. (3) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibacakan dan/atau diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan. Pasal 85 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang memandang perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa. (2) Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada Pengadilan dalam persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu. (3) Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat yang asli belum diterima kembali dari Pengadilan. (4) Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan ini kepada penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dapat ditunda dahulu sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan. Pasal 86 (1) atas permintaan salah satu pihak, atau karena jabatannya, Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan seorang saksi untuk didengar dalam persidangan. (2) Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah supaya Saki dibawa oleh polisi ke persidangan. (3) Seorang saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pangadilan tersebut, tetapi pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi. Pasal 87 (1) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang. (2) Hakim Ketua Sidang menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama atau kepercayaannya, pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja dengan penggugat atau tergugat. (3) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya. Pasal 88 Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah : a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa; b. isteri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai; c. anak yang belum berusia tujuh belas tahun; d. orang sakit ingatan. Pasal 89 (1) Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ialah : a. saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak; b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu. (2) Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan Hakim. Pasal 90 (1) Pertanyaan yang diajukan kepada saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui Hakim Ketua Sidang. (2) Apabila pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua Sidang tidak ada kaitannya dengan sengketa, pertanyaan itu ditolak. Pasal 91 (1) Apabila penggugat atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat seorang ahli alih bahasa. (2) Sebelum melaksanakan tugasnya ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya untuk mengalihkan bahasa yang dipahami oleh penggugat atau saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya dengan sebaik-baiknya. (3) Orang yang menjadi saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa dalam sengketa tersebut. Pasal 92 (1) Dalam hal penggugat atau saksi bisu, dan/atau tuli dan tidak dapat menulis, Hakim Ketua Sidang dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan penggugat atau saksi sebagai juru bahasa. (2) Sebelum melaksanakan tugasnya juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya. (3) Dalam hal penggugat atau saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai menulis, Hakim Ketua Sidang dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh menyampaikan tulisan itu kepada penggugat atau saksi tersebut dengan perintah agar ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus dibacakan. Pasal 93 Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan. Pasal 94 (1) Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan di dengar dalam persidangan Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa. (2) Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat di dengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa. (3) Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar saksi tersebut. Pasal 95 (1) Apabila suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya. (2) Lanjutan sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak, dan bagi mereka pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan. (3) Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama ternyata tidak datang pada hari persidangan selanjutnya Hakim Ketua Sidang menyuruh memberitahukan kepada pihak tersebut waktu, hari, dan tanggal persidangan berikutnya. (4) Dalam hal pihak sebagaimana dalam ayat (3) tetap tidak hadir tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu secara patut, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya. Pasal 96 Dalam hal selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan memerlukan biaya, biaya tersebut harus dibayar dahulu oleh pihak yang mengajukan permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut. Pasal 97 (1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing. (2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut. (3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. (4) Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis berikutanya. (5) Apabil dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan. (6) Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak. (7) Putusan Pengadilan dapat berupa : a. gugatan ditolak; b. gugatan dikabulkan; c. gugatan tidak diterima; d. gugatan gugur. (8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. (9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa : a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3. (10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi. (11) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi. Paragraf 2 Pemeriksaan Dengan Acara Cepat Pasal 98 (1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat. (2) Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. (3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum. Pasal 99 (1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal. (2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2)menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. (3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari. Bagian Ketiga Pembuktian Pasal 100 (1) Alat bukti ialah : a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c. keterangan saksi; d. pengakuan para pihak; e. pengetahuan Hakim. (2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan. Pasal 101 Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah : a. akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; b. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; c. surat-surat lainnya yang bukan akta. Pasal 102 (1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. (2) Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli. Pasal 103 (1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli. (2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Pasal 104 Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri. Pasal 105 Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim. Pasal 106 Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Pasal 107 Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Bagian Keempat Putusan Pengadilan Pasal 108 (1) Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (2) Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. (3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 109 (1) Putusan Pengadilan harus memuat : a. Kepala putusan yang berbunyi : "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA"; b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa; c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas; d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. (2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan. (3) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan, putusan itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut bersidang. (4) Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut. (5) Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka putusan Pangadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut. Pasal 110 Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara. Pasal 111 Yang termasuk dalam biaya perkara ialah : a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai; b. biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan; c. biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang. Pasal 112 Jumlah baiya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan/atau tergugat disebut dalam amar putusan akhir Pengadilan. Pasal 113 (1) Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang. (2) Pihak yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan dapat meminta supaya diberikan kepadanya salinan resmi putusan itu dengan membayar biaya salinan. Pasal 114 (1) Pada setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam sidang. (2) Berita acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan Panitera; apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita acara tersebut. (3) Apabila Hakim Ketua Sidang dan panitera berhalangan menandatangani, maka berita acara ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim Ketua Sidang dan Panitera tersebut. Bagian Kelima Pelaksanaan Putusan Pengadilan Pasal 115 Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Pasal 116 (1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari. (2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. (3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. (4) Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. (5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. (6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Pasal 117 (1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna malaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekautan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan penggugat. (2) Dalam waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan putusan. Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya. (3) Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat. (4) Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetatapi tidak dapat diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud. (5) Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali. (6) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib ditaati kedua belah pihak. Pasal 118 (1) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9), ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama. (2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diajukan pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56; terhadap permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dan Pasal 63. (3) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut. Pasal 119 Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bagian Keenam Ganti Rugi Pasal 120 (1) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Besarnya ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (10) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketujuh Rehabilitasi Pasal 121 (1) Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11), salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Bagian Kedelapan Pemeriksaan di Tingkat Banding Pasal 122 Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pasal 123 (1) Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah. (2) Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera. Pasal 124 Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Pasal 125 (1) Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara. (2) Panitera memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding. Pasal 126 (1) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihakbahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tenggang waktu tiga puluh hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut. (2) Salinan putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selambat-lambatnya enam puluh hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan banding. (3) Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan Penitera Pengadilan. Pasal 127 (1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim. (2) Apabila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan itu. (3) Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, sedang Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat lain, Pengadilan Tinggi tersebut dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan memeriksa dan memutusnya. (4) Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam waktu tiga puluh hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi beserta surat pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama. Pasal 128 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku juga bagi pemeriksaan di tingkat banding. (2) Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera di tingkat banding dengan Hakim atau Panitera di tingkat pertama yang telah memeriksa dan memutus perkara yang sama. (3) Apabila seorang Hakim yang memutus di tingkat pertama kemudian menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi, maka Hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama di tingkat banding. Pasal 129 Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon, dan dalam hal permohonan pemeriksaan banding telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau. Pasal 130 Dalam hal salah satu pihak sudah menerima baik putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau. Bagian Kesembilan Pemeriksaan di Tingkat Kasasi Pasal 131 (1) Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. (2) Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Bagian Kesepuluh Pemeriksaan Peninjauan Kembali Pasal 132 (1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. (2) Acara pemeriksaan peninjauan kembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. BAB V KETENTUAN LAIN Pasal 133 Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para hakim Pasal 134 Ketua Pengadilan membagikan semua berkas dan/atau surat lainnya yang berhubungan dengan sengketa yang diajukan ke Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan. Pasal 135 (1) Dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara Tata Usaha Negara tertentu yang memerlukan kealdian khusus, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk seorang Hakim Ad Hoc sebagai Anggota Majelis. (2) Untuk dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf e dan huruf f. (3) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi Hakim Ad Hoc. (4) Tata cara penunjukkan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan Pemerintah. Pasal 136 Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diperiksa dan diputus berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang menyangkut kepentingan umum dan yang harus segera diperiksa, maka pemeriksaan perkara itu didahulukan. Pasal 137 Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti. Pasal 138 Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas membantu Hakim untuk mengikuti dan mencatat jalannya sidang Pengadilan. Pasal 139 (1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan. (2) Dalam daftar perkara tersebut setiap perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya. Pasal 140 Panitera membuat sarnan putusan Pengadilan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 141 (1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lainnya yang disimpan di kepaniteraan. (2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh dibawa ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 142 (1) Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut Undang-undang ini belum diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. (2) Sengketa Tata Usaha Negara yang pada saat terbentuknya Pengadilan menurut Undang-undang ini sudah diajukan kepada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 143 (1) Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku Menteri Kehakiman setelah mendengan pendapat Ketua Mahkamah Augng mengatur pengisian jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. (2) Pengangkatan dalam jabatan Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti, dan Wakil Sekretaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menyimpang dari persyaratan yang ditentukan dalam Undang-undang ini. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 144 Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Peradilan Administrasi Negara". Pasal 145 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya lima tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1986 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1986 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd SUDHARMONO, S.H. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1986 NOMOR 77