Phinisi Mengarungi tiada akhir

Jumat, 22 Juli 2011

PEMBAGIAN HARTA PERSATUAN ATAU HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN II

HAL YANG PERLU DIINGAT & DIPERHATIKAN DALAM PEMBAGIAN HARTA PERSATUAN ATAU HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN II INI ADALAH :

1. Jika dalam perkawinan I tidak ada keturunan maka pembagian harta persatuan atau harta warisan disamakan dengan dalam perkawinan I.
2. Jika dalam perkawinan I ada keturunan maka ada 2 cara untuk membagi harta persatuan; yaitu :
 a. Istri/suami menerima harta persatuan
- Cara ini digunakan jika harta bawaan istri dan harta bawaan suami dalam perkawinan II tersebut seimbang,maksudnya adanya percampuran harta bawaan ini tidak menimbulkan keuntungan suami/istri dari perkawinan kedua tersebut.
- Kalau cara a ini yang dipilih maka tidak bisa menggunakan lagi cara b.
- Dalam cara ini, suami/istri yang hidup terlama hanya berhak atas ½ dari harta persatuan dan tidak berhak sebagai ahli waris.
- Kalau keuntungan yang diperoleh suami/istri dengan cara ini melebihi dari ketentuan pembagian yang diatur dalam Ps. 181 atau Ps. 852a KUHPerd maka cara ini tidak bisa digunakan meskipun suami/istri tersebut meng- hendakinya oleh karena itu hanya bisa menggunakan cara b dibawah ini.
 b. Istri menolak harta persatuan
- Cara ini digunakan jika harta bawaan istri dan harta bawaan suami dalam perkawinan II tersebut tidak seimbang, maksudnya percampuran harta bawaan ini menimbulkan keuntungan suami/istri dari perkawinan kedua.
- Kalau cara b ini digunakan maka kedudukan suami/istri yang hidup terlama disamping berhak atas harta bawaannya juga hanya dianggap sebagai ahli waris dari pewaris dan tidak berhak sebagai istri/suami yang memperoleh ½ dari harta persatuan. Jadi harta warisan yang akan dibagi merupakan harta perkawinan yang tidak perlu dibagi dua dan harus dikeluarkan harta bawaan suami/istri yang hidup terlama
3. Jika dalam perkawinan I ada keturunan dan untuk membagi harta persatuan dapat digunakan 2 cara, yaitu menerima maupun menolak harta persatuan maka hanya dapat menggunakan salah satu cara saja dan cara yang digunakan adalah yang lebih menguntungkan istri meskipun berdasarkan Ps. 181 melindungi bagian anak-anak yang lahir dalam perkawinan I.

Contoh-Contoh :
1. Duda A kawini B tanpa perjanjian kawin. A tidak membawa apa-apa sedangkan kan B membawa Rp. 100 jt,- Pada waktu perkawinan mereka bubar, maka menurut Ps. 181, istri/suami pada perkawinan kedua dan selanjutnya tidak akan memperoleh lebih dari ¼ bagian dari harta suami/istri yang masuk ke dalam perkawinan ke dua dan bagiannya tersebut tidak boleh lebih besar dari penerima terkecil dari anak dalam perkawinan pertama. Jadi bagian A maksimum adalah ¼ x Rp. 100 jt,- = Rp. 25 jt,- saja.

2. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B,C dan D kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa Rp. 9 jt,- A meninggal dunia tanpa membuat surat wasiat, E menolak harta peninggalan A, maka berapa bagian E ?
A membawa Rp. 40 jt,-- dan E membawa Rp. 9 jt,- maka Harta Persatuan adalah Rp. 49 jt,- E menolak Harta peninggalan A.
Maka bagian E adalah ½ x Harta persatuan = ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,-
Keuntungan E adalah Rp. 24,5 jt,- - Rp. 9 jt,- = Rp. 15,5 jt,-
Bagian B, C dan D masing-masing adalah : 1/7 x rp. 24,5 = Rp. 3,5 Jt,-
Berdasarkan Ps. 181 keuntungan E dari perkawinan kedua ini (Rp. 15,5 jt,-) tidak boleh lebih besar dari bagian terkecil anak dari perkawinan I (B, C dan D yaitu Rp. 3,5 jt,-). Oleh karena itu pembagian diatas harus menggunakan cara menolak harta persatuan meskipun E menolak harta peninggalan A.
Karena menolak harta persatuan maka kedudukan E juga sebagai ahli waris A dan bagiannya adalah = 1/8 x Rp. 40 jt,- Rp. 5 jt,-
Bagian E adalah = Harta bawaan + Keuntungan (ahli waris A)= 9 + 5 = Rp. 14 jt,-
Pembagian dengan cara menolak harta persatuan ini maka keuntungan B adalah sama dengan keuntungan anak dari perkawinan I yaitu Rp. 5 jt,- Hal ini sesuai menurut Ps. 181 dan Ps. 852a. Jadi pembagian ini yang digunakan.
Ps. 181 tidak berlaku jika :
1. Tidak ada anak yang lahir dari perkawinan pertama;
2. Karena percampuran harta tidak menimbulkan keuntungan terhadap suami/istri dari perkawinan kedua atau harta bawaan suami/istri dari perkawinan kedua itu sama atau lebih besar dari pada harta yang dibawa oleh orang yang kawin untuk kedua kali tadi.
Dalam contoh diatas, Ps. 181 tidak berlaku bila : (A meninggal dengan 7 anak)
a. A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa Rp. 40 jt,- atau
b. A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa lebih dari Rp. 40 jt,- atau
c. B, C dan D tidak ada.
d. Jika bagian E kurang dari yang diizinkan, yaitu lebih kecil dari harta bawaannya.

Contoh-Contoh :
1. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B, C dan D kawin dengan E tanpa perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini E membawa Rp. 40 jt,- dan A membawa Rp. 9 jt,- E menolak Harta peninggalan A maka berapa bagian E ?
E membawa Rp. 40 jt,-- dan A membawa Rp. 9 jt,- maka Harta Persatuan adalah Rp. 49 jt,- . Kalau perkawinan bubar, maka yang beruntung adalah A bukan E.
E mendapat ½ x Harta Persatuan, yaitu : ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,-
Jadi Harta Peninggalan A = Rp. 49 jt,- - Rp. 24,5 jt,- = Rp. 24,5,- Bagian inilah yang akan dibagi rata ke ahli waris A, yaitu B, C, D, E, F, G, H dan I. E tidak diperhitungkan lagi karena E menolak harta peninggalan A.
Bagian B, C, D, F, G, H dan I masing-masing adalah : 1/7 x Rp. 24,5 = Rp. 3,5 jt,-
Ps. 181 ini juga tidak diterapkan apabila karena pembagian ini maka istri atau suami memperoleh keuntungan kurang dari pada jumlah yang diizinkan.

2. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B,C dan D kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini A membawa Rp. 26 jt,- dan E membawa Rp. 23 jt,- Berapa bagian E ?
Jika E menerima harta persatuan :
A membawa Rp. 26 jt,-- dan E membawa Rp. 23 jt,- maka harta persatuan adalah Rp. 49 jt,- Bila perkawinan bubar karena A meninggal dunia maka harta persatuan dibagi 2, untuk E mendapat ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,- dan sisanya Rp. 24,5 jt,- dibagi rata ke ahli waris A, yaitu B, C, D, F, G, H dan I dengan bagian masing-masing sebesar = 1/7 x Rp. 24,5 jt,- = Rp. 3.067.500,-
E tidak bisa lagi mendapat bagian sebagai ahli waris karena ia telah mendapat haknya sebagai istri A, yaitu ½ dari harta persatuan.
Keuntungan E dari perkawinan tersebut adalah Rp.24,5 jt - Rp.23 jt = Rp. 1,5 jt,-
Hal ini ( keuntungan Rp. 1,5 jt,-) menurut Ps. 852a dan Ps.181 diperbolehkan karena lebih kecil dari bagian anak dalam perkawinan I (Rp. 3.067.500,-)
Bagian E adalah Rp. 24,5 jt ,-

Jika E menolak harta persatuan :
E dianggap sebagai ahli waris dan mewaris bersama ahli waris lainnya (B, C, D,
F, G, H dan I) dan bagiannya adalah = 1/8 x Rp. 26 jt,- = Rp. 3, 25 jt..-
Keuntungan yang E peroleh adalah Rp.. 3,25 jt,-
Hal ini ( keuntungan Rp. 3,25 jt,-) menurut Ps. 852a dan Ps. 181 diperbolehkan karena tidak lebih besar dari bagian anak dalam perkawinan I (Rp. 3,25 jt,-).
Bagian E adalah = harta bawaan + bagian sebagai ahli waris
= Rp. 23 jt,- + Rp. 3,25 jt,- = Rp. 26,25 jt,-
Jadi jika dalam hal ini bisa digunakan 2 cara, maka dipilih cara yang paling menguntungkan E, dalam hal ini adalah cara pembagian dengan menolak harta persatuan.

3. A duda dengan 3 orang anak, yaitu B, C dan D, kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Harta bawaan A Rp. 16 jt,- Sedang E tidak membawa apa-apa. Berapa bagian E jika A meninggal ?
Jika E menerima harta persatuan maka bagiannya adalah ½ x Rp.16jt,- =Rp. 8 jt,-
Sisanya Rp. 8 jt,- dibagi rata untuk ahli waris A, yaitu B, C dan D, masing-masing : 1/3 x Rp. 8 jt,- = Rp. 2 2/3 jt,-
Jadi keuntungan yang diperoleh E (Rp. 8 jt,-) lebih besar dari warisan yang diperoleh anak dari perkawinan pertama (Rp. 2 2/3 jt,-)
Oleh karena itu harus dengan cara menolak harta persatuan, sehingga kedudukan E juga sebagai ahli waris dan bagiannya adalah ¼ x Rp.16jt =Rp. 4 jt,-
Karena E tidak mempunyai harta bawaan maka bagian E adalah Rp. 4 jt,-
Seandainya perkawinan A dengan E merupakan perkawinan I bagi mereka maka Bagian yang diperoleh E adalah : ½ Harta persatuan + harta sebagai ahli waris,
= (½ x Rp. 16 jt,- ) + (½ x ¼ x Rp. 16 jt,-) = Rp. 8 jt,- + Rp. 2 jt,- = Rp. 10 jt,-

4. A duda dengan 1 orang anak, yaitu B , kawin dengan C tanpa perjanjian kawin.
Harta bawaan A Rp. 10 jt,- dan harta bawaan C Rp. 2 jt,- Pada waktu A meninggal, terdapat harta kekayaan sebesar Rp. 20 jt,- Berapa bagian C jika A meninggal ?
Harta Persatuan adalah Rp. 10 jt,- + Rp. 2 ,- = Rp. 12 jt,-
Kekayaan pada saat A meninggal Rp. 20 jt,- Jadi ada keuntungan Rp. 8 jt,-(20-12).
Menurut Ps.185 bahwa pun jika ada anak-anak dari perkawinan yang dahulu, maka untung dan rugi harus dibagi sama antara suami dan istri, kecuali jika peraturan tentang itu dengan perjanjian kawina ditiadakan.
Berdasarkan Ps. 185 maka keuntungan yang Rp. 8 jt,- dibagi 2 antara A dan C.
Harta Peninggalan A menjadi Rp. 10 jt,- + Rp. 4 jt,- = Rp. 14 jt,- dan ini dibagi rata ke ahli warisnya, yaitu B dan C, masing-masing ½ x Rp. 14 jt,- = Rp. 7 jt,-
Menurut Ps. 852a, maksimum bagian C adalah ¼ x warisan (Rp.14 jt) = Rp.3,5 jt,-
Jadi C mendapat Rp. 14jt,- - Rp. 3,5 jt,- = Rp. 10,5 jt,-
Bagian B adalah : Harta Bawaan + Keuntungan + warisan dari A
= Rp. 2 jt,- + Rp. 4 jt,- + Rp. 3,5 jt,- = Rp. 9,5 jt,-
Seandainya C termasuk onterfd atau menolak warisan maka bagian C adalah : Harta Bawaan + Keuntungan = Rp. 2 jt,- + Rp. 4 jt,- = Rp. 6 jt,-
C tidak berhak atas warisan A dan semua warisan A jatuh ke C.
 Kalau ada hibah dari A ke C, bagaimana ? Menurut ketentuan umum, hibah yang diterima oleh suami/istri menjadi harta bawaan suami/istri, tidak perduli siapa yang memberikan.
5. A duda dengan 1 orang anak, yaitu B dan kawin dengan C. Harta bawaan A Rp. 20 jt,- dan harta bawaan C Rp. 5 jt,- Pada waktu A meninggal, terdapat harta persatuan atau harta kekayaan sebesar Rp. 17 jt,- Berapa bagian C jika A meninggal ?
Harta Persatuan adalah Rp. 20 jt,- + Rp. 5 ,- = Rp. 25 jt,-
Kekayaan pada saat A meninggal Rp. 17 jt,- Jadi ada kerugian Rp. 8 jt,-(25-17).
Jika C menolak harta persatuan :
Menurut Ps. 185, Kerugian ( Rp. 8 jt,-) ini ditanggung bersama suami istri sehingga dibagi 2, antara A dan C. Harta A sisa : Rp. 20 jt,- - ½ x Rp. 8 jt,- = Rp. 16 jt,- dan Harta C sisa : Rp. 5 jt,- - ½ x Rp. 8 jt,- = Rp. 1 jt,-
Ahli waris A nya, C dan B masing-masing mendapat ½ x Rp. 16 jt,- = Rp. 8 jt,-
Menurut Ps. 852a, maksimum bagian C adalah ¼ harta warisan = Rp. 4 jt,-
Jadi bagian B adalah = harta bawaan + ahli waris A = Rp.1Jt + Rp.4jt = Rp. 5 jt,-
Sedangkan C mendapat Rp. 16 jt,- - Rp. 4 jt,- = Rp. 12 jt,-
Jika C menerima harta persatuan :
Harta persatuan Rp. 17 jt,-
Menurut Ps. 128, harta ini dibagi 2 antara suami dan istri, jadi bagian C adalah ½ x Rp. 17 jt,- = Rp. 8,5 jt,- Sisanya Rp. 8,5 jt,- untuk B.
Keuntungan yang diperoleh C adalah = Rp. 8,5 jt,- - Rp. 5 jt,- = Rp. 3,5 jt,-
Menurut Ps. 852 a, maksimum bagian C adalah ¼ x Rp. 8,5 jt,- = Rp. 2,125 jt,-
Jadi C hanya bisa memperoleh Rp. 2,125 jt,- + Rp. 5 jt,- = Rp. 7,125 jt,-
B, anak A mendapat ; Rp. 17 jt,- - Rp. 7,125 jt,- = Rp. 9,775 jt,-

Menurut HALMAKER :
Bagian C jika harta persatuan tetap Rp. 25 jt,- adalah : Harta bawaan + bagian maksimum menurut Ps. 852a = Rp. 5 jt,- + (¼ x Rp. 20 jt,-) = Rp. 10 jt,-
Tetapi karena harta persatuan mengalami penurunan menjadi Rp. 17 jt,- maka bagian C adalah : 10/25 x Rp. 17 jt,- = Rp. 6,8 jt,-
Bagian B adalah = Rp. 17 jt,- - Rp. 6,8 jt,- = Rp. 10,2 jt,-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar