Phinisi Mengarungi tiada akhir

Selasa, 19 Juli 2011

PRINSIP – PRINSIP POKOK HUKUM INTERNASIONAL

PRINSIP – PRINSIP POKOK HUKUM INTERNASIONAL


Untuk memahami atau mengerti dengan sebaik-baiknya prinsip-prinsip pokok Hukum Internasional, maka pertama-tama harus diketahui apa yang menjadi definisi atau batasan dari Hukum Internasional itu sendiri. Definisi atau batasannya bukan sesuatu yang bersifat statis, melainkan bersifat dinamis sebab batasan atau pengertiannya senantiasa harus disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat internasional tempat di mana hukum internasional itu tumbuh, berkembang dan berlaku.

J.G. Starke dalam bukunya Stark”s International Law mengemukakan definisi Hukum Internasional (International Law) sebagai berikut : Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari azas-azas dan peraturan-peraturan tingkah laku di mana negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan dengan demikian mereka (negara-negara) itu juga harus menghormati atau mematuhinya dalam hubungannya satu sama lain, dan yang juga mencakup :
a) peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, hubungan antara organisasi internasional dengan negara serta hubungan antara organisasi internasional dengan individu ;
b) peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non state entities) sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara itu bersangkut paut dengan persoalam masyarakat internasional.

Definisi ini melampaui definisi tradisional tentang hukum internasional sebagai sebuah system yang semata-mata terdiri dari aturan-aturan yang mengatur hubungan antarnegara semata-mata. Batasan yang bersifat tradisional seperti itu yang hanya dibatasi pada tingkah laku negara-negara dalam hubungannya satu sama lain dapat ditemukan dalam kebanyakan karya tulisan hukum internasional lama yang digunakan sebagai standar, tetapi dilihat dari segi perkembangan hukum internasional selama lima puluh tahun terakhir, definisi tradisional tersebut tidak memberikan gambaran komprehensif mengenai semua aturan yang kini diakui menjadi bagian dari hukum internasional itu sendiri.
Perkembangan Hukum Internasional yang terjadi selama beberapa dasawarsa terutama menyangkut :

a) pembentukan sejumlah besar lembaga-lembaga atau organisasi internasional yang bersifat permanent seperti misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Badan-Badan Khusus PBB (Specialized Agencies) yang dianggap memiliki international legal personality dan dianggap dapat mengadakan hubungan satu sama lain maupun mengadakan hubungan dengan negara;

b) adanya gerakan yang disponsori atau diprakarsai oleh PBB dan Dewan Eropa (Council of Europe) guna melindungi hak-hak azasi manusia serta kebebasan fundamental dari individu, terbentuknya aturan-aturan atau kaidah-kaidah guna menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan internasional seperti genosida (genocide) atau kejahatan pemusnahan ras (lihat Genocide Convention 1948 yang berlaku pada tahun 1951) serta dibebankannya kewajiban pada individu berdasarkan keputusan dari Tribunal Militer Internasional di Nuremberg atau disebut pula Peradilan Nuremberg tahun 1946 yang menetapkan kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against peace), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) serta konspirasi untuk melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu sebagai kejahatan internasional ;


c) Pembentukan Mahkamah Kriminal Internasional (International Criminal Court atau disingkat ICC) yang bekedudukan di Den Haag berdasarkan Statuta Roma yang ditandatangani pada tahun 1993 dan kemudian telah berlaku sejak tahun 2002. Berdasarkan Statuta Roma, siapapun yang terlibat dalam kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan genosida ataupun berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya seperti kejahatan terorisme dapat diajukan ke depan ICC tanpa melihat apakan mereka adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, pejabat tinggi negara ataupun pejabat militer, tetapi harus diingat bahwa yurisdiksi ICC ini baru bisa diakses setelah semua upaya hukum setempat tidak berhasil dalam mewujudkan keadilan terhadap keluarga korban.

d) Terbentuknya mahkamah kriminal internasional yang bersifat adhoc, seperti misalnya apa yang dinamakan The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslav (ICTY) dan The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertujuan untuk mengadili individu-individu yang terlibat dalam berbagai kejahatan kemanusiaan tanpa menghiraukan apakah mereka kepala negara, kepala pemerintahan, pejabat tinggi negara atau pemerintahan baik dari kalangan sipil maupun militer. Namun pembentukannya tidak didasarkan pada Statuta Roma. melainkan pada Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tahun 1993 dan 1994.

E )Pembentukan Uni Eropa (European Union) berdasarkan perjanjian internasional yang disebut Perjanjian Mastricht pada tahun 1990 an yang merupakan kesepakatan dari sebagian besar dari negara-negara di Benua Eropa untuk membentuk dan menerapkan Sistem Pasar Tunggal dan menggunakan Mata Uang Euro sebagai Mata Uang Tunggal;

f) Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara yang terbentuk melalui Deklarasi ASEAN tahun 1967 dengan tujuan untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya dan bukan dalam bidang politik dan militer, yang dewasa ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga selain jumlah anggotanya telah bertambah dari 5 menjadi 10, juga negara-negara anggotanya dewasa ini telah berhasil dalam menyusun dan merumuskan apa yang disebut Piagam ASEAN. Piagam ini akan terdiri dari Pembukaan dan 12 pasal. Pasal 1 mengatur tentang :
Tujuan dan Prinsip-prinsip dari Organisasi ASEAN.
• Pasal 2 mengenai Status Hukum (Legal Personality) dari Organisasi ASEAN.
• Pasal 3 mengenai Keanggotaan (Membership).
• Pasal 4 mengenai Organ-Organ (Organs).
• Pasal 5 mengenai berbagai kekebalan dan hak-hak istimewa yang melekat pada Organisasi ASEAN (Immunities and Privileges).
• Pasal 6 mengenai Pengambilan Keputusan (Decision Making) oleh Organisasi ini.
• Pasal 7 mengenai Penyelesaian Sengketa (Dispute Settelement).
• Pasal 8 mengenai Anggaran dan Keuangan (Budget and Finance).
• Pasal 9 mengenai Administrasi dan Prosedur (Administration and Procedure).
• Pasal 10 mengenai Identitas dan Simbol (Identity and Symbol).
• Pasal 11 mengenai Hubungan Eksternal (External Relations).
• Pasal 12 mengenai Ketentuan Umum dan Ketentuan Penutup (General and Final Provisions).

ASEAN mempunyai tekad kuat untuk memiliki sebuah landasan hukum yang kuat bagi organisasi 10 negara di wilayah Asia Tenggara. Betapapun alotnya pembahasan piagam tersebut, para Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sudah menetapkan Piagam ASEAN itu sudah harus ditandatangani pada KTT ASEAN tahun 2007 di Singapura atau pada akhir tahun 2007 ini. Piagam ASEAN ini akan memberikan status hukum yang jelas bagi ASEAN sehingga dapat mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah organisasi yang berlandaskan aturan. Piagam ASEAN juga akan memberikan kerangka hukum untuk mencapai atau mewujudkan KomunitasASEAN, sekaligus menegaskan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip ASEAN. Piagam ASEAN ini diharapkan pula dapat menjadi pedoman dalam menyelesaikan pesengketaan yang mungkin terjadi di antara para anggotanya di kemudian hari. Di samping itu yang terpenting adalah membuat Organisasi ASEAN memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menghadapi tantangan-tantangan tradisional maupun nontradisional. Demikian antara lain lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional yang terbentuk memberikan kontribusi yang sangat besar dalam proses pembentukan dan pengembangan hukum internasional masa kini sebab semuanya ini memiliki kapasitas atau kemampuan untuk berinteraksi dan mengadakan hubungan baik dengan sesama organisasi atau lembaga internasional maupun dengan negara serta individu. Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyatakan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara (hubungan internasional) antara negara dengan negara, antara negara dengan subyek hukum lain yang bukan negara, ataupun antara subyek hukum lain bukan negara satu sama lainnya.
Definisi Hukum Internasional sebagaimana dipaparkan di atas pada hakekatnya menunjukkan pengertian yang sama (walaupun dengan rumusan yang berbeda) karena definisi tersebut secara jelas memberikan gambaran mengenai subyek-subyek hukum internasional atau pelaku-pelaku atau aktor-aktor dalam masyarakat internasional. Subyek-subyek hukum ini tidak hanya terbatas pada negara saja kendatipun negara adalah merupakan subyek utama dalam hukum internasional, namun negara bukan satu-satunya sebagai subyek hukum internasional karena di samping negara, juga ternyata ada subyek-subyek hukum internasional lain seperti lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, subyek-subyek hukum yang bukan negara yang sangat bevariasi dan beranekaragam dan jugaindividu yang juga memiliki hak-hak serta kewajiban internasional yang didasarkan atas hukum internasional. Selain memberikan deskripsi mengenai subyek-subyek hukum internasional, juga definisi tersebut di atas mendeskripsikan bahwa subyek-subyek hukum itu dapat melakukan interaksi atau hubungan satu sama lain, baik hubungan antara negara dengan negara, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional yang satu dengan organisasi internasional lainnya, negara ataupun organisasi internasional dengan subyek hukum lain seperti pihak belligerensi, korporasi (nasional dan multinasional) maupun individu, semuanya ini dapat menjadi aktor-aktor penting dalam masyarakat dunia yang dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional.
Melalui hubungan yang dilakukan oleh subyek-subyek hukum internasional baik hubungan antarsesama subyek hukum internasional maupun hubungan dengan yang bukan sesamanya, pada akhirnya akan melahirkan azas-azas serta kaidah-kaidah hukum interna sional.
Segala hal yang telah diuraikan di atas terkait dengan batasan hukum internasional khususnya batasan hukum internasional yang dikemukakan oleh J.G. Starke adalah sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Komar Kantaatmaja bahwa pendekatan hukum internasional modern melihat permasalahannya dari dua macam pendekatan, yakni dari pendekatan statik serta pendekatan dinamik. A.Pendekatan statik dalam hukum internasional melihat dari segi teoretik doktriner dan interpretasi yang diciptakan dari sejarah pembentukannya dan segala perangkat yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.
B. Pendekatan dinamik melihat dari bagaimana sebuah konsep berkembang dari bentuk asalnya menjadi bentuk masa kini yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat internasional masa kini.
Oleh karena itu perkembangan dinamik ini memberi ciri dan bentuk baru terhadap berbagai aspek kehidupan dari masyarakat internasional sekarang dalam perkembangannya menuju suatu perangkat kaidah hukum internasional masa mendatang (lihat Komar Kantaatmadja, “Evolusi Hukum Kebiasaan Internasional”, 1988, Hlm.1).



Istilah-Istilah
.
Berbagai istilah dapat diterapkan pada pengertian Hukum Internasional. Ada yang menggunakan istilah Hukum Bangsa-Bangsa (The Law of Nations), Hukum Antarbangsa (The Law among Nations), Hukum Antarnegara (Interstates Law), Hukum Internasional (The International Law), Hukum Transnasional (The Transnational Law), Hukum Dunia (World Law), etc. Adakalanya suatu istilah yang digunakan menunjuk pada suatu masa tertentu misalnya saja pada masa abad pertengahan dan mungkin sekali jauh sebelumnya dipergunakan istilah Hukum Bangsa-Bangsa (The Law of Nations) atau Hukum Antarbangsa (The Law among Nations) yang sebenarnya berasal dari istilah dalam bahasa Latin yang berbunyi Ius Gentium yang sebenarnya berarti hukum perdata yang berlaku antara orang-orang Romawi dengan orang-orang bukan Romawi atau antara orang-orang bukan Romawi satu sama lain. Hukum yang pada mulanya hanya mengatur hubungan perdata antara orang Romawi dengan orang bukan Romawi atau antara orang-orang bukan Romawi satu sama lain lama kelamaan juga diterapkan pada hubungan-hubungan yang tidak bersifat perdata. Dengan demikian Ius Gentium yang terjemahannya adalah The Law of Nations atau The Law among Nations dapat menunjukkan adanya kaidah-kaidah dan azas-azas hukum yang timbul dari adanya hubungan-hubungan yang dilakukan oleh negara-negara atau bangsa-bangsa pada masa abad pertengahan dan sebelum masa abad pertengahan di mana pada masa ini dikenal apa yang dinamakan konsep atau prinsip negara-negara kebangsaan (Nation States) atau negara yang berazaskan kebangsaan, yaitu prinsip yang menyamakan atau mengidentikkan negara dan bangsa. Negara adalah identik dengan bangsa atau bangsa adalah identik dengan negara dan dalam dalam prakteknya dipergunakan secara silih berganti dan hubungan yang mereka lakukan melahirkan azas-azas dan kaidah-kaidah hukum yang disebut Hukum Bangsa-Bangsa. Kemudian dengan berakhirnya masa abad pertengahan atau menjelang akhir abad pertengahan, negara-negara yang muncul bukan lagi negara-negara yang berlandaskan azas kebangsaan sehingga negara sudah tidak identik dengan bangsa kendatipun negara-negara kebangsaan (Nation States) masih sering dipergunakan oleh berbagai ahli, tetapi negara-negara kebangsaan yang dimaksud sudah berlandaskan atas konsepsi lain yang bukan konsepsi atau azas kebangsaan semata-mata. Negara-negara yang kemudian muncul menjelang berakhirnya masa abad pertengahan adalah negara-negara yang didasarkan atas azas territorialitas di mana setiap negara memiliki wilayah dengan batas-batas tertentu (defined territory) atau setiap negara memiliki kedaulatan atas wilayah yang telah ditentukan batas-batasnya (territorial souvereignty). Hubungan yang diadakan oleh negara-negara yang berlandaskan azas territorialitas melahirkan azas-azas atau kaidah-kaidah hukum yang dikenal dengan istilah Hukum Antarnegara (Interstates Law), yaitu azas-azas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara yang berlandaskan azas teritorialitas yang wilayahnya sudah ditentukan batas-batasnya Istilah hukum antarnegara (Interstates Law) mulai dipakai terutama sejak lahirnya negara-negara modern yang lahir setelah ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian di Westphalia tahun 1547 yang juga mengakhiri Perang Agama yang berlangsung selama 30 tahun. Selanjutnya dengan makin kompleksnya masyarakat dunia yang aktor-aktornya adalah terutama negara-negara serta meningkatnya kebutuhan yang beranekaragam dari negara-negara sehingga dalam mencapai dan memenuhi berbagai kebutuhan ini, maka para actor atau pelaku membentuk lembaga-lembaga atau organisasi initernasional melalui perjanjian internasional. Di dalam perjanjian ini diatur mengenai tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip organisasi, status hukumnya sebagai international legal personality atau subyek hukum internasional yang memiliki kapasitas untuk melakukan hubungan internasional secara mandiri, juga diatur mengenai keanggotaan organisasi, organ-organnya, tugas dan kewenangan dari masing-masing organnya, cara pengambilan keputusan, hak-hak istimewa dan kekebalan yang dimiliki organisasi ataupun para pejabatnya, dan seterusnya sehingga dengan demikian di dalam masyarakat dunia para pelaku yang dapat melakukan hubungan internasional tidak hanya terbatas pada negara-negara saja, tetapi juga lembaga atau organisasi internasional yang berdasarkan perjanjian yang melahirkan dan membentuknya juga berperan sebagai anggaran dasar yang menetapkan berbagai kewenangan dari organisasi tersebut. Dengan munculnya berbagai organisasi internasional dengan tugas dan tanggungjawab yang telah ditentukan, maka istilah hukum antarnegara yang sebelumnya lazim digunakan sejak abad ke-16 bersamaan dengan lahirnya negara-negara modern, istilah tersebut mulai ditinggalkan. Istilah yang muncul adalah istilah Hukum Internasional (International Law) yang dapat dikatakan merupakan gabungan antara Hukum Antarnegara dengan Organisasi Internasional. Dengan bahasa lain sebagaimana pernah diungkapkan oleh Prof. Dr Komar Kantaatmadja SH, LLM, Hukum Internasional (International Law) adalah Hukum Antarnegara (Interstates Law) ditambah Organisasi Internasional. Selanjutnya di dalam masyarakat internasional yang para anggotanya atau para aktornya beranekaragam dan melakukan interaksi baik dengan sesame maupun bukan dengan sesame subyek hukumnya secara terus menerus terjadi pergerakan dan dinamika di mana hubungan-hubungan internasional baik yang bersifat atau bercorak public maupun yang bercorak perdata seakan-akan tidak mengenal lagi semacam garis pemisah. Hubungan internasional yang bersifat public yang biasanya hanya dilakukan dan melibatkan negara-negara atau pemerintah serta organisasi internasional atau organisasi antarpemerintah (The States and the Public International Organizations), dewasa ini menunjukkan dan membuktikan bahwa hubungan semacam ini juga dapat dilakukan oleh individu atau organisasi non pemerintah (Nongovernmental Organization). Perjanjian Perdamaian antara Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki (Finlandia) pada bulan Agustus tahun 2005 atau yang dikenal dengan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki menjadi bukti bahwa individu atau organisasi non pemerintah juga dapat berperan sebagai subyek hukum internasional yang ternyata dapat memberikan kontribusi dalam tatanan internasional sebab lembaga non pemerintah yang disebut Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai oleh mantan Presiden Finlandia (Marti Ahtisaari) “berhasil” dalam berperan sebagai fasilitator dan mediator antara delegasi Pemerintah RI dengan delegasi GAM sehinga kedua belah pihak dapat melakukan perundingan guna mengakhiri permusuhan serta mewujudkan proses perdamaian di wilayah propinsi Nangroe Aceh Daroessalam dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebaliknya menyangkut hubungan-hubungan internasional yang bersifat perdata, dagang, ekonomi, bisnis, komersial dan lain-lainnya yang tidak bersifat public yang dahulu lazimnya hanya diperankan oleh individu-individu dan badan hukum atau korporasi baik yang bersifat nasional maupun multinasional, dewasa ini hubungan seperti itu juga dapat dijalankan oleh negara-negara serta organisasi internasional atau organisasi antarpemerintah (Governmental Organization). Negara melalui berbagai badan usaha yang dibentuknya sudah lazim mengadakan hubungan bisnis, ekonomi, perdagangan dan investasi baik dengan badan usaha yang berasal dari negara-negara lain yang dikenal dengan istilah Perusahaan Multinasional (Multinational Corporation) maupun badan usaha domestic (National Corporation) sehingga dalam hukum internasional sering dibuat pembedaan menyangkut perbuatan atau tindakan negara (Act of State). Ada yang dinamakan Jure Gestionis dan ada pula Jure Imperii yang secara singkat dapat dijelaskan, di mana suatu perbuatan negara yang dikualifikasi sebagai Iure Gestionis adalah perbuatan yang dilakukan oleh negara atau pejabatnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan komersial. Sedangkan perbuatan negara yang dikualifikasi sebagai iure Imperii adalah perbuatan yang dilakukan oleh negara atau pejabatnya dengan tujuan untuk mengatur kepentingan public walaupun harus diakui bahwa antara kedua jenis perbuatan negara itu kadang-kadang sulit untuk dipisahkan sebab misalnya perbuatan Iure Gestionis yang dikatakan sebagai tindakan komersial dari negara ternyata unsur kepentingan publiknya juga merupakan suatu keniscayaan; demikian pula sebaliknya walaupun unsure kepentingan public sangat menonjol pada perbuatan negara yang dinamakan Iure Imperii, ternyata unsur komersial dari perbuatan seperti ini juga merupakan suatu keniscayaan.
Karena sedemikian kaburnya hubungan internasional dewasa ini, maka sebagian ahli mencoba untuk memberi nama baru pada hubungan internasional yang diadakan oleh para actor atau subyek hukum internasional yang melahirkan azas-azas dan kaidah-kaidah hukum yang kemudian dinamakan Hukum Transnasional (Transnational Law). Dari sekian banyak istilah yang dapat diterapkan pada azas-azas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan internasional tersebut, pada umumnya orang cenderung untuk tetap menggunakan istilah Hukum Internasional. Namun demikian penggunaan berbagai isitilah tersebut kiranya tidak perlu dipersoalkan sebab istilah apapun yang ingin dipakai, hal yang paling penting adalah istilah yang digunakan itu tidak boleh mengingkari kenyataan masyarakat internasional yang di dalamnya dewasa ini telah tampil berbagai actor atau pelaku atau subyek yang saling berinteraksi atau saling berhubungan baik dengan sesama subyek hukum internasional maupun yang bukan sesamanya dan dari hubungan-hubungan yang mereka lakukan tentu saja melahirkan azas-azas dan kaidah-kaidah hukum I nternasional.

Hukum Internasional Umum, Hukum Internasional Regional dan Hukum Internasional Khusus
Dalam mempelajari hukum internasional terdapat beberapa bentuk perwujudan atau pola perkembangan yang khusus berlaku di suatu bagian dunia tertentu sehingga selain ada hukum internasional yang berlaku umum, ada pula hukum internasional regional yang terbatas lingkungan berlakunya, seperti misalnya hukum internasional negara-negara Amerika Latin, hukum internasional negara-negara ASEAN.
Adanya lembaga-lembaga hukum internasional regional, seperti konsep landas kontinen dilatarbelakangi oleh keadaan-keadaan yang khusus terdapat di bagian dunia itu. Akan tetapi walaupun menyimpang, hukum internasional regional itu tidak perlu bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku umum. Bahkan ada kalanya suatu lembaga atau konsep hukum yang mula-mula timbul dan tumbuh sebagai suatu konsep hukum internasional regional, lalu diterima sebagai bagian dari hukum internasional umum. Pengaturan hukum landas kontinen sebagaimana tercantum dalam Konvensi Geneva 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982 itu berasal dari konsep hukum landas kontinen negara-negara Amerika yang berakar dari Proklamasi Presiden AS Truman pada tahun 1942 Proklamasi Presiden Truman mengenai landas kontinen yang kemudian melahirkan doktrin Truman menyangkut hak eksklusif AS atas landas kontinen, hak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas sumber daya mineral yang terdapat di sana. Selanjutnya doktrin ini menimbulkan reaksi di kalangan negara-negara Amerika Latin yang pada umumnya tidak memiliki dasar laut dan tanah di bawahnya yang disebut landas kontinen (continental shelf) dan reaksi ini dinyatakan dan diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti pernyataan sepihak oleh masing-masing negara, deklarasi dari beberapa negara di kawasan negara-negara Amerika Latin dan terus menggeinding serta diterima oleh negara-negara dari berbagai kawasan lain di luar kawasan negara-negara Amerika Latin. Dengan demikian konsep hukum landas kontinen yang dahulu hanya merupakan konsep hukum dari kawasan atau region tertentu, tumbuh dan berkembang menjadi hukum kebiasaan regional dan akhirnya meningkat menjadi hukum kebiasaan internasional. Pada akhirnya konsep atau lembaga hukum landas yang berasal dari hukum kebiasaan negara-negara Amerika Latin dituangkan ke dalam konvensi internasional setelah diterima oleh mayoritas masyarakat internasional melalui proses pembentukan hukum kebiasaan internasional. Dapat dikatakan bahwa hukum kebiasaan internasional yang pada awalnya hanya berlaku pada negara-negara dari kawasan tertentu dalam kaitan dengan konsep hukum landas kontinen ternyata memberi kontribusi sangat berharga bagi perkembangan hukum internasional umum.
Selanjutnya ada juga yang dinamakan hukum internasional khusus yang pengertiannya sangat bergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang ingin dipakai. Apabila menggunakan pendekatan dari segi ruang lingkup berlakunya, maka hukum internasional khusus (special international law) dapat diartikan sebagai sekumpulan kaidah-kaidan dan azas-azas hukum yang hanya bagi negara-negara tertentu sehingga apa yang disebut hukum internasional khusus pada dasarnya terbentuk berdasarkan suatu perjanjian bilateral. Sebagaimana halnya dengan hukum internasional regional (regional international law), hukum internasional khusus dapat berkembang menjadi hukum internasional umum atau hukum internasional yang berlaku bagi semua negara atau setidak-tidaknya bagi sebagian besar anggota masyarakat internasional. Materi atau masalah yang pada awalnya hanya diatur dalam hukum internasional khusus berdasarkan perjanjian bilateral, dapat tumbuh dan berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional internasional serta dituangkan di dalam suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Dengan demikian hukum internasional khusus mengenai masalah hukum tertentu dapat memberikan kontribusi yang sangat penting bagi perkembangan hukum internasional umum. Hukum internasional regional dan hukum internasional khusus dan hukum internasional umum dalam kenyataannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi saling berinteraksi, saling berhubungan dan saling mengisi dan melengkapi sejalan dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan masyarakat internasional masa kini dan masa mendatang.
Selain beberapa bentuk perwujudan hukum internasional yang telah dikemukakan di atas, maka kadang-kadang ada juga yang mengemukakan apa yang dinamakan hukum dunia (World Law) sehingga harus dipertanyakan apa yang disebut hukum dunia maupun perbedaannya dengan hukum internasional. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa perbedaan antara hukum internasional dan hukum dunia terletak pada perbedaan asumsi atau titik tolak berpikir. Pengertian hukum internasional bertitik tolak dari pemikiran adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari sejumlah negara-negara yang merupakan anggota-anggota masyarakat internasional yang berdaulat dan merdeka, setara atau memiliki persamaan derajat satu sama lain, masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak di bawah kekuasaan yang lain. Dalam rangka pikiran ini tidak terdapat suatu badan yang berdiri di atas negara-negara baik dalam bentuk negara dunia maupun badan supranasional lainnya. Hukum internasional yang berlaku dalam masyarakat internasional seperti ini adalah bersifat koordinatif atau tertib hukum koordinasi antara para anggota masyarakat internasional yang sederajat. Mereka tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang diterima sebagai sekumpulan kaidah-kaidah dan azas-azas yang mengikat mereka dalam hubungannya satu sama lain.
Pengertian hukum dunia bertitik tolak dari dasar pemikiran yang berbeda. Konsep hukum dunia agaknya mendapat pengaruh analogi dengan hukum tata negara sehingga hukum dunia mengasumsikan adanya sebuah negara federasi dunia yang mencakup semua negara yang ada di seluruh dunia dan secara hirarkis negara federasi dunia tentu berada dan berdiri di atas negara-negara di dunia ini. Dengan demikian hukum dunia menciptakan suatu tertib hukum yang dinamakan tertib hukum subordinasi.
Kedua konsep mengenai tertib hukum masyarakat internasional atau masyarakat dunia mungkin saja menjadi suatu fakta atau kenyataan. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kalau kita memilih konsep hukum internasional yang menciptakan tertib hukum koordinasi, hal ini disebabkan karena tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang terdiri dari anggota-anggota yang sederajat itu lebih sesuai dengan kenyataan dunia dewasa ini. Namun demikian dengan lahirnya organisasi-organisasi internasional setelah Perang Dunia I, terutama International Labour Organization (1919) dan adanya pengakuan dari Mahkamah Internasional terhadap status Organisasi Internasional sebagai subyek hukum internasional (perhatikan kasus Reparation for Injuries Case tahun 1949), maka timbul suatu perubahan dalam struktur hukum internasional yang semula bersifat koordinatif lalu bergerak menuju ke arah


Masyarakat Internasional dan Hukum Internasional

Hukum Internasional yang mengatur hubungan di antara anggota-anggota masyarakat internasional atau hukum internasional berlaku di dalam masyarakat internasional dan dengan demikian dapat dikatakan masyarakat internasional adalah merupakan landasan sosiologis dari hukum internasional. Masyarakat internasional terutama sebelum berakhirnya Perang Dunia II terdiri dari sejumlah negara-negara berdaulat dan hal ini merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin bisa diingkari. Kenyataan menunjukkan bahwa negara-negara di dalam masyarakat internasional seperti ini senantiasa mengadakan hubungan satu sama lain secara terus menerus dalam berbagai bidang atau lapangan kehidupan (ekonomi, sosial-budaya, teknik, ilmu pengetahuan dan di antara mereka tidak dapat dilepaskan dari adanya kebutuhan dan manfaat yang bersifat berbagai aspek kehidupan lain). Adanya hubungan yang dilakukan secara terus menerus timbal balik. Untuk memelihara hubungan yang memberikan manfaat secara timbal balik sehingga hubungan itu dapat berjalan secara tertib diperlukan seperangkat aturan-aturan guna mencapai kepentingan bersama (common interest) negara-negara dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional masing-masing negara apalagi di dalam era globalisasi yang telah, sedang dan akan berlangsung secara terus menerus. Tidak ada satu bangsa atau negara manapun yang bisa mengisolasi diri dan tidak mau bergaul dengan negara lain. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, globalisasi itu jahat sebab ada negara tertentu yang mau mendominasi dan mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya, ada negara tertentu yang ingin mengatur secara berlebih-lebihan sehingga kita harus waspada dan tidak menjadi korban jahatnya globalisasi (Harian Kompas, Paradigma Menuju Indonesia Maju, 13 September 2007, Hlm. 15). Selain daripada adanya faktor kepentingan bersama dari negara-negara untuk mengadakan hubungan yang bersifat timbal balik serta memelihara dan mengaturnya sehingga dapat berjalan tertib, maka factor lain yang menyebabkan negara-negara untuk saling mengadakan hubungan adalah adanya azas-azas hukum yang sama di antara bangsa-bangsa atau negara-negara yang dalam kajian sumber-sumber hukum internasional dalam arti formal disebut azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The general principles of law recognized by civilized nations). Eksistensi azas-azas hukum umum yang menjadi factor pengikat bangsa-bangsa untuk senantisa mengadakan hubungan satu sama lain dalam berbagai aspek kehidupan adalah merupakan manifestasi dari ajaran hukum alam. Ajaran ini mewajibkan bangsa-bangsa atau umat manusia untuk selalu hidup berdampingan secara damai, yang berarti pula mereka harus selalu berhubungan serta saling membutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan sehingga kebutuhan ini menjadi suatu keniscayaan. Negara-negara sebagai subyek utama dalam masyarakat dan hukum internasional adalah negara-negara yang memiliki kedaulatan (souvereignty) atau kekuasaan tertinggi yang memang merupakan ciri hakiki dari setiap negara. Pengertian Kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dari setiap negara dapat berbenturan dengan pengertian masyarakat dan hukum internasional kalau pengertian kedaulatan negara mempergunakan pendekatan negara dunia sehingga di atas kedaulatan negara tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi dari kedaulatan yang dimiliki oleh negara. Kalau demikian halnya, maka pengertian kedaulatan bersifat mutlak dan tidak terbatas, pada hal kenyataan menunjukkan apa yang disebut negara dunia masih merupakan impian atau cita-cita dari beberapa negara tertentu yang sampai saat ini dan bahkan sampai kapanpun tidak akan terwujud. Namun demikian apabila pengertian kedaulatan ditempatkan dalam kedudukan yang wajar, di mana kedaulatan setiap negara bukan merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak terbatas, melainkan kekuasaan tertinggi yang sifatnya terbatas karena dibatasi dibatasi dalam batas-batas wilayah yang telah ditentukan. Dengan demikian pengertian kedaulatan negara harus dilihat dalam konteks kedaulatan territorialnya (territorial souvereignty) dan dalam konteks ini pengertian kedaulatan negara dalam arti sebenarnya tidak perlu bertentangan dengan masyarakat serta hukum internasional. Sebagai konsekuensi dari azas kedaulatan negara maka dengan sendirinya tampil azas kemerdekaan (independence) serta persamaan derajat atau persamaan kedaulatan dari negara-negara (souvereign equality of states). Dalam hubungan ini masyarakat internasional yang sejak lama hanya terdiri dari negara-negara berdaulat, merdeka serta sama derajatnya satu sama lain adalah merupakan masyarakat yang bersifat koordinatif dan hukum internasional yang mengatur hubungan antarnegara juga bersifat koordinatif atau hukum yang memperlihatkan ciri-ciri koordinatif sebab dalam masyarakat dan hukum internasional seperti ini tidak terdapat suatu badan supranasional yang berdiri di atas negara-negara. Dalam masyarakat internasional tidak terdapat suatu badan sentral sebagaimana terdapat dalam suatu negara serta hukum nasionalnya, di mana tidak dikenal adanya badan yang mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan hukum internasional, menerapkan maupun memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut sehingga hukum yang mengatur masyarakat internasional bukanlah kaidah-kaidah hukum yang bersifat subordinasi. Hukum internasional yang berlaku dalam masyarakat internasional yang para aktor atau subyeknya pada awalnya hanyalah negara yang merupakan subyek hukum internasional asli dan utama, hukum internasional ini tidak bersifat statik, tetapi sesuatu yang bersifat dinamik sehingga hukum internasional memiliki pendekatan statik dan pendekatan dinamik. Dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat internasional dan meningkatnya kebutuhan bagi para anggota masyarakat internasional di berbagai bidang terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka mulai terjadi pergeseran pada berbagai kaidah-kaidah hukum internasional yang secara tradisional dan klasik hanya memperlihatkan ciri-ciri koordinasi. Dewasa ini telah muncul kaidah-kaidah hukum internasional yang menunjukkan adanya gejala-gejala dan ciri-ciri subordinasi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam hukum internasional terutama setelah Perang Dunia II. Faktor pertama adalah timbulnya perubahan pada peta politik dunia akibat gejala dekolonisasi dan munculnya banyak negara-negara yang baru merdeka terutama dari benua Asia dan Afrika sehingga negara-negara ini menuntut dirobaknya tatanan hukum internasional yang berlaku sebelumnya sebab tidak mencerminkan kepentingan mereka dan hanya menguntungkan kelompok negara-negara tertentu. Demikian terjadi perubahan dalam bentuk perombakan atas peraturan-peraturan hukum internasional lama yang tidak mencerminkan keadilan seperti adanya berbagai macam perjanjian internasional yang tidak seimbang (Unequal Treaties). Di samping itu faktor lainnya adalah berupa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengharuskan dibuatnya pengaturan-pengaturan baru yang tidak dikenal sebelumnya seperti perjanjian di bidang hukum angkasa, hukum laut dan dibidang-bidang lainnya dalam rangka mengikuti dan mengakomodasi gerak perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Faktor lainnya yang dapat dikemukakan adalah terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat internasional yang semula hanya menggambarkan masyarakat dan hukum yang bersifat koordinasi bergerak ke arah masyarakat dan hukum yang mengandung ciri-ciri subordinasi. Timbulnya kaidah-kaidah hukum yang memperlihatkan ciri-ciri subordinasi akibat kebutuhan anggota-anggota masyarakat internasional dapat dikemukakan seperti Perjanjian Internasional mengenai pembentukan PBB yang dituangkan dalam bentuk Piagam PBB (The Charter of the United Nations). Piagam PBB yang di dalamnya memuat maksud-tujuan organisasi PBB, prinsip-prinsip PBB, organ-organ, kewenangan, keanggotaaan, anggaran belanja PBB, pengambilan keputusan etc, semuanya ini cenderung menampilkan ketentuan-ketentuan yang lebih bersifat subordinatif ketimbang koordinatif. Perjanjian Internasional mengenai pembentukan peradilan internasional di Nuremberg dan Tokyo berdasarkan The London Charter tahun 1946 dengan tujuan untuk mengadili dan menghukum individu-individu yang tersangkut dalam berbagai kejahatan seperti kejahatan kemanusiaan (Crimes against Humanity), kejahatan perang (War Crimes), kejahatan terhadap perdamaian dunia (Crimes against World Peace) maupun konspirasi untuk melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu dan tanpa memandang kedudukan serta latar belakang para pelakunya, mereka dibebani dengan pertanggungjawaban yang bersifat individual (individual responsibility) sehingga mereka tidak mungkin dapat berlindung di balik tanggungjawab negara (State Responsibility). Genocide Convention atau konvensi mengenai larangan melakukan pembasmian umat manusia atau sekelompok orang berdasarkan ras, warna kulit, etnis, suku bangsa, agama ataupun keyakinannya juga menetapkan pertanggunjawaban yang sifatnya individual dengan menjauhkan dalih atau alasan kepentingan negara maupun tanggungjawab negara. Demikian pula dengan pembentukan ICJ (International Court of Justice) melalui sebuah Statuta yang dinamakan Statuta Mahkamah Internasional (The Statute of the International Court of Justice) yang merupakan bagian integral daripada Piagam PBB. Di dalam Statuta ICJ diatur antara lain mengenai kewenangan Mahkamah untuk memutuskan setiap sengketa hukum yang diajukan oleh para pihak serta memberikan pendapat hukum (Advisory Opinion) berdasarkan permohonan atau permintaan dari organ-organ PBB ataupun dari badan-badan khusus dari organisasi dunia tersebut. Di samping itu juga diatur mengenai para pihak yang dapat berperkara di depan Mahkamah di mana hanya negara-negara yang dapat berperkara di depan Mahkamah (Only States may be parties before the Court). Mungkin saja seorang individu atau korporasi dari suatu negara berencana untuk menggugat Pemerintah asing, tetapi untuk melaksanakan rencana atau kepentingannya harus dengan meminta bantuan dari negaranya sendiri sebab sesuai Statuta dari Mahkamah Internasional para pihak yang bisa berperkara atau bersengketa di depan Mahkamah hanyalah negara-negara saja. Hal ini menunjukkan bahwa Statuta ICJ sebagai bagian dari perjanjian dan hukum internasional tidak hanya bersifat koordinasi, tetapi juga bersifat subordinasi. Demikian pula dengan pembentukan ICC (International Criminal Court) berdasarkan Statuta Roma yang ditandatangani tahun 1998 serta mulai berlaku sejak tahun 2002 lalu. Sekalipun peradilan ICC merupakan the last of the last resort sebab sebelum ICC melaksanakan yurisdiksi atau kewenangannya terkait dengan mereka yang tersangkut dalam berbagai kejahatan internasional (kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia, kejahatan genosida, kejahatan terorisme serta berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya), maka negara setempat mempunyai keharusan untuk menempuh dan menggunakan segala upaya hukum yang tersedia berdasarkan peraturan perundang-undangan dari negara tersebut. Semua perjanjian yang dikemukakan di atas hanyalah merupakan sebagian kecil dari contoh-contoh mengenai kaidah-kaidah hukum internasional yang mempunyai kecenderungan subordinatif atau kaidah-kaidah hukum yang memperlihatkan ciri-ciri subodinatif ketimbang koordinatif.


Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional

Arthur Nusbaum dalam bukunya A ConciseHistory of International Law atau terjemahannya oleh Sam Suhaedi Admawiria (penerbit Binacipta, Bandung, 1969) membagi sejarah hukum internasional dan perkembangannya atas jaman purbakala, jaman abad pertengahan (dunia barat dan dunia timur), abad modern sampai perang 30 tahun, dari perdamaian Westphalia sampai Perang Kaisar Napoleon, Kongres Wina sampai Perang Dunia I, Perjanjian Versailles sampai Perang Dunia II, dan akhirnya dari jaman setelah berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Namun demikian secara garis besar dapat dikemukakan beberapa periodisasi yang dapat digunakan dalam mengklarifikasi pertumbuhan serta perkembangan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum bangsa-bangsa atau hukum internasional. Beberapa periodisasi sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional dapat dikemukakan berikut ini. Ada periode pada zaman kebudayaan kuno, seperti kebudayaan India kuno, Cina kuno, Yunani kuno, Romawi kuno, Byzantium dan Yahudi. Ada periode yang dinamakan zaman abad pertengahan (Middle Ages), yaitu mulai sekitar abad kelima Masehi sampai perjanjian perdamaian West Phalia tahun 1648. Selanjutnya ada periode yang dinamakan masa perjuangan hak eksistensial bagi bangsa-bangsa atau negara-negara di kawasan Eropa. masa perjuangan hak hidup ini dimulai sejak kelahiran negara-negara kebangsaan yang menjadi landasan bagi masyarakat internasional sampai terselenggaranya Konferensi Perdamaian Den Haag II pada tahun 1907. Seterusnya ada periode yang dinamakan masa konsolidasi bagi masyarakat internasional dari kawasan Eropa dan sebagian di kawasan Amerika serta sekaligus merupakan masa memperjuangkan hak eksistensial bagi bangsa-bangsa terjajah yang berada di kawasan Asia, Afrika dan Pasifik. Masa ini dapat dianggap dimulai sejak tahun 1907 saat terselenggaranya Konferensi Perdamaian Den Haag II sampai berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945. Sejak tahun 1945 atau sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga sekarang kita memasuki masa yang dinamakan masa emansipasi atau perjuangan dalam memperoleh persamaan baik dalam bidang politik maupun ekonomi antara kelompok negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Demikian gambaran sekilas mengenai periodisasi kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional yang untuk seterusnya memerlukan pembahasan secara tahap demi tahap.
Hukum bangsa-bangsa pada zaman India kuno sudah mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur kedudukan dan hak-hak istimewa diplomat atau utusan raja yang disebut duta. Kebudayaan masyarakat India kuno juga sudah mengenal adanya kaidah-kaidah yang mengatur mengenai perjanjian, hak-hak dan kewajiban raja. Kebudayaan India kuno juga sudah mengenai ketentuan yang berkaitan dengan hukum perang yang antara lain membedakan secara tegas antara combatan dan non combatan, perlakuan terhadap tawanan perang dan cara melakukan perang (Mochtar Kusumaatmadja, Hlm. 25). Sebagaimana kebudayaan India kuno, maka dalam kebudayaan Cina kuno juga sudah dikenal benih-benih dan konsep-konsep hukum bangsa-bangsa yang juga memberikan kontribusi bagi lahirnya hukum internasional, seperti hubungan hukum di antara raja-raja atau kerajaan-kerajaan, hak-hak istimewa dan kekebalan bagi para utusan. Kebudayaan Yahudi kuno yang terkenal dengan Taurat atau Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament) juga sudah mengenal ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian, perlakuan terhadap orang asing, cara melakukan perang. Namun di dalam Taurat ada ketentuan mengenai perlakuan terhadap musuh bebuyutan yang memperkenankan adanya penyimpangan-penyimpangan dari hukum perang pada umumnya.
Sumbangan besar yang diberikan oleh kebudayaan Yunani kuno terhadap hukum bangsa-bangsa adalah doktrin hukum alam yang menyatakan hukum itu berasal dari alam yang diturunkan kepada manusia melalui akalnya. Juga sudah dikenal apa yang dinamakan lembaga arbitrase, diplomasi dan konsul. Walaupun ajaran hukum alam berasal dari lingkungan kebudayaan Yunani kuno, namun ajaran ini menjadi populer pada zaman Romawi kuno. Pada zaman Romawi kuno sudah dikenal apa yang disebut Ius Gentium yang kalau diterjemahkan menjadi hukum bangsa-bangsa. Ius Gentium mempunyai ruang lingkup yang luas sebab mencakup kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara bangsa Romawi dengan bukan bangsa Romawi maupun yang mengatur hubungan antara orang Romawi dengan orang bukan Romawi. Dikenal pula apa yang dinamakan Ius Civile, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang-orang Romawi satu sama lain. Sebenarnya baik Ius Civille maupun Ius Gentium, kedua-duanya di samping merupakan bagian daripada hukum alam, juga berisi kaidah-kaidah serta azas-azas hukum perdata Romawi yang kemudian juga diterapkan dalam hubungan antar bangsa atau hubungan antarnegara sehingga berkembang menjadi azas-azas hukum internasional. Misalnya cara-cara memperoleh tambahan wilayah bagi suatu negara maupun cara-cara kehilangan wilayah (occupatio atau occupation, praescriptio atau praescription, cessio atau cession, etc) itu berasal dari hukum perdata Romawi mengenai cara-cara memperoleh serta kehilangan hak milik. Juga mengenai hak servitut atau hak pengabdian pekarangan, azas itikad baik (bona fides atau good faith, azas pacta sunt servanda etc semuanya berasal dari hukum perdata Romawi sebagaimana dikenal dalam Ius Civile dan Ius Gentium yang kemudian berkembang menjadi azas-azas hukum internasional karena kaidah-kaidah dan azas hukum perdata Romawi ini diterapkan pula dalam hubungan antarbangsa ataupun hubungan antarnegara sehingga tumbuh dan berkembang menjadi kaidah-kaidah dan azas-azas hukum umum.
Selanjutnya pada zaman abad pertengahan (middle ages), suasananya di dunia Barat dapat dikatakan tidak memberikan kesempatan bagi perkembangan hukum internasional. Terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan hukum internasional atau hukum bangsa-bangsa pada zaman abad pertengahan tidak dapat berkembang. Beberapa faktor yang dapat dikemukakan adalah antara lain adalah bahwa pada waktu itu Gereja (Gereja Katolik) telah memiliki serta mengembangkan suatu sistem hukum yang bersifat komprehensif yang dinamakan Corpus Juris Canonici atau Hukum Kanonik. Hukum ini tidak bersifat nasional, juga tidak bersifat internasional, tetapi bersifat supra nasional, bahkan universal yang menjadi pegangan bagi seluruh umat Kristen di dunia (Lihat Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional, 1969, Hlm.22). .
Meskipun Gereja sebenarnya hanya berperan dalam urusan kerohanian, namun hukum kanonik ternyata telah menembus dan menjangkau urusan-urusan duniawi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menerapkan aturan-aturan yang berlaku dalam hubungan antarbangsa pada waktu abad pertengahan. Dalam kenyataannya Gereja dapat menerapkan sanksi-sanksi secara efektif, seperti seorang anggota Gereja atau seorang Kristen dapat dikenai sanksi yang dinamakan excommunicatio (excommunication) yang artinya orang itu diusir dari keanggotaan Gereja apabila dia melakukan pelanggaran berat atas hukum kanonik atau hukum Gereja, misalnya tidak mengakui Sri Paus sebagai Kepala Gereja. Di samping sanksi exkomunikasi, yang bersangkutan juga dikenai ancaman hukuman di alam baka.
Selain hukum Gereja yang merupakan penghalang bagi tumbuh dan berkembangnya hukum bangsa-bangsa pada zaman abad pertengahan, maka hukum imperial juga berperan dalam menghalangi perkembangan hukum bangsa-bangsa sebab selain daripada Sri Paus yang memiliki kekuasaan baik rohaniah maupun jasmaniah atau duniawi, maka Kaisar memegang kekuasaan tertinggi dan universal di dunia Barat. Pada tahun 800 setelah Masehi Paus Leo III menganugerahkan Charlemagne dengan mahkota imperial dan mendirikan kembali Kerajaan Roma di bagian Barat serta mengukuhkan kekeramatannya dalam semangat agama Kristen. Kerajaan ini yang kemudian dinamakan Kerajaan Romawi Kudus (the Holy Roman Empire) mencakup wilayah sekitar Eropa Tengah, termasuk Nederland, Italia Utara, Denmark, Hongaria, Polandia, Bulgaria yang dilihat dari sudut hukum tatanegara merupaan sebuah monarki besar sehingga hubungan antarbangsa atau hubungan internasional tidak mungkin terlaksana.di antara anggota-anggotanya, terutama di antara para raja. Kekuasaan Kaisar bahkan menjangkau di luar batas-batas wilayah kerajaan. Hanya kaisar yang berwenang untuk memberika gelar raja kepada para pangeran (princess) yang berkuasa di daerah-daerah bagian dari Kerajaan Romawi Suci. Selanjutnya perkembangan hukum internasional pada masa abad pertengahan tidak saja terhambat oleh keberadaan hukum supranasional baik itu hukum Gereja atau hukum kanonik (corpus juris canonici) maupun hukum imperial (lex imperialis atau imperial law), tetapi juga oleh suasana feodalisme). Feodalisme lahir pada awal abad pertengahan karena masyarakat membutuhkan adanya perlindungan dari organisasi kekuatan militer dalam usaha menghadapi musuh-musuh dan oknum-oknum petualang di daerah. Vassal sebagai pihak yang lemah membuat perjanjian dengan yang dipertuan agung sebagai pihak yang berkuasa. Berdasarkan perjanjian ini, maka vassal membaktikan jasa militer, kesetiaan, ketaatan dan upeti kepada yang dipertuan agung, sementara pihak yang disebut terakhir, yaitu pihak yang dipertuan agung memberikan perlindungan kepada pihak pertama. Ikatan feodal ini mempunyai ruang lingkup yang luas yang mencakup urusan pertanahan yang dikuasai oleh yang dipertuan agung sampai pada hubungan dengan para penyewa. Penyewa, khususnya penyewa tanah besar milik yang dipertuan agung merupakan hamba yang bekerja di tanah milik para yang dipertuan agung sehingga mereka yang dipertuan agung menjadi penguasa atas tanah dan manusia. Mereka ini juga sering mendapat kekuasaan yudikatif atau kekuasaan peradilan dan hak-hak prerogatif lain dari raja-raja dan Gereja sehingga dengan demikian susunan Pemerintahan menjadi lemah. Sebaliknya seorang pamong agung dapat menjadi vassal dari pamong agung lainnya karena kedudukan dari vassal dipandang sebagai kedudukan terhormat dalam masyarakat pada waktu itu. Dengan demikian timbul hirarki-hirarki feodal yang sering berada di bawah kekuasaan tertinggi dari Kaisar, Raja atau Sri Paus. Ikatan-ikatan feodal juga dapat merambah sampai ke luar batas-batas wilayah negara. Misalnya Raja Inggeris pernah menjadi vassal dari Raja Perancis untuk daerah Normandia. Peninggalan dari sistem feodalisme dapat dilihat dalam istilah suzerain yang berlaku dalam hukum internasional, di mana istilah suzerain berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem feodal dan kemudian di dalam hukum internasional diartikan sebagai penguasa tertinggi bagi daerah protektorat atau daerah yang menyerupai protektorat. .
Meskipun dapat dikatakan selama abad pertengahan hukum bangsa-bangsa tidak dapat bertumbuh akibat adanya hukum yang bersifat supranasional seperti lex imperialis atau hukum dari Kekaisaran Romawi Suci dan Lex Cannonici, namun ternyata terdapat embrio bagi pertumbuhan hukum internasional terutama di antara bangsa-bangsa di luar Kerajaan Romawi Suci dalam hubungannya satu sama lain, seperti Inggeris, Perancis, Castile, Aragon, Portugal, Swedia dan Venetia. Negara-negara ini mengadakan hubungan dan membuat perjanjian guna mengatur hubungan mereka satu sama lain. Kerajaan Romawi sendiri jarang membuat perjanjian, terkecuali perjanjian yang diadakan di Joppa pada tahun 1229 antara Kaisar Frederich II dengan Sultan El Kamil pada waktu terjadinya Perang Salib V. Para pangeran dan Kotapraja dalam lingkungan Kekaisaran Romawi mengadakan persetujuan terutama di antara mereka sendiri satu sama lain. kaNamun mengingat kekuasaan dari Kaisar Roma semakin lama semakin lemah, ma para pangeran atau kotapraja juga mengadakan persetujuan dengan raja-raja di luar Kekaisaran Romawi. Dibuatnya perjanjian-perjanjian seperti ini dipelopori oleh Kota-kota besar di bangsa-bangsa dan hukum bangsa-bangsa selama masa abad pertengahan, di mana struktur masyarakat bangsa-bangsa merupakan masyarakat subordinasi dan dengan begitu hukum yang berlaku di kalangan masyarakat adalah merupakan tertib hukum subordinasi.
Berakhirnya masa abad pertengahan (Middle Ages) yang disebut juga dengan abad kegelapan (dark ages) seiring dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Suci (the Holy Roman Empire atau Sanctum Romanum Imperium) maupun merosotnya pengaruh Gereja dalam kehidupan masyarakat bangsa-bangsa. Proses berakhirnya masa abad pertengahan ini ditandai dengan terjadinya peperangan yang berlangsung lama baik yang terjadi dalam lingkungan Kerajaan Romawi maupun di luarnya, terutama ketika meletus Perang Agama yang berlangsung 30 tahun lamanya (1618 – 1648) yang pada akhirnya dapat diatasi melalui Perjanjian Perdamaian West Phalia tahun 1648. Perjanjian ini sangat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan hukum internasional berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :
1) Perjanjian ini di samping mengakhiri Perang Agama atau Perang 30 tahun antara masyarakat Kristen Katolik dan masyarakat Kristen Protestan (masyarakat yang memisahkan diri dari Gereja Katolik yang berpusat di Roma serta tidak mengakui lagi Sri Paus sebagai satu-satunya Kepala Gereja), juga perjanjian perdamaian West Phalia ini mengukuhkan terjadinya perubahan peta bumi politik yang terjadi sebagai akibat dari peperangan di Eropa.
2) Perjanjian ini mengakhiri untuk selama-lamanya usaha dari Kaisar Roma untuk mempertahankan dan menghidupkan kembali Kekaisaran Romawi (Imperium Romanum).
3) Dengan adanya perjanjian perdamaian West Phalia, maka hubungan antarbangsa atau hubungan internasional didasarkan atas kepentingan nasional dari masing-masing negara sehingga negara-negara telah melepaslkan diri dari pengaruh kekuasaan Gereja.
4) Perjanjian ini memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan dari negeri-negeri Nederland, Swiss serta negara-negara kecil di Jerman.
Dapat dikemukakan bahwa perjanjian perdamaian ini meletakkan dasar-dasar bagi struktur masyarakat internasional yang baru baik menyangkut bentuknya maupun hakekatnya. Mengenai bentuk dari masyarakat internasional yang tercipta akibat dari perjanjian tersebut dapat ditunjukkan atau dibuktikan melalui kenyataan bahwa masyarakat internasional itu terdiri dari negara-negara kebangsaan (nation states) dan bukan lagi kerajaan-kerajaan. Sedangkahukumn mengenai hakekat dari negara-negara kebangsaan maupun pemerintahannya sudah dilepaskan dari pengaruh kekuasaan Gereja. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa dengan ditandatanganinya perjanjian perdamaian West Phalia tahun 1648 dapat dianggap sebagai saat lahirnya negara-negara kebangsaan atau negara-negara modern yang menjadi landasan bagi struktur masyarakat internasional modern yang memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda dengan masyarakat bangsa-bangsa pada zaman abad pertengahan.
Adapun ciri-ciri utama yang membedakan antara struktur masyarakat internasional modern (yaitu setelah berakhirnya masa abad pertengahan atau sejak ditandatanganinya Perjanjian West Phalia) dengan masyarakat bangsa-bangsa selama masa abad pertengahan ini adalag sebagai berikut (Mochtar Kusumaatmadja, Hlm. 30) :
1) Negara-negara yang lahir sejak perjanjian perdamaian West Phalia ini adalah merupakan negara-negara yang mempunyai kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dengan batas-batas teritorial yang telah ditentukan (territorial souvereignty)
2) Karena masing-masing negara memiliki kedaulatan teritorial, maka hubungan yang mereka lakukan didasarkan atas kemerdekaan serta persamaan derajat (independence and souvereign equality).
3) Karena setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas-batas wilayahnya, maka negara-negara atau masyarakat negara sudah tidak mau mengakui kekuasaan yang lebih tinggi yang berada di atas masing-masing negara. Mereka tidak lagi mengakui kekuasaan dari kaisar Roma maupun dari Paus sebagai Kepala Gereja, sebagaimana yang berlaku selama abad-abad pertengahan.
4) Karena hubungan antarnegara didasarkan atas persamaan derajat dan kemerdekaan ataupun atas kepentingan nasional dari masing-masing negara, maka bagaimanapun hubungan yang mereka jalin satu sama lain harus berlandaskan atas hukum yang berlaku yang kaidah-kaidah dan azas-azasnya pada umumnya menerapkan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum perdata Romawi.
5) Walaupun selama abad pertengahan di Eropa Barat hukum internasional itu bereksistensi, namun Eropa zaman abad pertengahan (medieval Europe) sangat tidak mendukung perkembangan hukum internasional karena Eropa di zaman itu tidak terdiri dari negara-negara dalam pengertian modern (lihat Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, Fourth Edition, George Allen & Unwin, 1982, Hlm.12). Keadaan ini berbeda dengan Eropa Barat setelah berakhirnya zaman abad pertengahan. Karena dalam masyarakat Eropa sejak perjanjian West Phalia ditandatangani hubungan antarnegara didasarkan atas hukum, maka negara-negara mengakui eksistensi hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan di anatara mereka satu sama lain. Namun untuk mengakui adanya hukum initernasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antarnegara, maka setiap negara harus mempunyai peranan besar da;lam mematuhi kaidah-kaidah hukum internasional.
6) Di dalam masyarakat internasional yang terbentuk sejak perjanjian perdamaian West Phalia tidalk terdapat mahkamah pengadilan internasional serta kepolisian internasional yang bertugas dan berperan untuk memaksakan pentaatan terhadap hukum internasional.
7) Timbulnya pergeseran doktrin mengenai perang yang selama masa abad pertengahan dikenal dengan adanya doktrin belum justum sebagai perang suci bergeser menjadi doktrin yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan persengketaan untuk mencapai tujuan kepentingan nasional (doktrin belum verum).
Semua azas dan ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian West Phalia dikukuhkan kembali melalui Perjanjian Utrecht pada yahun yang sama (1648) dan Perjanjian terakhir ini sangat penting artinya ditinjau dari sudiut politik internasional karena perjanjian Utrecht ini menerima azas keseimbangan kekuatan (balance of power) sebagai azas politik internasional (international politics) sebagai sebuah pergulatan kekuasaan. Demikian perbedaan antara masyarakat bangsa-bangsa selama abad pertengahan (medieval ages) dengan masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara setelah berakhirnya zaman abad pertengahan, di mana hal yang disebut terakhir ditandai dengan perjanjian perdamaian West Phalia pada tahun 1648. Perjanjian ini dapat dipandang sebagai titik awal lahirnya negara-negara kebangsaan (nation states or national states) atau masyarakat internasional modern.yang terdiri dari negara-negara klebangsaan dengan ciri memiliki kedaulatan ataui atau kekuasaan tertinggi dalam batas-batas wilayah yang telah ditetapkan (established).
Walaupun hubungan antarnegara pada waktu itu didasarkan atas hukum yang npada umumnya mengambilalih dan menerapkan azas-azas hukum perdata yang berlaku pada zaman Romawi kuno, namun dapat dikatakan hukum i9nternasional pada masa itu masih dalam tahap mencari bentuk dan isinya. Pada tahap ini sudah tentu masih terdapat banyak masalah yang belum ada pengaturannya ataupun kalau ada, namun pengaturannya belum jelas sehingga orang berpaling kepada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku atau pernah berlaku pada masa-masa sebelumnya (kebudayaan Yunani dan Romawi kuno, etc). Selain dari pada itu orang juga berpaling kepada para pemikir dan penulis hukum internasional yang terkenal dengan sebutan “the Classical Writers of International Law”yang pandangannya tentang suatu masalah sangat bernilai sebab mereka dianggap memiliki kapasitas untuk memecahkannya secara baik.
Esensi pendekatan mereka terhadap hukum internasional dapat dijejaki dari para filosof Spanyol ketika negeri ini mencapai puncak keemasannya (Golden Ages) (Malcolm N. Shaw, International Law, Second Edition, Grotius Publications Limited, 1986, Hlm. 21). Figur atau tokoh utama dari para filosof Spanyol ini adalah Fransisco Vitoria, Professor Teologi di Universitas Salamanca (1480 – 1546). Kuliah-kuliahnya dipelihara dan dilestarikan oleh para mahasiswanya serta dipublikasikan setelah dia meninggal. Dia menunjukkan sikap yang amat progressif pada zamannya terhadap penaklukan Spanyol atas orang-orang Indian di Amerika Selatan serta bertentangan dengan pandangan yang berlaku hingga waktu itu. Dia membela orang-orang Indian dengan mengatakan bahwa rakyat Indian seharusnya dipandang sebagai bangsa yang mempunyai hak-hak dan kepentingan legitim. Perang melawan orang-orang Indian hanya dapat dibenarkan atas dasar alasan yang adil (on the grounds of a just cause). Hukum Internasional dibangun atas hukum alam yang sifatnya universal dan hal ini berarti bahwa orang-orang yang bukan Eropa harus dimasukkan di dalam ruang lingkup hukum alam yang menjadi landasan hukum internasional. Akan tetapi Fransisco Vitoria sama sekali tidak mengakui bangsa Indian sama seperti negara-negara Kristen di Eropa. Baginya, menentang para misionaris yang bekerja di wilayah orang Indian di Amerika Selatan justru sudah merupakan alasan yang tepat atau sah untuk melakukajn peperangan, dan dia mengadopsi pandangan yang agak luas mengenai hak-hak orang Spanyol di Amerika Selatan. Vitoria bukan orang merdeka dan sesungguhnya dia bertindak demi kepentingan Spanyol (the Spanish Inquisition), namun kuliah-kuliahnya menandai sebuah langkah ke depan dalam arah yang benar.
Fransisco Suarez (1548 – 1617) adalah seorang imam dari Ordo Jezuit dan Guru Besar Teologia dan sangat dipengaruhi oleh kultur zaman abad pertengahan. Dia mencatat bahwa sifat mengikat hukum internasional didasarkan atas hukum alam, sementara substansinya berasal dari kaidah hukum alam yang melaksanakan perjanjian-perjanjian yang telah diadakan.
Dari latar belakang yang samasekali berbeda, namun seimbang, jika tidak lebih, maka yang berpengaruh adalah Alberico Gentili (1552 -1608). Dia lahir di Italia Utara dan lari ke Inggeris guna menghindari penyiksaan, ketika beralih ke gerakan Protestantisme.Bukunya yang berjudul De Jure Belli dipublikasikan pada tahun 1598. Bukunya membahas secara komprehensif mengenai hukum perang serta berisi bagian-bagian berharga tentang hukum perjanjian. Sebagai Guru Besar di Oxford, Gentili dijuluki sebagai pencipta (originator) dari aliran pemikiran sekuler dalm hukum internasional serta meminimalisasi anasir-anasir atau unsur-unsur ketuhanan yang signifikan.
Hugo Grotius (Hugo de Groot), seorang sarjana berkebangsaan Belanda, yang paling terkemuka serta dikenal sebagai bapak hukum internasional (the father of international law). Beliau adalah seorang yang amat terpelajar, menguasai sejarah, teologi, matematika dan hukum. Karya tulisnya yang utama adalah De Jure Belli ac Pacis yang ditulis selama tahun 1623 dan 1624. Grotius menghilangkan Teologi atau Ilmu Ketuhanan dari hukum internasional serta menekankan tidak relevannya mengkaji konsepsi hukum ilahi (divine law). Dia menyatakan bahwa hukum alam (the law of nature) tetap berlaku (valid).tanpa memperhatikan ada tidaknya Tuhan. Eksistensi hukum alam tidak ditentukan oleh eksistensi Tuhan. Pernyataan yang meskipun dikemas dalam agama protestan adalah sangat berani. Hukum alam kembali kepada hukum yang dibangun semata-mata berdasarkan ratio atau akal manusia. Dengan demikian dia sangat berjasa dalam memurnikan.ajaran hukum alam dari pengaruh Teologi Kristen yang selama berabad-abad pada zaman abad pertengahan mempengaruhi ajaran hukum alam sehingga pada masa abad pertengahan yang dinamakan pula sebagai abad-abad gelap tidak terdapat pemisahan antara hukum, agama serta moral. Itulah antara lain jasa dari Grotius. Di samping itu Grotius juga berjasa dalam melahirkan konsep kebebasan lau (freedom of the seas), sebagaimana dapat dilihat dalam karya tulisnya Mare Liberum yang sebenarnya merupakan salah satu bab dari bukunya yang berjudul De Jure Belli ac Pacis.
.

Sebagaimana diketahui masa antara saat penandatanganan perjanjian perdamaian West Phalia 1648 hingga Konferensi perdamaian Den Haag II tahun 1907 dengan memakai beberapa referensi internasional dinamakan sebagai masa memperjuangkan hak hidup bagi negara-negara di kawasan Eropa, sedangkan masa antara tahun 1907 hingga berakhirnya Perang Dunia I ndan II disebut sebagai masa konsolidasi masyarakat internasional terutama yang berada di kawasan Eropa. Namun demikian pada masa atau periode yang relatif bersamaan, masa antara tahun 1907 dan masa berakhirnya Perang Dunia II adalah merupakan masa perjuangan hak hidup bagi bangsa-bangsa dari kawasan Asia dan Afrika serta sebagian dari kawasan Amerika Latin. (Selanjutnya lihat buku I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Hlm…. ).

Hakekat Kaidah-Kaidah Hukum Internasional Serta Kekuatan Mengikatnya
. Pokok bahasan ini menampilkan dua macam variabel yang dapat dinyatakan dalam dua pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah apakah hakekat dari hukum internasional, sedang pertanyaan kedua adalah apa dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional atau dengan kata lain mengapa kaidah-kaidah hukum internasional mengikat negara-negara. Pertanyaan pertama muncul karena ada sebagian sarjana yang mengingkari keberadaan hukum internasional dan mereka ini dinamakan sebagai the deniers of international law, seperti misalnya John Austin. Dengan demikian menyangkut hakekat hukum internasional, perlu terlebih dahulu dikemukakan pandangan John Austin (1790 – 1859) mengenai hal ini. Menurutnya hukum internasional bukan merupakan hukum dalam arti sebenarnya, melainkan kaidah-kaidah moral (International Law is not law properly so called, but positive morality). Pendapat John Austin sebagai seorang pengikut aliran positivisme didasarkan atas asumsi bahwa apa yang dinamakan hukum tidak lain daripada perintah dari pihak penguasa kepada pihak yang dikuasai sehingga suatu aturan disebut aturan hukum apabila berasal dari penguasa atau apabila aturan itu dibuat oleh sebuah badan legislatif yang merupakan organ dari negara yang berwenang untuk menciptakan aturan-aturan hukum. Di dalam masyarakat internasional dan hukum internasional tidak dikenal adanya badan legislative atau badan sentral yang bertugas untuk membuat, menerapkan serta memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional. Selain daripada itu pada masa John Austin hidup, maka kaidah-kaidah hukum internasional pada umumnya atau untuk sebagian besar hanya berupa kaidah-kaidah kebiasaan saja sehingga dengan dasar-dasar yang dikemukakan di atas, dia menarik kesimpulan bahwa hukum internasional bukan merupakan kaidah hukum dalam arti sebenarnya, melainkan kaidah-kaidah moral atau moral positif belaka (positive morality atau international positive morality), yaitu kaidah-kaidah ataupun norma-norma yang menyerupai norma-norma yang berlaku dalam suatu perkumpulan. Apabila dikritisi apa yang telah dikemukakan oleh John Austin, maka harus dinyatakan bahwa pandangan John Austin tidak sepenuhnya dapat dibenarkan serta dipertanggungjawabkan berdasarkan alasan-alasan berikut ini. Pertama di dalam berbagai komunitas yang tidak mengenal apa yang dinamakan badan legislative, bagaimanapun selalu ada semacam sistem hukum yang berlaku dan mengikat para anggota dari masing-masing komunitas. Para anggotanya pada umumnya menghormati atau mentaati peraturan-peraturan hukum yang berlaku di dalam komunitasnya sekalipun tidak dikenal adanya sanksi seperti yang berlaku di dalam suatu negara berdaulat sebab para anggotanya mempunyai kesadaran untuk menghormati dan mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di dalam komunitasnya. Alasan kedua, pandangan John Austin bahwa hukum internasional hanya terdiri atas kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional, di mana kaidah-kaidah kebiasaan ini lahir melalui praktek negara-negara karena dalam masyarakat dan hukum internasional tidak terdapat suatu badan legislative ataupun badan supranasional yang mempunyai wewenang untuk menciptakan aturan-aturan hukum internasional, menerapkan serta memaksakan berlakunya hukum internasional. Pandangan Austin tadi mungkin saja benar atau dapat dibenarkan ketika John Austin masih hidup. Namun demikian perkembangan dalam masyarakat dan hukum internasional memperlihatkan adanya kenyataan bahwa berbagai perundang-undangan internasional telah dihasilkan di dalam konferensi-konferensi internasional yang membuat perjanjian-perjanjian internasional yang menciptakan kaidah-kaidah hukum (Law Making Treaties). Sekalipun dalam hukum internasional tidak terdapat badan legislative ataupun badan supranasional, namun proses pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional dapat dilaksanakan melalui konferensi-konferensi internasional yang menghasilkan berbagai perjanjian internasional yang berisi perundang-undangan internasional. Terbentuk apa yang dinamakan Law Making Treaty atau perjanjian yang menciptakan kaidah-kaidah hukum yang berlaku baik bagi anggota-anggota masyarakat internasional yang membuatnya maupun bagi pihak lain atau pihak ketiga. Pada waktu yang bersamaan peranan dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional semakin berkurang sebab masalah-masalah yang dahulu diatur melalui prakrek negara-negara yang kemudian berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional, dewasa ini diatur melalui perjanjian internasional mengingat perjanjian internasional dapat memberikan kepastian hukum yang lebih besar ketimbang hukum kebiasaan internasional. Hukum internasional tidak dapat dilihat hanya sebagai kaidah-kaidah moral saja, tetapi harus dilihat sebagai kaidah-kaidah hukum yang eksistensinya tak bisa diingkari sebab bagaimanapun masyarakat internasional anggota-anggotanya memiliki kesadaran dalam memandang serta menerima hukum internasional sebagai kaidah-kaidah hukum. Dengan demikian eksistensi hukum internasional serta hakekatnya sebagai kaidah hukum tidak hanya ditentukan ataupun bergantung pada ada tidaknya lembaga-lembaga maupun aparat dan sanksi atas pelanggaran atas norma-norma hukum internasional yang terdapat di dalam masyarakat internasional seperti di dalam masyarakat nasional di dalam suatu negara, tetapi bergantung terutama pada ada tidaknya kesadaran dari para anggota masyarakat internasional dalam menerima aturan-aturan hukum internasional yang bukan saja sebagai kaidah-kaidah moral semata-mata, melainkan juga sebagai kaidah-kaidah hukum. Kenyataan membuktikan bahwa hukum internasional hakekatnya telah diterima sebagai kaidah-kaidah hukum dilihat dari segi kesadaran anggota-anggota masyarakat internasional. Terdapat berbagai kenyataan ataupun fenomena yang membuktikan atau setidak-tidaknya menunjukkan bahwa hukum internasional telah diterima sebagai kaidah-kaidah hukum dan eksistensinya adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat diingkari. Fenomena atau fakta pertama adalah alat-alat perlengkapan negara seperti Departemen Luar Negeri yang mempunyai tugas dan tanggungjawab dalam melaksanakan hubungan luar negeri atau hubungan internasional selalu menganggap masalah-masalah yang terjadi dalam hubungan antarnegara sebagai masalah-masalah hukum sehingga kalau terjadi akan diselesaikan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku, yaitu melalui saluran bilateral atau saluran diplomatic. Kedua, perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam hubungan antarnegara apabila tidak dapat dipecahkan melalui saluran diplomatic dapat diserahkan pemecahan atau penyelesaiannya dengan menggunakan lembaga penyelesaian sengketa internasional seperti Mahkamah Internasional (The International Court of Justice) ataupun Mahkamah Arbitrase Internasional (The International Court of Arbitration). Namun sebagaimana diketahui yurisdiksi Mahkamah Internasional dalam menangani dan memutuskan sengketa internasional hanya dapat dijalankan setelah ada persetujuan dari para pihak yang bersengketa dan hanya negara-negara saja yang dapat menjadi pihak berperkara di depan Mahkamah (Only States may be parties before the Court). Seterusnya fenomena ketiga, pelanggaran terhadap norma-norma hukum internasional oleh negara-negara di dalam masyarakat internasional tidak sebesar jika dibandingkan dengan dengan pelanggaran terhadap norma-norma hukum nasional oleh individu-individu di dalam suatu negara. Malahan dapat dikatakan dan sebenarnya harus diakui bahwa pelanggaran atas hukum nasional oleh individu-individu jauh lebih besar baiok dari segi kuantitasnya maupun kualitasnya daripada pelanggaran yang terjadi dalam masyarakat internasional. Namun terjadinya pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum nasional tak dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa hukum nasional itu tidak ada, atau dengan lain perkataan pelanggaran tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk mengingkari eksistensi hukum nasional. Demikian pula sebaliknya terjadinya pelanggaran-pelanggaran internasional oleh satu negara atau lebih tidak dapat dipergunakan sebagai alasan pembenar untuk mengingkari eksistensi hukum internasional dan negara-negara dalam prakteknya menerima dan mematuhi hukum internasional sebagai prasyarat yang diperlukan bagi keberadaan hukum internasional. Fenomena atau fakta keempat adalah bahwa dalam prakteknya negara-negara menerima ketentuan-ketentuan hukum internasional sebagai bagian dari hukum nasionalnya. demikian pula dalam menyusun dan merumuskan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundangan nasional, suatu negara sering harus berpedoman pada perjanjian-perjanjian atau konvensi internasional dalam berbagai bidang, seperti misalnya Undang-Undang No.6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia dirumuskan sesuai dengan ketentuan-ketentuan KHL 1982 terutama yang berkenaan dengan Bab IV Konvensi ini yang mengatur mengenai azas-azas negara kepulauan serta jalur-jalur laut di sekeliling garis pangkal lurus kepulauan. Undang-Undang No.2 Tahun 1976 yang mengatur keselamatan penerbangan sipil disusun dan dirumuskan dengan mengacu kepada Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970 dan Konvensi Montreal 1971 yang berkaitan dengan keselamatan penerbangan sipil karena Undang-Undang No. 2 Tahun 1976 merupakan undang-undang ratifikasi atas ketiga Konvensi tersebut di atas.
Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum internasional teritama perjanjian internasional dipandang atau diterima sebagai kaidah-kaidah hukum dan bukan hanya sebagai kaidah-kaidah moral belaka. Selanjutnya bagaimana dengan dasar-dasar mengikatnya kaidah-kaidah hukum internasional atau mengapa norma-norma hukum internasional mempunyai kekuatan mengikat ? Banyak teori atau aliran yang berusaha untuk memberi jawaban atas permasalahan ini, teori atau aliran yang muncul sejak zaman dahulu kala hingga perkembangannya sampai saat ini. Dapat dikemukakan Teori Hukum Alam (Aliran Naturalisme), Teori Hukum Positif (Aliran Positivisme atau Voluntarisme), Teori Hans Kelsen, Teori Sosiologi dan Teori Kepatuhan.
Teori Hukum Alam mengatakan bahwa hanya ada satu macam hukum, yaitu hukum alam (The Law of Nature). Hukum ini berasal dari alam yang diturunkan kepada manusia melalui akal atau rationya. Hukum ini bersifat abadi dan universal, berlaku kapan saja serta di mana saja sehingga tidak terikat pada waktu dan tempat. Menurut aliran naturalisme, hukum internasional mempunyai kekuatan mengikat terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara karena hukum internasional adalah merupakan bagian daripada hukum alam yang berlaku dalam hubungan antarbangsa. Pada masa Abad Pertengahan ajaran hukum alam ini dipengaruhi oleh ajaran teologi kristiani yan g menyatakan bahwa apa yang disebut hukum alam itu berasal dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia melalui alam sehingga eksistensi hukum alam ditentukan dan bergantung pada eksistensi Tuhan. Namun setelah Abad Pertengahan atau menjelang akhir Abad Pertengahan, ajaran hukum alam disekularisasi dan dimurnikan kembali oleh Hugo de Groot (Grotius) yang menyatakan hukum alam tidak ada hubungannya dengan Tuhan dan eksistensinya tidak tergantung pada eksistensi Tuhan. Ajaran hukum alam ini tentu ada nilai plus dan minusnya. Nilai minus dari ajaran hukum alam ini adalah bahwa beberapa konsep hukum alam seperti konsep mengenai keadilan sangat abstrak sehingga selalu atau sering menimbulkan berbagai macam penafsiran yang sifatnya subyektif. Masing-masing negara dalam mengimplementasikan atau menerapkan konsep keadilan akan sering memberikan penafsiran dikaitkan dengan kepentingannya sendiri sehingga membuka peluang untuk terjadinya perselisihan. Sedangkan nilai plus dan positif yang diberikan oleh ajaran hukum alam adalah ajaran ini berhasil dalam meletakkan prinsip-prinsip dasar bagi masyarakat dunia dalam menghormati serta menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Lahirnya Deklarasi Universal dari Majelis Umum PBB mengenai Hak-Hak Azasi Manusia pada tahun 1948 (Universal Declaration of Human Rights) yang kendati hanya berisi rekomendasi atau himbauan bagi negara-negara di dunia menjadi bukti bahwa masyarakat internasional yang dipresentasikan oleh PBB menghormati dan menjunjung tinggi ajaran hukum alam menyangkut hak-hak azasi yang melekat pada setiap orang. Negara-negara menerima Deklarasi Universal ini karena azas-azas yang terkandung di dalamnya terutama kewajiban setiap negara untuk menghormati dan menjungjung tinggi adanya hak-hak dasar yang melekat pada setiap orang adalah merupakan perwujudan dari ajaran hukum alam. Tidak ada satu negara atau bangsa manapun yang menolak konsep universal ini. Sekalipun ada negara yang tidak menerima konsep universal yang tertuang melalui Deklarasi PBB ini, penolakannya tidak mungkin dapat dilakukan secara terang-terangan sebab negara tersebut mengkhawatirkan kemungkinan timbulnya sanksi internasional. Demikian teori atau ajaran hukum
Selanjutnya mengenai teori voluntarisme atau teori positivisme, dikemukakan bahwa hukum internasional memiliki kekuatan mengikat bagi negara-negara karena adanya kemauan atau kehendak (Voluntas) dari negara-negara untuk mengikatkan dirinya pada hukum internasional. Negara-negara mempunyai kehendak baik untuk terikat pada hukum internasional maupun untuk tidak terikat pada hukum itu sehingga kehendak negara-negara itulah yang menjadi penentu untuk terikat tidaknya pada hukum internasional. Masalahnya adalah apakah yang diartikan dengan kehendak negara-negara. Jawabannya bisa kehendak dari negara-negara secara individual atau dengan kata lain kehendak dari masing-masing negara, tetapi bisa pula yang dimaksud adalah kehendak dari negara-negara secara bersama-sama. Ajaran positivisme yang menekankan kehendak masing-masing negara secara individual tidak dapat dipisahkan dari doktrin kedaulatan negara. Ajaran positivisme ini menyatakan bahwa hukum internasional hanya mengikat suatu negara berdasarkan kehendak dari negara itu sendiri secara individual untuk mengikatkan dirinya pada hukum internasional sehingga ajaran ini membawa implikasi di mana hukum internasional kedudukannya lebih rendah daripada hukum tatanegara atau hukum nasional atau dengan kata lain hukum internasional tunduk pada hukum nasional. Kalau masing-masing negara dengan hukum nasionalnya yang senantiasa dijadikan dasar untuk terikat atau tidak terikat pada hukum internasional, maka hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan anarkisme. Selanjutnya ajaran positivisme yang menekankan kehendak bersama negara-negara (Common Interest) untuk terikatnya suatu negara pada hukum internasional sehingga implikasi yang timbul dari ajaran positivisme seperti ini adalah bahwa hukum internasional kedudukannya lebih tinggi daripada hukum nasional. Kalau hukum nasional kedudukannya berada di bawah hukum internasional, seakan-akan hukum internasional lahirnya lebih dahulu daripada hukum nasional, maka hal seperti ini tentu bertentangan dengan kenyataan sejarah sebab bagaimanapun hukum nasional kelahirannya lebih dahulu daripada hukum internasional atau hukum internasional lahir kemudian yang secara relative bersamaan dengan kelahiran negara-negara modern pada abad ke-16. Ajaran positivisme yang menekankan kehendak bersama negara-negara tentu saja akan mengutamakan berlakunya hukum perjanjian internasional sebagai perwujudan dari kehendak bersama dari negara-negara. Berdasarkan kehendak bersama, negara-negara dapat menyatakan keterikatannya pada suatu perjanjian internasional dan dapat pula menolak keterikatannya pada perjanjian internasional. Di samping itu atas dasar kehendak bersama negara-negara pula yang pada mulanya menyatakan keterikatannya pada perjanjian internasional, kemudian meninggalkan dan tidak terikat lagi pada perjanjian tersebut. Kalau ajaran positivisme menekankan dan mengutamakan hukum perjanjian internasional sebagai hukum yang berlaku dan mengikat negara-negara berdasarkan kehendak mereka secara bersama-sama, lalu hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dalam kaitan dengan hukum kebiasaan internasional (international customary law) di mana hukum yang disebut terakhir dapat memiliki kekuatan mengikat terhadap negara-negara bukan karena adanya kehendak bersama dari negara-negara untuk terikat pada hukum kebiasaan internasional. Mengenai permasalahan ini ajaran positivisme lalu menyatakan bahwa terikatnya negara-negara pada hukum kebiasaan internasional disebabkan bukan karena adanya kehendak bersama negara-negara yang dilakukan secara tegas, melainkan karena adanya persetujuan dari negara-negara yang bersangkutan yang dbuat secara diam-diam (implied consent). Demikianlah ajaran positivisme yang membahas mengenai dasar mengikatnya hukum internasional. Selanjutnya ajaran yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang terkenal dengan teorinya mengenai kaidah dasar yang fundamental atau Grundsnorm Theorie. Menurut Hans Kelsen, suatu peraturan hukum, termasuk peraturan hukum internasional mengikat suatu negara atau negara-negara karena adanya kaidah yang lebih tinggi yang mengharuskan negara-negara untuk tunduk pada hukum internasional. Kaidah yang lebih tinggi ini mempunyai kekuatan mengikat terhadap negara-negara disebabkan karena adanya kaidah yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada akhirnya kita tiba pada apa yang dinamakan kaidah dasar yang bersifat fundamental (fundamental norm) yang eksistensinya harus diterima sebagai sebuah hipotesa awal. Kaidah dasar ini tidak dapat lagi diterangkan atau dijelaskan asal usulnya secara yuridis sebab kaidah dasar ini adalah sesuatu yang bersifat meta yuridis dan harus diterima keberadaannya sebagai suatu hipotesa awal. Ajaran Hans Kelsen mengenai kekuatan mengikatnya hukum internasional yang pada akhirnya terletak pada kaidah dasar yang bersifat fundamental dapat dikatakan sebagai upaya untuk merevitalisasi atau menghidupkan kembali ajaran hukum alam yang sudah lama ditinggalkan karena ajaran ini dianggap telah ketinggalan akibat pengaruh dari ajaran positivisme.
Ajaran atau Doktrin Sosiologi menyatakan bahwa kekuatan mengikatnya suatu peraturan hukum pada umumnya dapat dicari dan ditemukan melalui kebutuhan dari manusia itu sendiri baik sebagai mahluk biologis maupun mahluk sosial. Demikian pula kekuatan mengikatnya hukum internasional terhadap negara-negara dalam masyarakat internasional dapat ditemukan di dalam kebutuhan dari masyarakat internasional dalam berbagai bidang kehidupan. Negara-negara merasa terikat dan tunduk pada hukum internasional karena negara-negara atau masyarakat internasional itu sendiri memang membutuhkan peraturan-peraturan hukum internasional dalam menata kehidupan masyarakat internasional di berbagai bidang dan membawanya menuju ke arah yang lebih baik dan lebih bermanfaat. Negara-negara merasa terikat pada perjanjian hukum laut karena negara-negara membutuhkan perjanjian atau konvensi hukum laut dalam menata berbagai kepentingan dan kegiatan di laut sehingga dapat membawa manfaat yang lebih besar bagi negara-negara yang bersangkutan. Negara RI terikat pada KHL 1982 berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 (Undang-Undang mengenai pengesahan RI terhadap KHL 1982) karena negeri kita memang membutuhkan konvensi ini dalam menata berbagai kepentingan kita sebagai negara kepulauan sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi bangsa dan negara dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan wilayah perairan Indonesia serta sumber daya alam yang dikandungnya. Demikian pandangan aliran sosiologi terkait dengan kekuatan mengikatnya hukum imnternasional terhadap suatu negara atau negara-negara. Akhirnya kita sampai pada sebuiah teori baru mengenai kekuatan mengikatnya hukum internasional, yakni apa yang disebut teori kepatuhan atau teiri yang berlandaskan kepatuhan (A Compliance Based Theory). Teori baru ini dikemukakan pertama kali oleh Andrew T. Guzman dalam bukunya yang berjudul “International Law : A Compliance Based Theory” (University of California at Berkeley School of Law, Public Law and Legal Theory, Working Paper No.47, April 2001). Artikel yang ditulis oleh Andrew T. Guzman berupaya untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, artikelnya menetapkan dan menghasilkan suatu teori hukum internasional serta pentaatan yang mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku negara-negara. Teori hukum internasional dan pentaatan berpengaruh di dalam kerangka model actor rasional (a rational actor model) di mana negara-negara menghargai adanya reputasi atau nama baik (reputation) atas dipatuhinya kewajiban-kewajiban internasional. Sepanjang kemungkinan adanya sanksi-sanksi yang sifatnya langsung (direct sanctions), repitasi itulah yang mendorong negara-negara untuk mentaati kewajiban-kewajiban internasionalnya. Dengan mengembangkan serta memelihara atau melindungi sebuah reputasi yang baik, maka negara-negara semakin mampu untuk melepaskan kebebasannya atas dasar komitmennya untuk mematuhi kewajiban-kewajiban internasional ke depan pada masa mendatang.
Berhubung karena sanksi-sanksi yang bersifat reputasi amat terbatas, maka artikelnya menegaskan bahwa sanksi-sanksi itu tidak akan selalu cukup memberikan insentif kepada negara-negara untuk mentaati hukum internasional. Pandangan ini menjelaskan mengapa satu negara melihat pelanggaran hukum internasioal dalam beberapa contoh. Pandangan ini juga menyarankan agar para ahli hukum internasional seharusnya mengingat adanya batas-batas dari hukum internasional. Khususnya ketika masing-masing negara membuat keputusan menyangkut isu-isu yang bersifat fundamental, maka tidak mungkin hukum internasional dapat mempengaruhi tingkah lakunya secara berulang-ulang. Akan tetapi apabila putusan masing-masing negara hanya membawa dampak yang tidak besar – suatu situasi yang sering terjadi misalnya dalam bidang kerjasama ekonomi internasional dan kerjasama yang bersifat mengatur (regulatory) – maka hukum internasional dapat sering menghasilkan perubahan-perubahan.
Artikel Andrew T. Guzman juga mengemukakan definisi baru mengenai hukum kebiasaan internasional (international customary law atau CIL). Masalah-masalah teoretis dengan CIL berasal dari komitmen para ahli hukum terhadap batasan yang sifatnya tradisional yang memberi tekanan pada jus cogens maupun opinio juris. Batasan yang lebih bermanfaat mengenai CIL memandang sejauh mana negara-negara lain yakin dan percaya bahwa suatu negara mempunyai suatu kewajiban hukum serta sejauh mana reputasi dari negara itu dirugikan akibat kelalaiannya dalam menghormati atau mentaati kewajiban seperti itu.
Karena dianggap serius maka model pentaatan yang didasarkan atas reputasi (a reputational model of compliance) dapat membawa perubahan-perubahan penting terhadap hukum internasional. Model pentaatan seperti itu memaksa kita untuk membuang atau menghilangkan definisi klasik mengenai hukum internasional yang hanya menganggap treaties atau perjanjian serta CIL atau hukum kebiasaan internasional sebagai hukum internasional. Sebagai gantinya maka model pentaatan yang didasarkan atas reputasi dapat membawa kita pada definisi hukum internasional yang lebih bersifat fungsional di mana setiap kewajiban internasional (any international obligation) yang mempunyai pengaruh substansial dalam mendorong negara-negara agar mentaati kewajiban internasional harus dipandang sebagai hukum. Model pentaatan seperti itu juga memaksa kita untuk mengakui secara eksplisit bahwa tidak semua hukum internasional diciptakan sama (is created equal). Beberapa kewajiban hukum internasional lebih mengikat daripada yang lainnya, dan negara-negara bersikap selektif untuk melaksanakan komitmennya menghadapi kenyataan latarbelakang tadi. Kita tidak dapat lagi merasa puas dengan kesimpulan bahwa perjanjian harus dipatuhi (treaties are to be obeyed). Sebagai gantinya, kita harus mempertimbangkan kewajiban internasional dengan cara yang lebih kontekstual dalam rangka mengevaluasi dampak dari kewajiban itu. Bagaimanapun juga teori yang diajukan dalam artikel dari Andrew T.Guzmasn memberikan model hukum internasional yang lebih realistis – suatu model di mana baik contoh-contoh mengenai pentaatan maupun mengenai pelanggaran dapat dimengerti, di mana spectrum penuh tentang perjanjian yang dirundingkan oleh negara-negara dapat dijelaskan dan di mana peranan hukum internasional dapat dimengerti di dalam model of self-interested States.

SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL (THE RESOURCES OF INTERNATIONAL LAW)


Sebelum membahas sumber-sumber hukum internasional (the resources of international law), maka hal pertama yang mengemuka adalah apakah sebenarnya yang dimaksud dengan sumber hukum itu sendiri. Pengertian sumber hukum (the law resources) dapat meliputi baik pengertian sumber hukum dalam arti materiil maupun pengertian sumber hukum dalam arti formal. Pengerian sumber hukum dalam arti materiil mempertanyakan atau mempersoalkan tentang asal usul dari hukum atau peraturan hukum atau dari mana suatu peraturan hukum itu berasal. Misalnya Undang-undang No. 6 Tahun 1996 mengenai wilayah perairan Indonesia, di mana wilayah perairan inio didasarkan atas azas negara nusantara atau wawasan nusantara. Dari mana peraturan perundangan ini berasal, maka tentu jawabannya adalah bahwa Undang-undang ini berasal dari Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 mengenai pengesahan RI terhadap Konvensi Hukum Laut 1982. Konvensi ini yang telah menjadi Hukum Positif Indonesia melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985 memuat azas Negara Nusantara tentu dapat ditelusuri ke belakang dengan mempertanyakan dari mana asal usul dari azas negara nusantara. Dengan melihat ke belakang, maka dapat diketahui bahwa azas negara menjadi Undang-undang 1960 mengenai wilayah perairan Indonesia. Demikian azas-azas atau kaidah-kaidah hukum tentang wawasan nusantara dapat lagi ditarik ke belakang dengan mempertanyakan asal usul dari Undang-undang No.4 Prp.Tahun 1960, di mana ternyata Undang-undang ini asal-usulnya dari Deklaraswi Juanda 13 Desember 1957 yang merupakan tonggak awal dari azas negara nusantara atau wawasan nusaantara. Demikian swuatu contoh sederhana yang dapat dikemukakan untuk mengklarifikasi pengertian sumber hukum dalam arti materiil dalam hubungan dengan assal usul dari suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengatur mengenai suatu masalah tertentu.
Selanjutnya masih ada pengertian sumber hukum dalam arti materiil yang mempermasalahkan atau mempertanyakan bagaimana prosedur terbentuknya suatu kaidah hukum ataupun sebuah Undang-undang. Misalnya saja Undang-undang No.5 Tahun 1983 mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, maka sebelum diberlakukan atau diundangkan tentu Pemerintah membuat rancangannya. Rancangan Undang-undang ini diserahkan kepada DPR untuk dibahas. Apabila pihak parlemen membahas dan kemudian memberikan persetujuannya untuk disahkan oleh Presiden atas rancangan tersebut, maka Presiden kemudian mengesahkan rancangan Undang-undang No.5 Tahun 1983 menjadi Undang-undang dengan menempatkannya di dalam Lembaran Negara.
Demikian pengertian sumber hukum dalam arti materiil yang mempertanyakan proses atau mekanisme terbentuknya suatu kaidah hukum.
Di samping pengertian sumber hukum dalam arti materiil, maka masih ada lagi pengertian sumber hukum lain, yaitu sumber hukum dalam arti formal. Pengertian sumber hukum terakhir ini merupakan pengertian sumber hukum terpenting karena pengertiannya mempertanyakan di manakah kita dapat mencari dan menemukan suatu kaidah hukum dalam hal timbul suatu masalah atau kasus yang memerlukan penyelesaian. Apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam sumber-sumber hukum dalam arti formal. Mata pelajaran Pengantar Ilmu Hukum (PIH) maupun Pengantar Hukum Indonesia (PHI) telah mengemukakan secara terperinci mengenai hal ini. Sumber-sumber hukum dalam arti formal meliputi Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, Doktrin serta Traktat. di mana setiap mahasiswa Fakultas Hukum sudah pasti mengetahuinya.
Selanjutnya bagaimana dengan sumber-sumber hukum internasional dalam arti formal ? Atau di mana kita dapat mencari dan menemukan kaidah-kaidah hukum internasional apabila timbul suatu masalah atau kasus tertentu ? Ini merupakan pertanyaan utama, tetapi sebelum pertanyaan ini dijawab, maka ada pertanyaan lain, yaitu apakah ada kaidah atau ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang sumber-sumber hukum internasional dalam arti formal ? Pertanyaan yang disebut terakhir dapat kiranya dijawab dengan menyatakan bahwa sesungguhnya dalam hukum masalah tersebut. Namun pada umumnya ketentuan pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dijadikan sebagai pedoman atau acuan oleh para sarjana hukum internasional ketika mereka membahas sumber-sumber hukum internasional dalam arti formal. Meskipun pasal 38 Statuta tidak menyebutkan secara tegas mengenai sumber-sumber hukum internasional dalam arti formal, namun pasal ini ternyata digunakan oleh para sarjana hukum internasional pada umumnya sebagai pedoman dalam membahas sumber-sumber hukum tersebut karena di dalamnya terkandung prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara umum.
Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional menyatakan sebagai berikut :
1) Mahkamah yang fungsi-fungsinya adalah memutuskan menurut hukum internasional sengketa-sengketa yang diajukan kepadanya, harus menerapkan :
a) Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang menetapkan aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh negara-negara yang bersengketa.
b) Kebiasaan internasional (International Custom) sebagai bukti dari adanya praktek umum yang diterima sebagai kaidah hukum.
c) Azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (the general principles of law recognized by civilized nations).
d) Dengan tunduk pada ketentuan pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional, Putusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum terkemuka dari berbagai negara sebagai sarana atau sumber subsider (subsidiary means) untuk menetapkan kaidah-kaidah hukum.
2) Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mengurangi kewenangan Mahkamah dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan prinsip kepatutan dan keadilan (ex aequo et bono) jika memang disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Ketentuan pasal 38 ayat 1 dan 2 Statuta Mahkamah Internasional memberi petunjuk kepada Mahkamah bahwa dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara, maka Mahkamah dapat mencari serta menemukan kaidah-kaidah hukum internasional yang terdapat dalam berbagai sumber, seperti dalam perjanjian internasional, kebiasaan internasional, azas-azas hukum umum, keputusan pengadilan serta doktrin. Hal ini disebabkan karena dalam sumber-sumber tersebut terkandung prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara umum. Dengan demikian sumber-sumber tersebut dapat digunakan sebagai pedoman bagi berbagai lembaga peradilan lain di luar Mahkamah internasional sendiri, Mahkamah Arbitrase Internasional, Mahkamah Hukum Laut Internasional serta badan-badan peradilan internasional lainnya.
Karena pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dipakai sebagai pedoman, maka para sarjana hukum internasional ketika membahas sumber hukum internasional dalam arti formal tidak jauh menyimpang dari ketentuan pasal 38 itu. Akan tetapi mereka tidak sepenuhnya dapat menerima formulasi atau rumusan pasal 38 tersebut sebab mereka beranggapan bahwa hukum internasional (termasuk Statuta Mahkamah Internasional) senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan baru, hukum internasional bukan sesuatu yang statis melainkan dinamis dibandingkan dengan keadaan ketika Statuta Mahkamah Internasional mulai dirumuskan. Itulah sebabnya perumusan sumber-sumber hukum internasional dalam arti formal yang dibuat oleh para sarjana agak berbeda dari pada ketentuan pasal 38 Statuta tersebut.
Adapun sumber-sumber hukum internasional menurut versi para sarjana hukum internasional mencakup ;
1) Kebiasaan
2) Perjanjian internasional atau traktat.
3) Keputusan pengadilan.
4) Doktrin atau pendapat para sarjana.
5) Keputusan atau Resolusi dari Organisasi Internasional.
6) Tindakan sepihak dari negara atau negara-negara (Unilateral Acts of States)
7) Kepatutan serta Hukum Alam (Equity and Natural Law).
Dengan demikian terjadi kesimpangsiuran mengenai isi dan ruang lingkupdari masing-masing sumber mengingat adanya perbedaan antara sistem hukum yang satu dengan sistem hukum lainnya yang mewarnai dan mempengaruhi pendapat masing-masing sarjana yang berasal dari berbagai negara dan kawasan sehingga apa yang disebutkan di atas tadi merupakan sesuatu yang bersifat kompromistis.
Dengan memperhatikan kedua perumusan mengenai sumber-sumber hukum internasional dalam arti formal baik berdasarkan pasal 38 Statuta maupun berdasarkan versi para sarjana hukum internasional pada umumnya, maka terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut :
1) Mengapa pasal 38 Statuta tidak menyebutkan keputusan organisasi internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional, sedangkan hal ini dikemukakan dalam pendapat para sarjana ?
2) Mengapa azas-azas hukum umum yang tercantum dalam rumusan pasal 38 Statuta tidak dikemukakan dalam rumusan para sarjana pada umumnya ?
3) Apakah sumber-sumber hukum internasional yang terdapat dalam pasal 38 memiliki hubungan hirarkis sehingga sumber hukum yang disebutkan terdahulu mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada sumber hukum yang disebutkan kemudian ?
4) Apakah suatu kaidah hukum dapat dicari dan ditemukan di luar kaidah-kaidah hukum yang ditentukan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional ?
Mengenai permasalahan pertama, dapat kiranya dijawab dengan menyatakan bahwa sesungguhnya Statuta Mahkamah Internasional (termasuk pasal 38) berasal dari Statuta Mahkamah Internasional Permanen (the Permanent Court of International Justice atau PCIJ) atau dengan lain perkataan Statuta Mahkamah Internasional mengambil alih dan meneruskan seluruh ketentuan dari Statuta PCIJ. Statuta PCIJ dirancang oleh sebuah komisi yang terdiri dari beberapa anggota yang berasal dari berbagai negara dengan latar belakang sistem hukum yang beraneka ragam sehingga bagaimanapun hasil rancangannya merupakan hasil kompromi di antara para anggota komisi tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa ketika Mahkamah Internasional Permanen (PCIJ) dan Statutanya dibentuk pada zaman Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1921, maka dapat dikatakan bahwa jumlah organisasi internasional ataupun lembaga internasional masih sangat sedikit untuk tidak mengatakan samasekali tidak ada sehingga keputusan yang dibuat dan dihasilkan oleh organisasi internasional yang ada pada waktu itu tidak signifikan untuk dapat menimbulkan kaidah-kaidah serta prinsip-prinsip hukum internasional. Karena Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) mengambil alih ketentuan-ketentuan dari Statuta PCIJ (termasuk pasal 38 Statuta PCIJ), maka latar belakang inilah yang menyebabkan pasal 38 Statuta ICJ tidak mencantumkan keputusan organisasi internasional sebagai sumber hukum internasional dalam arti formal.
Mengenai permasalahan kedua, kiranya dapat dikemukakan bahwa azas-azas hukum umum mempunyai isi serta wujud yang sangat abstrak, seperti azas itikad baik (good faith), azas pacta sunt servanda, azas kepatutan dan keadilan. Karena keabstrakannya, maka azas-azas hukum umum lebih tepat dianggap atau lebih mengarah kepada apa yang dinamakan sumber hukum dalam arti materiil. Malahan dapat dikatakan bahwa sebenarnya azas-azas hukum umum adalah merupakan perwujudan atau manifestasi dari ajaran hukum alam yang mengatakan hukum itu bersifat universal dan abadi.dan ajaran hukum alam ini sudah ditinggalkan sejak munculnya aliran positivisme yang berpijak kepada realita yang ada dalam masyarakat. Dengan latar belakang seperti ini, tidak mengherankan apabila versi para sarjana tidak menyebutkan azas-azas hukum umum sebagai sumber hukum internasional dalam arti formal, sementara pasal 38 Statuta ICJ mencantumkannya. Dengan dicantumkannya azas-azas hukum umum di dalam pasal 38, maka dapat dikatakan bahwa pasal 38 Statuta ICJ merupakan perpaduan antara ajaran hukum positif dengan ajaran hukum alam.
Mengenai pertanyaan ketiga, maka perumusan pasal 38 menunjukkan adanya corak hirarkis vertikal. Dengan demikian ada sumber hukum primer serta ada sumber hukum subsider. Berdasarkan pasal 38 ayat 1a dari Statuta ICJ, “…judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law”. Kalau diterjemahkan, bunyinya adalah putusan pengadilan dan doktrin adalah merupakan sumber subsider dalam menetapkan kaidah-kaidah hukum. Dengan mempergunakan penafsiran a contrario terhadap pasal 38 ayat 1a, maka dapat dikatakan bahwa sumber-sumber lain, seperti perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan lain-lain dengan sendirinya dapat ditafsirkan sebagai sumber-sumber hukum utama atau primer dalam menetapkan kaidah-kaidah hukum. Masalahnya adalah sumber hukum mana yang terpenting di antara ketiga sumber hukum primer itu (perjanjian, kebiasaan dan azas-azas hukum umum). Jawaban atas permasalahan ini ditentukan oleh pendekatan atau sudut pandang dari kita sendiri.
Apabila dipergunakan pendekatan sejarah atau historis, maka dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional adalah merupakan sumber hukum terpenting karena kebiasaan internasional adalah sumber hukum yang paling tua di antara semua sumber hukum yang dikenal dewasa ini. Akan tetapi apabila memperhatikan kenyataan yang ada dewasa ini, di mana masalah-masalah dalam hubungan internasional atau hubungan antarnegara pada umumnya sudah diatur melalui perjanjian-perjanjian internasional. Malahan persoalan-persoalan yang pada awalnya hanya diatur berdasarkan kebiasaan internasional, kini telah diatur melalui perjanjian internasional. Dengan latar belakang seperti ini, maka jelas perjanjian internasional adalah merupakan sumber hukum terpenting. Akhirnya kalau mempergunakan pendekatan lain, yakni dengan melihat fungsi dari azas-azas hukum umum dalam membentuk serta mengembangkan kaidah-kaidah hukum baru, maka dapat dikatakan bahwa azas-azas hukum umum (the general principles of law) merupakan sumber hukum terpenting. Hal ini disebabkan karena melalui azas-azas hukum ini, maka Mahkamah Internasional memiliki kelonggaran atau keleluasaan untuk menemukan dan membentuk kaidah-kaidah hukum baru sertya mengembangkan hukum internasional dengan menerapkan azas-azas hukum umum.
Terlepas dari apa yang telah dikemukakan di atas, maka dalam praktek menyangkut sumber hukum mana yang terpenting, sesungguhnya tidak dapat dijawab begitu saja karena keterkaitan di antara ketiga sumber hukum tersebut ternyata sedemikian eratnya dan saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Malahan pembedaan antara sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder atau subsider sebenarnya tidak dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan sepenuhnya karena ternyata dalam praktek Mahkamah dapat saja mengutamakan dan menerapkan apa yang disebut sumber hukum subsider serta mengesampingkan sumber hukum primer. Hal ini terjadi apabila menurut pendapat Mahkamah Internasional sumber hukum subsider ternyata lebih mencerminkan perasaan keadilan dibandiingkan dengan sumber hukum primer atau kaidah-kaidah hukum internasional yang mengatur masalah yang sama seperti yang terdapat dalam perjanjian, kebiasaan dan azas-azas hukum umum. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar