Phinisi Mengarungi tiada akhir

Jumat, 22 Juli 2011

Investasi atau Penanaman Modal

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, investasi diartikan sebagai penanaman (modal). Sedangkan dalam Kamus Hukum, investasi diartikan sebagai penyetoran sejumlah uang kepada suatu badan hukum dengan tujuan ikut memiliki usaha dan memperoleh keuntungan dari usaha tersebut, dengan bukti penyetoran itu, badan hukum menerbitkan surat berharga yang mengandung hak tagih, seperti saham dan obligasi. Kemudian dalam Kamus Ilmiah Populer, investasi diartikan sebagai penanaman modal (uang), perbekalan, permodalan.
Selanjutnya Fitzgeral mengemukakan bahwa “Investasi adalah aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk di masa yang akan datang”. Sedangkan Salim dan Budi Sutrisno mendefinisikan investasi sebagai penanaman modal yang dilakukan oleh investor, baik investor asing maupun domestik dalam berbagai bidang usaha yang terbuka untuk investasi, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga memberikan definisi tentang penanaman modal. Dalam Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, maka batasan operasional dalam penulisan ini mengenai definisi investasi atau penanaman modal adalah aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber dana yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang dan dengan barang modal tersebut akan dihasilkan aliran produk di masa yang akan datang, baik yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.
sumber: Salim HS. dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi Di Indonesia. PT. RajaGrafindo Indonesia: Jakarta. 2008. Hal. 31.

Ruang Publik (Public Space)

Ruang Publik (Public Space)

Secara umum, ruang adalah lingkungan yang direncanakan atau terencana untuk fungsi (terkait dengan aktifitas) dan guna (terkait dengan manfaat) tertentu dan dibatasi oleh elemen-elemen ruang, yaitu bangunan, jalan, ruang terbuka bukan jalan, zona, penanda, dan batas. Keberadaan ruang didukung oleh eksistensi manusia penghuninya. Oleh karena itu, maka kemudian dikenal adanya kepemilikan ruang yang salah satunya adalah ruang milik publik (public space) .
Menurut Retno Hastijanti , definisi ruang publik (public space) secara umum adalah ruang yang berfungsi dan manfaatnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan publik atau masyarakat (bukan untuk seseorang atau keleompok-kelompok tertentu). Perkembangan populasi dan keterbatasan sumber daya ruang menyebabkan adanya persaingan-persaingan dalam kepemilikan ruang. Dari sini, maka mulailah muncul permasalahan yang terkait dengan eksploitasi ruang publik bagi kepentingan perseorangan. Biasanya, kasus yang demikian tersebut terjadi di daerah-daerah perkotaan.

Pada dasarnya permasalahan ruang publik tidak terdeteksi secara langsung sampai timbulnya dampak-dampak negatif yang dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai pengguna utama ruang tersebut. Kerugian yang dimaksud bukan saja berupa kerugian material, tetapi juga sosial dan psikologikal.

Revitalisasi

Revitalisasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revitalisasi adalah proses menvitalkan kembali. Sedangkan secara epistemologi, revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran atau degradasi . Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).
Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud adalah bukan kemudian sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat saja. Selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas .


Dengan demikian, maka batasan operasional dalam penulisan ini tentang definisi revitalisasi adalah proses atau upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital atau hidup atau penting, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran atau degradasi.

sumber: Retno Hastijanti. Ruang Publik, Untuk Siapa?. www.untag-net.co.id. 2006.

Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah

Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah

Dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa:
Angka 1

Angka 2 :
: Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang Milik Daearah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Dari definisi di atas, lingkup barang milik negara/daerah disamping berasal dari pembelian atau perolehan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah, juga berasal dari perolehan lainnya yang sah, yaitu :
• Hibah/sumbangan/sejenisnya,
• Diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak,
• Diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang, dan
• Diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Dengan demikian, batasan operasional dalam penulisan ini tetap mengacu pada definisi barang milik negara dan barang milik daerah sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yakni bahwa Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sedangkan Barang Milik Daearah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer)

Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer)

Hampir semua peraturan perundang-undangan yang membahas tentang bangun guna serah memberikan definisi yang sama tentang Bangun Guna Serah (BOT). Di dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa:
Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

Bangun guna serah atau yang biasa dikenal dengan nama BOT (Build, Operate, and Transfer) merupakan bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT) dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa BOT berakhir. Bangunan yang didirikan investor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko, hotel, atau bangunan lainnya .
sumber:Investasi Dalam Bentuk Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer). www.primarycons.blogspot.com. 2008.
HAK ULAYAT
Hak ulayat diatur diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa,”dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai denga kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenag dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat mengandung 2 unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata, dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas kewenangan yang termasuk kewenangan hukum publik. Unsur tugas kewenangan tersebut, pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Hak ulayat sebagai hubungan hukum konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang. Prosesnya sangat sederhana, tanah ulayat ini ada, karena merupakan peninggalan dan pemberian oleh orang-orang yang dituakan ndalam suatu masyarakat adat kepada suatu kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai suatu lembaga hukum sudah ada sebelumnya, karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang memiliki hak ulayat. Bagi suatu masyarakat hukum tertentu, hak ulayat tercipta karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat hukum adat yang baru dan mandiri, dengan wilayah sebagi tanah ulayatnya.
Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang teritorial, karena warganya bertempat tinggal pada wilayah yang sama, seperti nagari di minangkabau, ada pula yang geneologis, yang para warganya terikat pertalian darah, sperti suku dan kaum. Objek hak ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat adat teritorial yang bersangkutan. Tidak secara mudah dan pasti untuk dapat mengetahui batas-batas tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Dalam masyarakat geneologis, diketahui tanah yang mana termasuk tanah yang dipunyainyabersama. Karena hak ulayat meliputi semua tanah, maka dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada ”res nullius”
Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat adn para tetua adat dalam kenyataannya, Sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Selain diakui, pelaksanaannya juga dibatasi. Dalam artian bahwa harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa srta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hak ulayat pada kenyataannya idak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, dan juga tidak akan diciptakan hak ulaya6t yang baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas dn kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat, telah menjadi tugas dan kewenangan Negara. Dalam kenyataannya, hak ukayat cenderung berkurang, sehingga mengakibatkan semakin kuatnya hak pribadi para warga atau anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah-tanah ulayat yang dikuasainya. Uleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk membuat aturan khusus tentanh hak ulayat ini, karena pengaturan akan hak ulayat, akan tambah memperkuat keberadaan tanah ulayat dalam masyarakat adat.
Kriteria penentu keberadaan hak ulayat (Peraturan Menteri Negara Agraria/ Ka. BPN No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian hak ulayat masyarakat Hukum Adat) yaitu :
1. adanya masyarakat hukum adat tertentu.
2. adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat.
3. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu.

Sumber:
Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Moh. Koesno, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya.

PENGADAANTANAH.

PENGADAANTANAH.
Salah satu berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya pembaebasan hak atas tanah tersebut.pembebasan hak atas tanah selama ini telah mengalami perubahan, yaitu semula diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1974 tentang tata cara pembebasan hak Atas tanah. Kemudian pada tahun 1993 diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
a. pengertian pembebasan hak atas tanah.
Dalam pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, secara tegas diatur dikatakan bahwa ”Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak (penguasa tanah) dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi atas tanah-tanah yang dibebaskan berupa : tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tanah-tanah masyarakat hukum adat Z(pasal 1 ayat 5 Permendagri Nomor 15 tahun 1974).
b. pokok-pokok kebijakan tanah
kebijakan pemerintah terhadap pengadaan tanah merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan tanah demi kepentingan umum. Dalam artian bahwa tanah yang telah diambil dari warga masyarakat peruntukannya benar-benar untuk kepentingan pembangunan. Sebab esensi yang terkandung di dalamnya adalah masyarakat telah melepaskan haknya tersebut, sehingga tidak ada lagi hubungan hukum dengan pemiliknya.
Dalam pasal 5 Keppres Nomor 55 tahun 1993 diatur mengenai kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain :
1. jalanan umum dan saluran pembuangan air.
2. Waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.
3. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat.
4. Pelabuhan udara, bandar udara, atau terminal.
5. Peribadatan.
6. Pendidikan atau sekolah.
7. Pasar umum atau pasar inpres.
8. Fasilitas pemakaman umum.
9. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana.
10. Pos dan telekomunikasi.
11. Sarana olahraga.
12. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya.
13. Kantor pemerintah.
14. Fasilitas Angkatan Bersenjata ( dan Polisi Negara Indonesia, kursif penulis).
Penentuan mengenai jenis bidang pembangunan yang termasuk dalam kepentingan umum tersebut tetap ditentukan dalam keputusam presiden Republik Indonesia. Hal ini menandakan bahwa penentuan pembangunan yang masuk dalam kategori tersebut, bukan sembarang ditentukan tetapi harus melalui suatu proses yang nantinya Presiden sendirilah ayng menentukan kategori tesebut.
c. tata cara pelaksanaan pengadaan tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang bersifat umum, dilakukan oleh sebuah panitia yang ditunjuk oleh gubernur apabila pengadaan tanah tersebut berada di tingkat provinsi atau tanah tersebut terletak diantara 2 daerahkabupaten. Khusus untuk daerah kabupaten, susunan panitia anggotanya terdiri atas instansi yang terkait dengan pengadaan tanah yang terdapat didaerah kabupaten. Adapun tugas panitia tersebut berdasarkan pasal 8 keppres Nomor 55 tahun 1993 adalah sebagai berikut :
1. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
2. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepas atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.
3. menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
4. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.
5. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/ atau besarnya ganti kerugian.
6. menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada diatas tanah.
7. membuat berita acara pelaksanaan atau penyerahan hak atas tanah.
Menelaah dengan seksama ketentuan pasal 8 diatas, tampaknya tugas panitia sangatlah berat, sebab panitia memiliki tugas melakukan penelitian terhadap keberadaan tanah sampai pada penyaksian terhadap pembayaran ganti rugi kepada pemilik tanah, hingga membuat berita acara. Ha;l ini dapat dimaklumi, karena masalah yang timbul dalam pembebasan tanah, antara lain ganti kerugian kadang-kadang tidak sampai pada sasaran, karena panitia tidak terlibatmenyaksikan penyerahan ganti kerugian tersebut.

PROSES PENDAFTARAN TANAH

1. PROSES PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegfiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.
a. pendaftaran tanah secara sistematik.
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri. Karena pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan oleh prakarsa pemerintah, maka kegiatan tersebut didasarkan pada suatu rencana kerja yang ditetapkan oleh menteri.
Pada pendaftaran tanah secara sistematik, pemegang hak atas tanah, kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan memiliki kewajiban dn tanggung jawab untuk :
1. memasang tanda-tanda batas pada bidang tanahnya sesuai ketentuan yang berlaku.
2. berada dilokasi pada saat panitia adjukasi melakukan pengumpulan data fisik dan data yuridis.
3. menunjukkan batas-batas tanahnya kepada panitia adjukasi.
4. menunjukkan bukti pemilikan atau penguasaan tanahnya kepada panitia adjukasi.
5. memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi pemegang hak atau kuasanya atau selaku pihak lain yang berkepentingan.
b. Pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan. Adapun tahapan-tahapan pendaftaran tanah secara sporadik sebagaimana tercantum dalam Permen-Agra/Ka.BPN No. 3/1997 adalah sebagai berikut :
1. penetapan lokasi oleh menteri atas usul kepala kantor wilayah.
2. persiapan kepala kantor pertanahan menyiapkan peta dasar pendaftaran berupa peta dasar yang berbentuk peta garis atau peta foto.
3. pembentukan panitia adjukasi dan satuan tugas.
Panitia adjukasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
4. penyelesaian permohonan yang ada pada saat mulainya pendaftaran tanah secara sistematik
5. penyuluhan wilayah.
6. pengumpulan data fisik.
7. pengumpulan dan penelitian data yuridis.
8. pengumuman data fisik dan data yuridis dan pengesahannya.
9. penegasan konversi, pengakuan hak, dan pemberian hak.
10. pembukuan hak
11. penerbitan sertifikat.
12. penyerahan hasil kegiatan.

TESTAMENT/WASIAT

TESTAMENT/WASIAT

Pada azasnya seorang Pewaris berhak untuk menentukan kehendak terakhirnya mengenai harta bendanya sepanjang hal tersebut tidak mengganggu bagian legitim dari seorang ahli waris legitimaris.

SIFAT-SIFAT DARI WASIAT/TESTAMENT :

1. Dapat ditarik kembali oleh Pewaris apabila ia menghendakinya, sebelum ia meninggal dunia.
2. Berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat (Pewaris).

BENTUK-BENTUK WASIAT :

1. Wasiat Terbuka
Si pemberi wasiat datang kepada Notaris menyampaikan maksudnya tentang kehendak terakhirnya mengenai harta bendanya dan kehendak tsb dicatat oleh Notaris dalam akta authentik dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

2. Wasiat Olographis
Si pemberi wasiat menulis sendiri dgn tulisan tangannya tentang kehendak terakhirnya mengenai harta bendanya kemudian wasiat itu dibawa ke Notaris untuk disimpan oleh Notaris dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

3. Wasiat Rahasia
Si pemberi wasiat membuat sendiri wasiatnya tetapi tidak disyaratkan bahwa harus dengan tulisan tangannya sendiri, tentang kehendak terakhirnya mengenai harta bendanya kemudian wasiat itu ditutup, dibawa ke Notaris dan saat penyerahan wasiat dihadapan Notaris itu harus disaksikan oleh 4 (empat) orang saksi kemudian wasiat itu disegel untuk disimpan oleh Notaris.
Yang paling umum dan banyak digunakan adalah Wasiat Terbuka, karena si Pembuat wasiat disamping menyatakan kehendaknya juga bisa langsung diberi saran oleh Notaris bila kehendak tersebut bertentangan dengan bagian legitim dari ahli warisnya.
Sedangkan yang paling sering menimbulkan masalah/kesulitan adalah Wasiat Rahasia.
Karena si Pembuat membuat waiatnya berdasarkan kemauannya semata-mata dan tidak ada yang memberi saran-saran. Akibatnya biasa hak legitim dari ahli waris legitimaris menjadi berkurang bahkan kadang-kadang tidak ada sama sekali.

Disamping ke tiga bentuk Surat Wasiat ini, ada lagi bentuk Wasiat, berupa akta dibawah tangan, yang disebut CODECIL, yaitu :
Wasiat yang hanya berisi petunjuk-petunjuk mengenai pelaksanaan wasiatnya dan kadang-kadang juga mengenai penguburannya si Pemberi Wasiat jika ia meninggal dunia, dan/atau penghibahan perhiasan badan tertentu atau perkakas rumah tangga yang khusus.

MENOLAK WARISAN DAN AKIBAT PENOLAKAN WARISAN

MENOLAK WARISAN

Dalam suatu pewarisan dikenal 3 macam menolak, yaitu :
1. Menolak Warisan (Ps. 1057 s/d 1065)
 Ahli waris yang menolak warisan, berarti ia melepaskan pertanggung jawabannya sbg ahli waris & menyatakan tdk menerima pembagian Harta Peninggalan.
 Dapat dilakukan oleh semua ahli waris menurut UU, baik ahli waris legitimaris maupun ahli waris non legitimaris.
 Ps. 1047  Penolakan warisan mulai berlaku dianggap terjadi sejak hari meninggalnya pewaris dan berlaku surut.
 Ps. 1050  Jika terdapat beberapa ahli waris, maka yang satu boleh menolak sedangkan yang lainnya menerima warisan.
 Ps.1057 Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yg dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukum nya telah terbuka warisan itu.”
Jadi ahli waris yang menolak warisan harus datang sendiri menghadap Panitera Pengadilan Negeri setempat, lalu menyatakan keinginannya dan panitera membuat akta penolakan, Kalau ahli waris yang menolak warisan tsb tidak datang sendiri, ia boleh menguasakan kepada orang lain, tetapi dengan surat kuasa secara notaril.
 Ps. 1046 Yo Ps. 401 & 393  Wali yg akan menolak warisan yang seharus nya diterima oleh orang yg diwalikannya, hrs ada izin dari Pengadilan Negeri .
 Ps. 1062 Hak untuk menolak warisan baru timbul dan berlaku setelah warisan terbuka dan tidak dapat gugur karena daluwarsa.
 Ps.1063  Sekalipun dalam suatu perjanjian kawin, tak dapatlah seorang melepaskan haknya atas warisan seorang yang masih hidup, begitupun tak dapatlah ia menjual hak-hak yang di kemudian hari akan diperoleh nya atas warisan yang seperti itu.
 Ps. 1064a. AW yg menghilangkan/menyembunyikan benda2 yang termasuk harta peninggalan, kehilangan haknya untuk menolak.
b. Ia tetap sebagai ahli waris murni meskipun ia menolak.
c. Ia tidak dapat menuntut suatu bagian pun dalam harta benda yang telah dihilangkan atau disembunyikan itu.
Ps. 1064 memberi perlindungan pada para AW dari penggelapan yg dilakukan oleh AW lainnya. Demikian pula terhadap para kreditur, mereka juga dilindungi dari penggelapan oleh AW, yaitu berdasarkan pasal 1031 angka 2.
 Ps. 1065  Pernyataan Menolak Warisan tidak bisa dicabut atau dibatal kan lagi kecuali penolakan itu terjadi sbg akibat penipuan atau paksaan.

 AKIBAT PENOLAKAN WARISAN (Ps. 1058, 1059 & 1060)
1. AW tsb tidak berhak atas bgn warisan termasuk bagian Lp untuk AW legitimaris.
2. ahli waris yang menolak warisan tidak bisa digantikan (Ps. 1060) dan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (Ps. 1058)
3. AW tidak bertanggung jawab terhadap utang-utang pewaris.
4. Penggantian tidak bisa terjadi untuk ahli waris yang menolak warisan kecuali dengan mewaris atas kekuatan sendiri.
 Ps. 1058  AW yg menolak warisannya, dianggap tidak pernah telah menjadi AW
 Ps. 1059  Bagian warisan seorang yang menolak, jatuh kepada mereka yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya si yang menolak itu tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan.
 Ps. 1060  Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak dapat lagi diwakili de- ngan cara penggantian, jika ia satu-satunya waris di dalam derajatnya ataupun jika kesemuanya waris menolak, maka sekalian anak-anak tampil ke muka atas dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris untuk bagian yang sama.”
2. Menolak Wasiat
- Dapat dilakukan oleh legaataris atau ahli waris testamenter.
- Tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang
- Penolakan wasiat cukup diberitahukan ke ahli waris pelaksana wasiat, jika tidak ada yang ditunjuk sebagai pelaksana wasiat amak semua ahli waris yang ada dianggap sebagai pelaksana wasiat.
- Akibatnya : 1. ahli waris yang bersangkutan tidak berhak atas bagian warisan yang diberikan kepadanya.
2. dalam hal ini ahli waris yg bersangkutan tidak bisa digantikan

3. Menolak Persatuan Harta Perkawinan
- Dapat dilakukan oleh suami atau istri yang hidup terlama.
- Akibatnya : 1. hanya bertindak sebagai ahli waris non legitimaris dari pewaris
2. tidak bertanggung jawab atas utang perkawinan jika persatuan harta perkawinannya merupakan persatuan penghasilan.

PENCABUTAN / PEMECATAN AHLI WARIS

PENCABUTAN / PEMECATAN AHLI WARIS

 Yang dapat melakukan pencabutan/pemecatan atas diri ahli waris adalah Pewaris sendiri dan hal ini disebut juga pewaris mengenyampingkan ahli waris (onterfd)
 Pernyataan pencabutan/pemecatan ahli waris biasanya dilakukan dengan membuat surat wasiat yang isinya mengangkat satu atau beberapa orang tertentu sebagai ahli waris untuk seluruh harta peninggalnnya. Orang yang diangkat ini mungkin juga merupakan ahli waris tetapi dapat pula merupakan orang luar yang bukan ahli waris.
 Tidak ada penggantian untuk orang dicabut atau dipecat sebagai ahli waris.
 Pencabutan sebagai ahli waris testamenter atau ahli waris menurut UU dpt terjadi karena : 1. Kehendak Pewaris sendiri
2. dinyatakan secara : - tegas dengan akta;
- diam-diam, dengan membuat testamen baru yang bertentangan dengan testamen lama.
3. Testamen batal jika pelaksanaannya tidak mungkin.
4. Terbukti dari perbuatan testatuur.

AKIBAT PENCABUTAN / PEMECATAN AHLI WARIS, adalah :
1. Untuk ahli waris onwaardig (tidak cakap)
bagi ahli waris legitimaris maupun non legitimaris adalah tidak akan menerima warisan apapun dari Pewaris.

2. Untuk ahli waris onterfd (dikesampingkan o/ pewaris)
 bagi Ahli waris legitimaris  hanya berhak atas bagian legitime portienya kalau ia menuntut.
 bagi Ahli waris non legitimaris  tidak berhak atas apapun dari warisan Pewaris.

Bagian AHLI WARIS LEGITIMATIE

Bagian AHLI WARIS LEGITIMATIE, adalah :

1. Garis Lurus Kebawah :
A. Bagian Anak Sah, adalah :
a. Jika satu anak; Lp nya = ½ x bagiannya menurut UU.
b. Jika dua anak; Lpnya = 2/3 x bagiannya menurut UU.
c. Jika tiga anak atau lebih; Lpnya = ¾ x bagiannya menurut UU.

B. Bagian Anak Luar Kawin Yang Diakui Dengan Sah, adalah :
a. Mewaris dgn Golongan I; Lp nya = ½ x bagiannya menurut UU.
b. Mewaris dgn Golongan II & Golongan III; Lpnya = ¼ x warisan.
c. Mewaris dengan Golongan IV; Lpnya = ½ x ¾ x warisan.

2. Garis Lurus Keatas, yaitu orang tua atau nenek/kakeknya.
Bagian LP nya = ½ x bagian masing-masing menurut UU.
Bagaimana jika Ahli Waris Onterfd (ahli waris yang dikesampingkan oleh Pewaris) ingin menggugat hak legitime portie nya sebagai anak sah ? Harus diingat bahwa pemecatan sebagai ahli waris yang dilakukan oleh pewaris terhadap legitimaris akibatnya dibatasi, yaitu bahwa legitimaris dilindungi dengan UU menjamin haknya sebanyak bagian legitimnya saja tidak bisa lebih banyak lagi.

Bagian ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI SAH

B. Bagian ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI SAH, adalah :

• 1/3 dari bagian yang sedianya ia peroleh seandainya ia merupakan anak sah, jika anak luar kawin tersebut mewaris bersama dengan golongan I.
• ½ dari warisan, jika anak luar kawin tersebut mewaris bersama dengan golongan II atau golongan III
• ¾ dari warisan, jika anak luar kawin tsb mewaris bersama dgn golongan IV.

Catatan : Bgn anak luar kawin itu adalah bgn kelompok, artinya kalau anak luar kawin 1 orang maka seluruh bagian anak luar kawin untuk dia sendiri. Kalau 2 orang maka dibagi rata 2, kalau 3 orang maka dibagi rata 3 dst.

PEMBAGIAN HARTA PERSATUAN ATAU HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN II

HAL YANG PERLU DIINGAT & DIPERHATIKAN DALAM PEMBAGIAN HARTA PERSATUAN ATAU HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN II INI ADALAH :

1. Jika dalam perkawinan I tidak ada keturunan maka pembagian harta persatuan atau harta warisan disamakan dengan dalam perkawinan I.
2. Jika dalam perkawinan I ada keturunan maka ada 2 cara untuk membagi harta persatuan; yaitu :
 a. Istri/suami menerima harta persatuan
- Cara ini digunakan jika harta bawaan istri dan harta bawaan suami dalam perkawinan II tersebut seimbang,maksudnya adanya percampuran harta bawaan ini tidak menimbulkan keuntungan suami/istri dari perkawinan kedua tersebut.
- Kalau cara a ini yang dipilih maka tidak bisa menggunakan lagi cara b.
- Dalam cara ini, suami/istri yang hidup terlama hanya berhak atas ½ dari harta persatuan dan tidak berhak sebagai ahli waris.
- Kalau keuntungan yang diperoleh suami/istri dengan cara ini melebihi dari ketentuan pembagian yang diatur dalam Ps. 181 atau Ps. 852a KUHPerd maka cara ini tidak bisa digunakan meskipun suami/istri tersebut meng- hendakinya oleh karena itu hanya bisa menggunakan cara b dibawah ini.
 b. Istri menolak harta persatuan
- Cara ini digunakan jika harta bawaan istri dan harta bawaan suami dalam perkawinan II tersebut tidak seimbang, maksudnya percampuran harta bawaan ini menimbulkan keuntungan suami/istri dari perkawinan kedua.
- Kalau cara b ini digunakan maka kedudukan suami/istri yang hidup terlama disamping berhak atas harta bawaannya juga hanya dianggap sebagai ahli waris dari pewaris dan tidak berhak sebagai istri/suami yang memperoleh ½ dari harta persatuan. Jadi harta warisan yang akan dibagi merupakan harta perkawinan yang tidak perlu dibagi dua dan harus dikeluarkan harta bawaan suami/istri yang hidup terlama
3. Jika dalam perkawinan I ada keturunan dan untuk membagi harta persatuan dapat digunakan 2 cara, yaitu menerima maupun menolak harta persatuan maka hanya dapat menggunakan salah satu cara saja dan cara yang digunakan adalah yang lebih menguntungkan istri meskipun berdasarkan Ps. 181 melindungi bagian anak-anak yang lahir dalam perkawinan I.

Contoh-Contoh :
1. Duda A kawini B tanpa perjanjian kawin. A tidak membawa apa-apa sedangkan kan B membawa Rp. 100 jt,- Pada waktu perkawinan mereka bubar, maka menurut Ps. 181, istri/suami pada perkawinan kedua dan selanjutnya tidak akan memperoleh lebih dari ¼ bagian dari harta suami/istri yang masuk ke dalam perkawinan ke dua dan bagiannya tersebut tidak boleh lebih besar dari penerima terkecil dari anak dalam perkawinan pertama. Jadi bagian A maksimum adalah ¼ x Rp. 100 jt,- = Rp. 25 jt,- saja.

2. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B,C dan D kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa Rp. 9 jt,- A meninggal dunia tanpa membuat surat wasiat, E menolak harta peninggalan A, maka berapa bagian E ?
A membawa Rp. 40 jt,-- dan E membawa Rp. 9 jt,- maka Harta Persatuan adalah Rp. 49 jt,- E menolak Harta peninggalan A.
Maka bagian E adalah ½ x Harta persatuan = ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,-
Keuntungan E adalah Rp. 24,5 jt,- - Rp. 9 jt,- = Rp. 15,5 jt,-
Bagian B, C dan D masing-masing adalah : 1/7 x rp. 24,5 = Rp. 3,5 Jt,-
Berdasarkan Ps. 181 keuntungan E dari perkawinan kedua ini (Rp. 15,5 jt,-) tidak boleh lebih besar dari bagian terkecil anak dari perkawinan I (B, C dan D yaitu Rp. 3,5 jt,-). Oleh karena itu pembagian diatas harus menggunakan cara menolak harta persatuan meskipun E menolak harta peninggalan A.
Karena menolak harta persatuan maka kedudukan E juga sebagai ahli waris A dan bagiannya adalah = 1/8 x Rp. 40 jt,- Rp. 5 jt,-
Bagian E adalah = Harta bawaan + Keuntungan (ahli waris A)= 9 + 5 = Rp. 14 jt,-
Pembagian dengan cara menolak harta persatuan ini maka keuntungan B adalah sama dengan keuntungan anak dari perkawinan I yaitu Rp. 5 jt,- Hal ini sesuai menurut Ps. 181 dan Ps. 852a. Jadi pembagian ini yang digunakan.
Ps. 181 tidak berlaku jika :
1. Tidak ada anak yang lahir dari perkawinan pertama;
2. Karena percampuran harta tidak menimbulkan keuntungan terhadap suami/istri dari perkawinan kedua atau harta bawaan suami/istri dari perkawinan kedua itu sama atau lebih besar dari pada harta yang dibawa oleh orang yang kawin untuk kedua kali tadi.
Dalam contoh diatas, Ps. 181 tidak berlaku bila : (A meninggal dengan 7 anak)
a. A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa Rp. 40 jt,- atau
b. A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa lebih dari Rp. 40 jt,- atau
c. B, C dan D tidak ada.
d. Jika bagian E kurang dari yang diizinkan, yaitu lebih kecil dari harta bawaannya.

Contoh-Contoh :
1. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B, C dan D kawin dengan E tanpa perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini E membawa Rp. 40 jt,- dan A membawa Rp. 9 jt,- E menolak Harta peninggalan A maka berapa bagian E ?
E membawa Rp. 40 jt,-- dan A membawa Rp. 9 jt,- maka Harta Persatuan adalah Rp. 49 jt,- . Kalau perkawinan bubar, maka yang beruntung adalah A bukan E.
E mendapat ½ x Harta Persatuan, yaitu : ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,-
Jadi Harta Peninggalan A = Rp. 49 jt,- - Rp. 24,5 jt,- = Rp. 24,5,- Bagian inilah yang akan dibagi rata ke ahli waris A, yaitu B, C, D, E, F, G, H dan I. E tidak diperhitungkan lagi karena E menolak harta peninggalan A.
Bagian B, C, D, F, G, H dan I masing-masing adalah : 1/7 x Rp. 24,5 = Rp. 3,5 jt,-
Ps. 181 ini juga tidak diterapkan apabila karena pembagian ini maka istri atau suami memperoleh keuntungan kurang dari pada jumlah yang diizinkan.

2. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B,C dan D kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini A membawa Rp. 26 jt,- dan E membawa Rp. 23 jt,- Berapa bagian E ?
Jika E menerima harta persatuan :
A membawa Rp. 26 jt,-- dan E membawa Rp. 23 jt,- maka harta persatuan adalah Rp. 49 jt,- Bila perkawinan bubar karena A meninggal dunia maka harta persatuan dibagi 2, untuk E mendapat ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,- dan sisanya Rp. 24,5 jt,- dibagi rata ke ahli waris A, yaitu B, C, D, F, G, H dan I dengan bagian masing-masing sebesar = 1/7 x Rp. 24,5 jt,- = Rp. 3.067.500,-
E tidak bisa lagi mendapat bagian sebagai ahli waris karena ia telah mendapat haknya sebagai istri A, yaitu ½ dari harta persatuan.
Keuntungan E dari perkawinan tersebut adalah Rp.24,5 jt - Rp.23 jt = Rp. 1,5 jt,-
Hal ini ( keuntungan Rp. 1,5 jt,-) menurut Ps. 852a dan Ps.181 diperbolehkan karena lebih kecil dari bagian anak dalam perkawinan I (Rp. 3.067.500,-)
Bagian E adalah Rp. 24,5 jt ,-

Jika E menolak harta persatuan :
E dianggap sebagai ahli waris dan mewaris bersama ahli waris lainnya (B, C, D,
F, G, H dan I) dan bagiannya adalah = 1/8 x Rp. 26 jt,- = Rp. 3, 25 jt..-
Keuntungan yang E peroleh adalah Rp.. 3,25 jt,-
Hal ini ( keuntungan Rp. 3,25 jt,-) menurut Ps. 852a dan Ps. 181 diperbolehkan karena tidak lebih besar dari bagian anak dalam perkawinan I (Rp. 3,25 jt,-).
Bagian E adalah = harta bawaan + bagian sebagai ahli waris
= Rp. 23 jt,- + Rp. 3,25 jt,- = Rp. 26,25 jt,-
Jadi jika dalam hal ini bisa digunakan 2 cara, maka dipilih cara yang paling menguntungkan E, dalam hal ini adalah cara pembagian dengan menolak harta persatuan.

3. A duda dengan 3 orang anak, yaitu B, C dan D, kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Harta bawaan A Rp. 16 jt,- Sedang E tidak membawa apa-apa. Berapa bagian E jika A meninggal ?
Jika E menerima harta persatuan maka bagiannya adalah ½ x Rp.16jt,- =Rp. 8 jt,-
Sisanya Rp. 8 jt,- dibagi rata untuk ahli waris A, yaitu B, C dan D, masing-masing : 1/3 x Rp. 8 jt,- = Rp. 2 2/3 jt,-
Jadi keuntungan yang diperoleh E (Rp. 8 jt,-) lebih besar dari warisan yang diperoleh anak dari perkawinan pertama (Rp. 2 2/3 jt,-)
Oleh karena itu harus dengan cara menolak harta persatuan, sehingga kedudukan E juga sebagai ahli waris dan bagiannya adalah ¼ x Rp.16jt =Rp. 4 jt,-
Karena E tidak mempunyai harta bawaan maka bagian E adalah Rp. 4 jt,-
Seandainya perkawinan A dengan E merupakan perkawinan I bagi mereka maka Bagian yang diperoleh E adalah : ½ Harta persatuan + harta sebagai ahli waris,
= (½ x Rp. 16 jt,- ) + (½ x ¼ x Rp. 16 jt,-) = Rp. 8 jt,- + Rp. 2 jt,- = Rp. 10 jt,-

4. A duda dengan 1 orang anak, yaitu B , kawin dengan C tanpa perjanjian kawin.
Harta bawaan A Rp. 10 jt,- dan harta bawaan C Rp. 2 jt,- Pada waktu A meninggal, terdapat harta kekayaan sebesar Rp. 20 jt,- Berapa bagian C jika A meninggal ?
Harta Persatuan adalah Rp. 10 jt,- + Rp. 2 ,- = Rp. 12 jt,-
Kekayaan pada saat A meninggal Rp. 20 jt,- Jadi ada keuntungan Rp. 8 jt,-(20-12).
Menurut Ps.185 bahwa pun jika ada anak-anak dari perkawinan yang dahulu, maka untung dan rugi harus dibagi sama antara suami dan istri, kecuali jika peraturan tentang itu dengan perjanjian kawina ditiadakan.
Berdasarkan Ps. 185 maka keuntungan yang Rp. 8 jt,- dibagi 2 antara A dan C.
Harta Peninggalan A menjadi Rp. 10 jt,- + Rp. 4 jt,- = Rp. 14 jt,- dan ini dibagi rata ke ahli warisnya, yaitu B dan C, masing-masing ½ x Rp. 14 jt,- = Rp. 7 jt,-
Menurut Ps. 852a, maksimum bagian C adalah ¼ x warisan (Rp.14 jt) = Rp.3,5 jt,-
Jadi C mendapat Rp. 14jt,- - Rp. 3,5 jt,- = Rp. 10,5 jt,-
Bagian B adalah : Harta Bawaan + Keuntungan + warisan dari A
= Rp. 2 jt,- + Rp. 4 jt,- + Rp. 3,5 jt,- = Rp. 9,5 jt,-
Seandainya C termasuk onterfd atau menolak warisan maka bagian C adalah : Harta Bawaan + Keuntungan = Rp. 2 jt,- + Rp. 4 jt,- = Rp. 6 jt,-
C tidak berhak atas warisan A dan semua warisan A jatuh ke C.
 Kalau ada hibah dari A ke C, bagaimana ? Menurut ketentuan umum, hibah yang diterima oleh suami/istri menjadi harta bawaan suami/istri, tidak perduli siapa yang memberikan.
5. A duda dengan 1 orang anak, yaitu B dan kawin dengan C. Harta bawaan A Rp. 20 jt,- dan harta bawaan C Rp. 5 jt,- Pada waktu A meninggal, terdapat harta persatuan atau harta kekayaan sebesar Rp. 17 jt,- Berapa bagian C jika A meninggal ?
Harta Persatuan adalah Rp. 20 jt,- + Rp. 5 ,- = Rp. 25 jt,-
Kekayaan pada saat A meninggal Rp. 17 jt,- Jadi ada kerugian Rp. 8 jt,-(25-17).
Jika C menolak harta persatuan :
Menurut Ps. 185, Kerugian ( Rp. 8 jt,-) ini ditanggung bersama suami istri sehingga dibagi 2, antara A dan C. Harta A sisa : Rp. 20 jt,- - ½ x Rp. 8 jt,- = Rp. 16 jt,- dan Harta C sisa : Rp. 5 jt,- - ½ x Rp. 8 jt,- = Rp. 1 jt,-
Ahli waris A nya, C dan B masing-masing mendapat ½ x Rp. 16 jt,- = Rp. 8 jt,-
Menurut Ps. 852a, maksimum bagian C adalah ¼ harta warisan = Rp. 4 jt,-
Jadi bagian B adalah = harta bawaan + ahli waris A = Rp.1Jt + Rp.4jt = Rp. 5 jt,-
Sedangkan C mendapat Rp. 16 jt,- - Rp. 4 jt,- = Rp. 12 jt,-
Jika C menerima harta persatuan :
Harta persatuan Rp. 17 jt,-
Menurut Ps. 128, harta ini dibagi 2 antara suami dan istri, jadi bagian C adalah ½ x Rp. 17 jt,- = Rp. 8,5 jt,- Sisanya Rp. 8,5 jt,- untuk B.
Keuntungan yang diperoleh C adalah = Rp. 8,5 jt,- - Rp. 5 jt,- = Rp. 3,5 jt,-
Menurut Ps. 852 a, maksimum bagian C adalah ¼ x Rp. 8,5 jt,- = Rp. 2,125 jt,-
Jadi C hanya bisa memperoleh Rp. 2,125 jt,- + Rp. 5 jt,- = Rp. 7,125 jt,-
B, anak A mendapat ; Rp. 17 jt,- - Rp. 7,125 jt,- = Rp. 9,775 jt,-

Menurut HALMAKER :
Bagian C jika harta persatuan tetap Rp. 25 jt,- adalah : Harta bawaan + bagian maksimum menurut Ps. 852a = Rp. 5 jt,- + (¼ x Rp. 20 jt,-) = Rp. 10 jt,-
Tetapi karena harta persatuan mengalami penurunan menjadi Rp. 17 jt,- maka bagian C adalah : 10/25 x Rp. 17 jt,- = Rp. 6,8 jt,-
Bagian B adalah = Rp. 17 jt,- - Rp. 6,8 jt,- = Rp. 10,2 jt,-

MEWARIS

CARA-CARA MEWARIS

Seorang ahli waris dapat mewaris secara :
1. Langsung (uit eigen hoofde), apabila orang itu mewaris dalam kedudukan sebagai ahli waris langsung untuk atau karena dirinya sendiri
2. Penggantian (bij plaatsvervulling), adalah seseorang menjadi ahli waris karena ahli waris yang sebenarnya sudah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris maka orang tersebut menjadi ahli waris untuk menggantikan kedudukan ahli waris yang sebenarnya yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si yang meninggal (pewaris). Jadi orang itu mewaris, yang sebenarnya warisan itu bukan untuk dia, tetapi untuk orang yg sudah meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si yang meninggal (pewaris).

Contoh : Ahli waris langsung dan ahli waris Pengganti


A : PEWARIS
. B dan C adalah anak dari A
C meninggal dunia lebih dahulu dari A
D dan E anak C dan merupakan ahli waris tidak langsung (pengganti C).
B adalah ahli waris langsung

KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI AHLI WARIS PENGGANTIAN:
1. Ps. 840 anak-anak dr seorang yg telah dinyatakan tidak patut mewaris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah karena kesalahan orang tua tadi, dikecualikan/disingkirkan dari pewarisan.

A : PEWARIS
B adalah anak A dan merupakan ahli waris tidak patut (onwaardig) terhadap A.
C dan D anak B dan merupakan cucu A.
Jika ahli waris yang ada hanya B dan tidak ada ahli
waris yang lainnya maka D dan C dapat mewaris atas kekuatan sendiri terhadap harta peninggalan A.
Tetapi jika masih ada ahli waris lain selain B, maka D dan C tidak dapat mewaris.

2. Ps 841 Penggantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti dlm derajat & dlm segala hak orang yang diganti.

A : PEWARIS
. B dan C adalah anak dari A
C meninggal dunia lebih dahulu dari A
D dan E anak C menggantikan C utk menerima warisan dari A dan semua hak-hak C diambil alih oleh D dan E.

E dan D bersama-sama sederajat dengan B terhadap A.

3. Ps. 842  Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada akhirnya.
Dalam segala hal, penggantian seperti diatas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak pewaris mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak si yang telah meninggal lebih dulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
A: PEWARIS
C, D dan G meninggal lebih dulu dari A.
Dalam Hal ini :
H dan I : menggantikan G
F dan H dan I : menggantikan D
E, F dan H serta I menggantikan C
Seandainya I meninggal terlebih dahulu dr
A dan anak I adalah J dan K maka J & K dapat menggantikan I. Begitulah seterus-nya, pergantian boleh terus berlangsung dalam garis lurus kebawah tanpa batas.


4. Ps. 843  tiada penggantian terhadap keluarga sedarah dlm garis menyimpang ke atas. Keluarga yang terdekat dalam kedua garis, menyampingkan segala keluarga dalam perderajatan yang lebih jauh. (Gol. 3 & 4 tdk mengenal penggantian)


A : PEWARIS
B : Ayah dari A
C : Ibu dari A
D : Kakek A dari pihak Bapak.
E : Saudara B, paman A
D & B meninggal lebih dulu dari A.
E tidak dapat menggantikan B untuk
mewaris harta peninggalan A sebab
tiada pergantian terhadap keluarga se- darah dalam garis menyimpang ke atas
F dan G dikesampingkan oleh C, sebab yang derajatnya terdekat terhadap A ialah C. Jadi dalam hal di atas, harta A sepenuhnya jatuh kepada C.
5. Ps. 844  dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan –sekalian anak dan keturunan saudara laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu, harus dibagi antara sekalian keturunan mereka yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam perderajatan yang tidak sama. ( golongan 2 mengenal penggantian).

A Meninggal dunia, anaknya A yaitu : B, C. D dan E.
B dan E meninggal lebih dahulu dari A.
G cucu A, anak E, keponakan C dan D, yang meninggal lebih dulu dari A.
H dan I, anak G, cicit A.
Dalam hal diatas, J dan K boleh menggantikan B; H dan I boleh pula menggantikan G. Jadi yang mewaris adalah : J dan K, C, D, F serta H dan I.

6. Ps. 845  Pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juga bagi pewarisan para keponakan, ialah dalam hal bilamana disamping keponakan yang bertalian keluarga sedarah terdekat dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki atau perempuan darinya, saudara-saudara mana telah meninggal lebih dahulu.


A yang meninggal dunia.
B, C dan D serta E saudara2 A.
B meninggal lebih dulu dari A.
Dalam hal ini F dan G boleh mengganti
B, tetapi G meninggal lebih dulu dari B dan A maka H dan I yang akan meng- gantikan G. Oleh karena itu F, I dan H boleh mengganti B. Jadi yang mewaris adalah : C, D, E, F, H dan I.


7. Ps. 846  dalam segala hal, bilamana pergantian diperbolehkan, pembagian ber- langsung pancang demi pancang; apabila pancang yg sama mempunyai pula cabang2nya maka pembagian lebih lanjut, datang tiap-tiap cabang, berlangsung pancang demi pancang pula, sedangkan antara orang-orang dalam cabang yang sama pembagian dilakukan kepala demi kepala.

A meninggal dunia.

Pembagian Warisan :
1. Dibagi dulu dalam pancang B, C dan D.
2. Pancang B bercabang L dan M. Bagian B dibagi ke anaknya yaitu L dan M.
Bagian L bercabang lagi ke anak-anaknya, yaitu P, O dan N.
Dalam cabang yang sama (cabang P, O & N), pembagian dilakukan kepala demi kepala. Bagian mereka dibagi rata antara anggota cabang itu. Pembagian yang sama caranya dilakukan pula dalam cabang-cabang pancang D.

8. Ps. 847  tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya.

A yang meninggal
B dan C anak A yang masih hidup.
D dan E anak C, cucu A.
D dan E tidak dapat bertindak menggantikan C kalau C onwaardig (dinyatakan tidak layak men- jadi ahli waris A) maka D dan E tidak dapat warisan dari A.

9. Ps. 848 seorang anak yang mengganti orang tuanya, memperoleh haknya itu tidaklah dari orang tua tadi, bahkan bolehlah terjadi, seorang pengganti orang lain, yang mana ia telah menolak menerima warisan.

A yang meninggal
C meninggal lebih dulu dari A.
D menggantikan C sebagai ahli waris.
D memperoleh haknya bukan dari C, bahkan kalau D onwaardig terhadap C, D masih juga boleh mengganti C menerima warisan A.

10. Penggantian tidak dapat dilakukan oleh ahli waris dari orang yang digantikan yang berstatus :
a. onwaardig (tidak cakap untuk mewaris)
b. onterfd (dikesampingkan sebagai ahli waris oleh pewaris)
c. yang menolak warisan, maksudnya si ahli waris tsb melepas pertanggung- jawabannya sebagai ahli waris dan menyatakan tidak menerima pembagian harta peninggalan. Akibatnya ia kehilangan haknya untuk mewaris dan diang- gap tidak pernah menjadi ahli waris (Ps. 1058) dan bagian legitim portienya pun hilang.

CARA-CARA MEWARIS

JENIS-JENIS AHLI WARIS

Berdasarkan cara mewaris, maka ahli waris dapat dibedakan atas :
1. Ahli waris Ab intestato, yaitu seseorang menjadi ahli waris karena ditunjuk oleh undang-undang atas dasar hubungan darah.
Untuk menjadi Ahli waris Ab intestato harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali istri pewaris.
Mis. anak pewaris, istri, orang tua maupun ssaudara pewaris.
2. Ahli waris Testamenter, yaitu seseorang menjadi ahli waris karena sudah ditentukan atau ditetapkan dalam surat wasiat pewaris.
Untuk menjadi Ahli waris Testamenter tidak harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris tetapi bisa pula orang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
Mis. perawat pewaris atau kenalan baik pewaris.
Ahli waris Legitimaris, yaitu ahli waris ab intestato yang tidak dapat dihilangkan hak warisnya oleh pewaris sepanajng ahli waris tersebut tidak digolongkan sebagai ahli waris yang tidak cakap.

CARA-CARA MEWARIS

Seorang ahli waris dapat mewaris secara :
1. Langsung (uit eigen hoofde), apabila orang itu mewaris dalam kedudukan sebagai ahli waris langsung untuk atau karena dirinya sendiri
2. Penggantian (bij plaatsvervulling), adalah seseorang menjadi ahli waris karena ahli waris yang sebenarnya sudah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris maka orang tersebut menjadi ahli waris untuk menggantikan kedudukan ahli waris yang sebenarnya yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si yang meninggal (pewaris). Jadi orang itu mewaris, yang sebenarnya warisan itu bukan untuk dia, tetapi untuk orang yg sudah meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si yang meninggal (pewaris).

SYARAT-SYARAT MEWARIS

SYARAT-SYARAT MEWARIS

A. HARUS ADA KEMATIAN PEWARIS atau Pewaris sudah meninggal dunia (Ps. 830  pewarisan hanya berlangsung karena kematian)
Harta peninggalan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia. Jadi harus ada orang yang meninggal dunia dan si ahli waris harus masih hidup pada saat harta warisan terbuka.
KAPAN SESEORANG DIKATAKAN SUDAH MENINGGAL ?
- Secara tradisional, pakar hukum mengatakan bahwa “jantung orang tsb sudah berhenti berdenyut” a/ “pada saat jantung seseorang berhenti berdenyut”.
Pengertian ini sudah tidak dpt digunakan lagi sejak terjadinya perkembangan tehnologi dalam ilmu kedokteran, yakni adanya pencangkokan jangtung.
- Sekarang ini menggunakan istilah sehari-hari, yaitu :
“pada saat ia menghembuskan nafas yang terakhir”
- Untuk Kematian yang difiksian, yaitu bila seseroang meninggalkan tempat ke- diamannya tanpa memberi kabar berita dan tidak pula menunjuk kuasa untuk mengurus kepentingannya secara pantas dan bila keadaan tersebut berlangsung terus menerus dalam tenggang waktu & syarat2 yang telah ditentukan sbb :
a. 5 (lima) tahun berturut-turut, bila seseorang meninggalkan tempat kediaman- nya tanpa memberi kabar berita dimana ia berada dan tidak menunjuk seseorang kuasa untuk mengurus kepentingannya.
b. 10 (sepuluh) tahun berturut-turut, bila seseorang meninggalkan tempat ke- diamannya tanpa memberi kabar berita dimana ia berada tetapi dia menunjuk seseorang kuasa untuk mengurus kepentingannya dan surat kuasa tersebut dianggap telah daluarsa.
c. 1 (satu) tahun, jika orang tersebut termasuk anak buah kapal atau penum- pang kapal yang dinyatakan hilang.
Untuk kematian fiksi ini harus dimintakan Surat Pernyataan pada Pengadilan Negeri tempat kediaman yang ditinggalkan orang tersebut.
Pengurusan harta benda yg ditinggalkan oleh orang yg dinyatakan meninggal adalah hanya bisa dikuasai oleh ahli warisnya untuk jangka waktu 30 tahun terhitung sejak adanya Surat Pernyataan Wafat, setlh itu baru dpt digunakan.

Ps 832  Yang berhak menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan yang tertera di bawah ini dan bilamana baik keluarga sedarah maupun suami atau istri yang hidup terlama tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.
Sedangkan kalau suami istri telah bercerai, maka mereka bukan ahli waris satu sama lain, Tetapi suami istri yang pisah meja dan tempat tidur (scheiding van tafol en bed) masih tetap jadi ahli waris kalau salah satu meninggal.
Ps. 833  bahwa apabila seseorang meninggal maka pada saat itu juga segala hak & kewajibannya beralih kpd para ahli warisnya. Ahli waris menempati kedudukan si pewaris dalam hal menyangkut harta kekayaannya dan memperoleh hak mewaris dgn algemene titel (titel umum) jadi tidak perlu dengan “levering”.
Ps. 834  Tiap2 ahli waris berhak menuntut setiap barang/uang yang termasuk harta peninggalan utk diserahkan kepadanya kalau dikuasai orang lain.
Ps. 835  Gugatan ini gugur setelah tenggang waktu 30 tahun.
Ps. 837 apabila suatu warisan terdiri dari barang-barang atau kekayaan yang sebahagian ada di Indonesia dan sebahagian lagi ada di luar negeri, dan warisan itu harus dibagi antara orang Indonesia dan orang asing yang bukan penduduk Indonesia, maka orang Indonesia itu bolehlah mengambil lebih dahulu suatu jumlah tertentu dari bagiannya dari barang di luar negeri itu (diambilkan dari barang yang di Indonesia). Aturan ini ialah untuk menjaga jangan sampai orang Indonesia tidak memperoleh hak miliknya karena suatu peraturan yang mungkin merugikannya yang berlaku di luar negeri.
Sampai saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang warisan orang asing di Indonesia. Jadi kalau ada orang asing yang meninggal di Indonesia, maka kita tidak dapat menentukan soal warisannya.

B. AHLI WARIS HARUS ADA atau MASIH HIDUP SAAT PEWARIS MENINGGAL DUNIA (Ps. 836 );

Ps. 2  anak yg ada dalam kandungan seorang wanita, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada. Jelasnya, seorang anak yang baru lahir, pada hal ayahnya meninggal sebelum ia lahir, maka ia berhak mendapat warisan.
Untuk jelasnya lihat :
a. Ps. 836 : Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai ahli waris, seorang harus telah ada pada saat warisan jatuh meluang dan
b. Pasal 831 menentukan bahwa kalau beberapa orang meninggal pada saat yang sama atau malapetaka yang sama, atau pada satu hari yg sama dengan tidak diketahui siapa yang mati terlebih dahulu, maka mereka dianggap me- ninggal pada detik saat yang sama. Dalam hal ini tidak ada pemindahan harta diantara mereka. Disini harus dibuktikan dan bila tidak dapat dibuktikan, dianggap meninggal pada saat yang sama. Kalau saat meninggal berselisih satu detik saja, maka dianggap tidak meninggal ber sama-sama.

C. AHLI WARIS HARUS CAKAP/MAMPU MEWARIS atau LAYAK BERTINDAK SEBAGAI AHLI WARIS (waardig).

Pengertian cakap dalam hal ini bukanlah cakap dalam batas-batas umur tetapi maksudnya adalah tidak dicabut haknya untuk memperoleh warisan. Sehingga yang dimaksud tidak cakap adalah orang-orang atau ahli waris yang dicabut hak mewarisnya atau dinyatakan sebagai orang yang tidak pantas mewaris karena mereka telah melakukan suatu perbuatan yang dipandang tidak sepantasnya dilakukan oleh manusia beradab.
Menurut Ps. 838, telah ditetapkan 4 golongan ahli waris yang tidak cakap, yaitu :
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si yang meninggal.
Dalam hal ini harus ada Keputusan Hakim. Kalau sudah mendapat keputusan Hakim, lantas mendapat grasi dari presiden mk yg onwaardig itu tetap onwaardig.
2. Mereka yang dengan Keputusan Hakim pernah dipersalahkan menfitnah si pewaris, terhadap fitnah tsb diancam dgn hukuman 5 tahun atau lebih berat.
Jadi dalam hal ini juga harus sudah ada Keputusan Hakim yg menyata kan bahwa yang bersangkutan bersalah karena menfitnah itu.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal dunia untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.

Kejadian Ad.3 & Ad.4 jarang terjadi, sebab surat wasiat umumnya dibuat didepan notaris.
Ps. 839  Setiap ahli waris yg tidak patut menjadi ahli waris wajib mengembali- kan segala hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya semenjak warisan terbuka.
Pernyataan onwaardig (Tidak patut menjadi ahli waris) terjadi pada saat warisan terbuka.
D. HARUS ADA WARISAN atau SESUATU YG AKAN DIWARISKAN.

Pasal 849  Undang2 tidak memandang akan sifat atau asal dari barang-barang dalam suatu pertinggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya.

HUKUM WARIS

HUKUM WARIS

Pengertian istilah-istilah dalam Hukum Waris :

1. Hukum Waris, adalah kumpulan peraturan/ketentuan, yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si yang meninggal dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka mapun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
2. Pewaris adalah org yg meninggal dunia dgn meninggalkan kekayaan/harta benda.
3. Warisan atau budel warisan adalah kekayaan yang berupa aktiva maupun pasiva, yang ditinggalkan oleh pewaris. Warisan ini biasa pula disebut budel.
4. Ahli Waris adalah mereka yang menerima warisan baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya.
5. Wasiat adalah surat yang dibuat oleh pewaris yang berisikan kehendaknya mengenai pengaturan warisan yang ditinggalkan.
Dalam wasiat hanya menyebutkan/menentukan bagian-bagian yang akan diberikan kpd ahli waris tetapi tdk menyebutkan barang apa yang akan diberikan.
6. Ahli waris ab intestato adalah mereka yg dipanggil sebagai ahli waris berdasarkan undang-undang.
7. Ahli waris testamenter (legataris) adalah mereka yang dipanggil sebagai ahli waris berdasarkan surat wasiat.
8. Hibah wasiat (legaat) adalah warisan yang diperuntukkan kepada legataris, jadi warisan atau barang yang akan diwarisnya disebutkan/ditentukan secara tegas telah ditentukan.
9. Pewarisan abintestato adalah peralihan warisan kepada ahli waris yang ditunjuk oleh undang-undang.
10. Legitimaris adalah ahli waris menurut undang-undang yang dijamin suatu bagian minimum dalam harta peninggalan.
11. Legitim portie adalah bagian tertentu dari warisan yg tidak dapat ditiadakan/ dihapus oleh Pewaris dan hanya khusus diperuntukan kepada legitimaris.

Yang dapat diwariskan hanyalah :
Hak atas harta kekayaan, baik yang berupa hak maupun kewajiban sepanjang yang berwujud harta benda dan dapat dinilai dengan uang termasuk hak kekayaan intelektual pewaris.

Yang tidak dapat diwariskan adalah:
- kedudukan atau jabatan.
- Hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum keluarga, kecuali atas hak ayah untuk menyangkali keabsahan anaknya atau hak anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak/ibunya.
- Kedudukan yang lahir dari perkawinan, kekuasaan orang tua.
- Hak menikmati hasil.
- Perjanjian kerja.
- Hak dan kewajiban yang berhubungan dengan pemberian nafkah.
Prinsip-prinsip pewarisan menurut BW, adalah :

Prinsip2 Hukum Waris menurut KUHP tersirat dalam :
1. Pada Prinsipnya berlaku pewarisan tanpa wasiat. (Pasal 874 BW)
Pasal 874 BW, yakni :
“Segala harta peninggalan seseorg yg meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.”

2. Prinsip Harus ada Kematian. Tidak ada pewarisan tanpa didahului dengan kematian (Pasal 830 BW)
Pasal Pasal 830 BW, yakni : “Pewarisan hanya terjadi karena kematian”.
Ini berarti tidak ada pewarisan tanpa didahului dgn kematian. Oleh karena itu warisan tdk dpt dituntut oleh Ahli warisnya selama pewaris masih hidup.

3. Prinsip keberadaan ahli waris (Pasal 831 KUHPerd), artinya org sudah harus ada pada saat warisan terbuka, kecuali anak yang berada dalam kandungan.
“Apabila beberapa orang antara mana yang satu adalah untuk menjadi waris yang lain, karena satu malapetaka yang sama atau pada hari yang sama telah menemui ajalnya, dengan tidak dapat diketahui siapakah kiranya yang mati terlebih dahulu, maka dianggaplah mereka telah meninggal dunia pada detik saat yang sama, dan perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain tidaklah berlangsung karenanya.” (Pasal 831 KUHPerd)

4. Prinsip Genealogis, yaitu yang pertama-tama berhak atas harta warisan adalah keluarga terdekat. (Pasal 832 BW)
“Menurut undang-undang, yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun tidak sah, maupun yang di luar kawin, dan suami atau isteri yang hidup terlama.

5. Azas Saisine adalah bahwa ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu juga bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.
Ini berarti ahli waris melanjutkan kedudukan Hak Pewaris (Pasal 833 : 1 BW)
“Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas
segala barang, segala hak dan segala piutang orang yang meninggal.”
Psl ini memperkuat sistem hukum waris seperti yg terlihat dalam Psl 874 BW.

6. Prinsip individualistis, yaitu ahli waris dapat menuntut pembagian warisan untuk mencegah adanya benda yang tersingkir akibat pengadilan hukum.
Hal ini tergambar dalam hak yang diberikan kepada ahli waris, yaitu :
a. Hak Hereditatis petitio, (yaitu ahli waris berhak mengajukan tuntutan hukum sehubungan dgn kedudukannya sebagai ahli waris kpd pihak ketiga baik yang juga sbg ahli waris maupun bukan yg menguasai sebagian warisan tanpa hak.) yang diatur dalam Pasal 834 BW, yaitu :

“Ahli waris berhak mengajukan gugatan utk memperoleh warisannya terhdp semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya. Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dgn alas hak apa pun ada dlm warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturanperaturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik.”

b. yang diatur dalam Pasal 1066 BW, yang berbunyi sebagai berikut :
Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan di wajibkan menerima berlangsungnya harta eninggalan itu dalam keadaan tdk terbagi. Pemisahan harta peninggalan itu setiap waktu dapat dituntut, meskipun ada ketentuan yg bertentangan dgn itu. Akan tetapi dpt diada-kan persetujuan utk tdk melaksanakan pemisahan harta peninggalan itu selama wkt tertentu. Perjanjian demikian hanya mengikat utk lima tahun, tetapi tiap kali lewat jangka waktu itu perjanjian itu dapat diperbarui.
Jadi berdsrkan psl ini tiap ahli waris berhak menuntut diadakannya pembagi- an harta warisan. Tujuan penetapan prinsip ini adalah utk mencegah adanya benda-benda yang tersingkit dari pergaulan hukum.

7. Prinsip Penggantian atau Azas Substitusi, bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris, hak mewarisnya dapat diganti oleh keturunannya.
Prinsip ini dapat dijabaran dalam Pasal-Pasal tentang Penggatnian, yaitu Pasal 841 - 845 BW.
Pada Pasal 841 BW, bahwa :
“Penggantian memberikan hak kpd orang yg mengganti untuk bertindak sbg pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya.”

Pasal 842 BW  Penggantian boleh pada ahli waris golongan 1.
Pasal 843 BW  Penggantian tidak boleh pada ahli waris golongan 3 dan 4
Pasal 844 & 845 BW  Penggantian boleh pada ahli waris golongan 2.

8. Prinsip Kesamaan Hak dalam pewarisan antara jenis kelamin, maksudnya tidak ada pembedaan jenis kelamin pada pembagian warisan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 852 BW, yaitu :

9. Prinsip Ahli waris dalam garis lurus tidak dapat dicabut hak mewarisnya oleh pewaris. Prinsip ini dijabarkan dalam ketentuan Pasal 913 s/d 929 BW, yg mengatur ttg bgn mutlak atau bgn legitim anak serta keturunan mereka.
 Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat. (Pasal 913 BW)
 Bagian Legitim ahli waris dalam golongan 1, yaitu : (Pasal 914 BW)
- apabila 1 orang anak, adalah 1/2 dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian.
- apabila 2 orang anak, maka bgn masing2 anak adalah 2/3 bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.
- apabila 3 orang anak atau lebih, adalah 3/4 bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.
 Dlm garis ke atas, legitieme portie itu selalu sebesar 1/2 dari apa yg menurut UU menjadi bgn tiap2 keluarga sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian (Pasal 915 BW).
 Bagian Legitieme portie anak Luar kawin yang diakui sah, adalah :
½ dari bagian yang oleh UU sedianya diberikan kepada anak di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian. (Pasal 916 BW).

10. Hal-Hal yang dapat diwariskan ialah :
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban di lapangan hukum kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang.
Pengecualian terhadap prinsip ini adalah :
a. Hak memungut hasil (juga harta kekayaan)
b. Perjanjian perburuhan (Pasal 1240 BW), dimana pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi, perjanjian itu hanya mengenai para pihak saja.
c. Perjanjian perkongsian dagang, berbentuk Fa dan CV menurut BW. Karena perkongsian akan berakhir dengan kematian salah satu anggota/peseronya.
Jadi meskipun ketiga hak di atas terletak di lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan, namun hak itu tidak beralih kepada ahli waris pemilik hak tsb.


Hak Pilih Ahli Waris terhadap budel warisan yang terbuka, adalah :

1. Menerima warisan sepenuhnya.
Akibatnya jika ahli waris menyatakan keinginannya untuk menerima warisan maka ini berarti ia kehilangan haknya untuk menolak warisan. Ahli waris ini bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kewajiban-kewajiban yang melekat pada warisan artinya ahli waris harus menanggung segala utang-utang pewaris.

2. Menerima dengan bersyarat (penerimaan secara beneficiar), yaitu dengan mengadakan pencatatan/inventarisasi harta peninggalan dan utang-utang dan pelunasan utang-utang hanya ditanggung sebesar harta warisan yang diterima.
Akibat dari penerimaan sevara beneficiar adalah :
- Budel warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris.
- Meskipun ahli waris menjadi debitur terhadap utang-utang pewaris tetapi ia tidak dapat dituntut atau ditagih mengenai pembayaran utang-utang tersebut yang melebihi dari budel warisan.
- Ahli waris wajib mengurus serta mengatur segala hal yang berhubungan dengan warisan dan memberikan pertanggungan jawaban. Jika jumlah utang melebihi harta warisan maka dalam praktek ditempuh upaya meminta pernyataan pailit terhadap harta peninggalan.

3. Menolak warisan.
Ps. 1057 BW  Menolak warisan harus terjadi dengan tegas dan dilakukan dgn suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu.
Ps. 1047 BW  Penolakan warisan mulai berlaku sejak hari meninggalnya Pewa-ris, jadi berlaku surut.
Ahli waris yang telah menolak warisan tidak mengenal penggantian.