Phinisi Mengarungi tiada akhir

Sabtu, 23 Juli 2011

Judul Skripsi Perdata

Memilih judul..

Menentukan judul skripsi adalah sesuatu yang cukup penting , ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain judul yang diajuakan merupakan sesuatu perenungan mendalam dari sebuah masalah, masalah dalam ilmu hukum dapat diidentifikasi sebagai ketidaksesuaian antara das sein dan das sollen, yaitu antara cita-cita(aturan)deengan kenyataan yang terjadi.
Dalam hal penentuan judul skripsi selain lahir dari masalah juga harus bersifat khusus dan terfokus pada satu pokok tema. sehingga jelas maksud dan tujuan yang hendak dicapai dari suatu judul penelitian.
beberapa contoh skripsi Bagian keperdataan:

1.UPAYA HUKUM BAGI PEMEGANG SURAT CEK YANG DITOLAK PEMBAYARANNYA
(Studi Kasus Bank X)
2.PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DI PERTOKOAN KOTA X
3.PERJANJIAN CARTER KAPAL TANKER BERDASARKAN WAKTU (TIME CHARTER)
(Studi Di PT. X)
4.URABAHAH SEBAGAI BENTUK PEMBIAYAAN PERSONAL PADA BANK SYARIAH
(Studi Kasus pada Bank XSyariah)
5.SISTEM PENETAPAN NILAI JUAL OBYEK PAJAK (NJOP) DALAM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) MENURUT UU NO. 12 TAHUN 1994 (Penelitian di Wilayah Kantor PBB di X)
6.KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH DILEGALISASI OLEH NOTARIS (Studi Tentang Alat-Alat Bukti)
7.PERANAN DIREKTORAT JENDERAL PIUTANG DAN LELANG NEGARA (DJPLN) UNTUK MENYELAMATKAN KEKAYAAN NEGARA (Studi Di DJPLN Cabang X)
8.PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA ATAS IKLAN DI TELEVISI
(Study Tentang Hak Cipta Iklan di Televisi)
9.PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM PERJANJIAN BAKU
10.PERANAN POLRI DALAM MENINDAKLANJUTI TERHADAP MASSA YANG MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM (Studi Pada Polresta X)
11.TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENCURIAN UANG MELALUI REKENING BANK DENGAN SARANA INTERNET
12.TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA JASA LAUNDRY MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Pada Usaha Jasa Laundry Di Sekitar Wilayah Kampus X)
13.PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PEMBERITAAN YANG MERUGIKAN NAMA BAIK ELIT POLITIK (Studi Kasus Di X)
14.KEDUDUKAN AHLI WARIS BERALIH AGAMA TERHADAP HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ADAT BALI (Suatu Study di Desa Adat Gerokgak Kabupaten Daerah Tingkat II Buleleng).
15.IZIN POLIGAMI BAGI PNS DAN AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI UU NO. 1 TAHUN 1974, PP. No. 10 TAHUN 1983 jo PP. No. 45 TAHUN 1990 (Studi di Pengadilan Agama X)
16.PERJANJIAN PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UU. NO.1 TAHUN 1974 DAN PP. NO. 9 TAHUN 1975 (Studi di Pengadilan Agama Kabupaten X)
17.PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK PEMBELI DALAM TRANSAKSI JUAL BELI KOMPUTER RAKITAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Di Ronggolawe Computer Malang)
18.PARATE EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN GADAI (Studi Kasus di Pegadaian Cabang X)
19.KEDUDUKAN HUKUM TENTANG HAK ISTRI SETELAH DICERAIKAN OLEH SUAMI YANG BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL DIDASARKAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NO. 10 TAHUN 1983 (Studi di Pengadilan Agama X)
20.PENYELESAIAN KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES) BERMASALAH
(Suatu Studi di Bank BRI Unit Desa Puncu)
21.TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA TENAGA KERJA (PJTKI) TERHADAP PERLINDUNGAN TENAGA KERJA WANITA INDONESIA (TKW)
22.EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PASAL 29 UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DI KANTOR CATATAN SIPIL KOTA X
23.PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS KLAUSULA EKSENORASI YANG TERDAPAT PADA PERJANJIAN KREDIT BANK
24.PERMASALAHAN HUKUM GADAI DALAM MENGATASI KERUGIAN PIHAK DEBITUR (Studi Kasus di Pegadaian Cabang Kota X)
25.PEMBAGIAN SISA HARTA DEBITUR SECARA SEIMBANG TERHADAP KREDITUR OLEH LEMBAGA KEPAILITAN (Study Pengadilan Negeri Niaga X)
26.PEMBAGIAN HARTA BERSAMA KARENA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi di Pengadilan Agama X)
27.PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN JOMBANG SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
28.GANTI RUGI KECELAKAAN KERJA DALAM PROGRAM JAMSOSTEK YANG MENGAKIBATKAN CACAD SEBAGIAN UNTUK SELAMANYA (Studi Pada PT. X)
29.HUBUNGAN HUKUM ANTARA PENERBIT KARTU KREDIT (ISSUER), PEMEGANG KARTU KREDIT (CARDHOLDER), DAN PENERIMA KARTU KREDIT (MERCHANT) DALAM MELAKUKAN JUAL BELI DAN PEMBAYARAN JASA
30.PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA DI INTERNET, DAN PELANGGARAN HAK CIPTA PADA WEBSITE SECARA UMUM DI INTERNET (Studi pada Internet Service Provider di X)
31.PELAKSANAAN PERKAWINAN USIA MUDA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERCERAIAN Studi Di Desa X dan KUA X
32.UPAYA POLRI DALAM PENANGGULANGAN PENGEDARAN NARKOBA
34.KEBIJAKAN HUKUM PEMERINTAH KABUPATEN MANGGARAI - NTT DALAM RANGKA PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG KESEHATAN
35.PENERAPAN SISTEM BAGI HASIL PRODUK SIMPANAN WADI’AH PADA BANK SYARIAH
36.KEDUDUKAN DAN PERANAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA-PERKARA PERDATA BERDASARKAN UU NO. 5 TAHUN 1991 (Studi di Kejaksaan Negeri X)
37.KENDALA DAN UPAYA KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYELIDIKAN KASUS KORUPSI (Studi Kasus Di Kejaksaan Negeri Malang)
38.ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI SAHAM/INVESTOR DALAM PASAR MODAL (Study di Bursa Efek Surabaya)
39.PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN PENERAPAN STANDAR MUTU PADA PRODUK AIR MINUM ISI ULANG (Studi di YLKI Kota Malang)
40.TINJAUAN HUKUM TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERWAKAFAN TANAH MILIK DI PENGADILAN AGAMA (Suatu Studi di Pengadilan Agama X)

Sumber:
http://skripsi-thesis-gratis.blogspot.com/2008/04/judul-skripsi-hukum-terbaru.html

Jumat, 22 Juli 2011

Investasi atau Penanaman Modal

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, investasi diartikan sebagai penanaman (modal). Sedangkan dalam Kamus Hukum, investasi diartikan sebagai penyetoran sejumlah uang kepada suatu badan hukum dengan tujuan ikut memiliki usaha dan memperoleh keuntungan dari usaha tersebut, dengan bukti penyetoran itu, badan hukum menerbitkan surat berharga yang mengandung hak tagih, seperti saham dan obligasi. Kemudian dalam Kamus Ilmiah Populer, investasi diartikan sebagai penanaman modal (uang), perbekalan, permodalan.
Selanjutnya Fitzgeral mengemukakan bahwa “Investasi adalah aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk di masa yang akan datang”. Sedangkan Salim dan Budi Sutrisno mendefinisikan investasi sebagai penanaman modal yang dilakukan oleh investor, baik investor asing maupun domestik dalam berbagai bidang usaha yang terbuka untuk investasi, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga memberikan definisi tentang penanaman modal. Dalam Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, maka batasan operasional dalam penulisan ini mengenai definisi investasi atau penanaman modal adalah aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber dana yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang dan dengan barang modal tersebut akan dihasilkan aliran produk di masa yang akan datang, baik yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia.
sumber: Salim HS. dan Budi Sutrisno. Hukum Investasi Di Indonesia. PT. RajaGrafindo Indonesia: Jakarta. 2008. Hal. 31.

Ruang Publik (Public Space)

Ruang Publik (Public Space)

Secara umum, ruang adalah lingkungan yang direncanakan atau terencana untuk fungsi (terkait dengan aktifitas) dan guna (terkait dengan manfaat) tertentu dan dibatasi oleh elemen-elemen ruang, yaitu bangunan, jalan, ruang terbuka bukan jalan, zona, penanda, dan batas. Keberadaan ruang didukung oleh eksistensi manusia penghuninya. Oleh karena itu, maka kemudian dikenal adanya kepemilikan ruang yang salah satunya adalah ruang milik publik (public space) .
Menurut Retno Hastijanti , definisi ruang publik (public space) secara umum adalah ruang yang berfungsi dan manfaatnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan publik atau masyarakat (bukan untuk seseorang atau keleompok-kelompok tertentu). Perkembangan populasi dan keterbatasan sumber daya ruang menyebabkan adanya persaingan-persaingan dalam kepemilikan ruang. Dari sini, maka mulailah muncul permasalahan yang terkait dengan eksploitasi ruang publik bagi kepentingan perseorangan. Biasanya, kasus yang demikian tersebut terjadi di daerah-daerah perkotaan.

Pada dasarnya permasalahan ruang publik tidak terdeteksi secara langsung sampai timbulnya dampak-dampak negatif yang dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai pengguna utama ruang tersebut. Kerugian yang dimaksud bukan saja berupa kerugian material, tetapi juga sosial dan psikologikal.

Revitalisasi

Revitalisasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revitalisasi adalah proses menvitalkan kembali. Sedangkan secara epistemologi, revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran atau degradasi . Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).
Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud adalah bukan kemudian sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat saja. Selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas .


Dengan demikian, maka batasan operasional dalam penulisan ini tentang definisi revitalisasi adalah proses atau upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital atau hidup atau penting, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran atau degradasi.

sumber: Retno Hastijanti. Ruang Publik, Untuk Siapa?. www.untag-net.co.id. 2006.

Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah

Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah

Dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa:
Angka 1

Angka 2 :
: Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang Milik Daearah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Dari definisi di atas, lingkup barang milik negara/daerah disamping berasal dari pembelian atau perolehan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah, juga berasal dari perolehan lainnya yang sah, yaitu :
• Hibah/sumbangan/sejenisnya,
• Diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak,
• Diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang, dan
• Diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Dengan demikian, batasan operasional dalam penulisan ini tetap mengacu pada definisi barang milik negara dan barang milik daerah sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yakni bahwa Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sedangkan Barang Milik Daearah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer)

Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer)

Hampir semua peraturan perundang-undangan yang membahas tentang bangun guna serah memberikan definisi yang sama tentang Bangun Guna Serah (BOT). Di dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dijelaskan bahwa:
Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

Bangun guna serah atau yang biasa dikenal dengan nama BOT (Build, Operate, and Transfer) merupakan bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT) dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa BOT berakhir. Bangunan yang didirikan investor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko, hotel, atau bangunan lainnya .
sumber:Investasi Dalam Bentuk Bangun Guna Serah (Build, Operate, and Transfer). www.primarycons.blogspot.com. 2008.
HAK ULAYAT
Hak ulayat diatur diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa,”dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai denga kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenag dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat mengandung 2 unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata, dan unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin tugas kewenangan yang termasuk kewenangan hukum publik. Unsur tugas kewenangan tersebut, pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Hak ulayat sebagai hubungan hukum konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang. Prosesnya sangat sederhana, tanah ulayat ini ada, karena merupakan peninggalan dan pemberian oleh orang-orang yang dituakan ndalam suatu masyarakat adat kepada suatu kelompok tertentu. Hak ulayat sebagai suatu lembaga hukum sudah ada sebelumnya, karena masyarakat hukum adat yang bersangkutan bukan satu-satunya yang memiliki hak ulayat. Bagi suatu masyarakat hukum tertentu, hak ulayat tercipta karena pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat hukum adat yang baru dan mandiri, dengan wilayah sebagi tanah ulayatnya.
Pemegang hak ulayat adalah masyarakat hukum adat yang teritorial, karena warganya bertempat tinggal pada wilayah yang sama, seperti nagari di minangkabau, ada pula yang geneologis, yang para warganya terikat pertalian darah, sperti suku dan kaum. Objek hak ulayat adalah semua tanah dalam wilayah masyarakat adat teritorial yang bersangkutan. Tidak secara mudah dan pasti untuk dapat mengetahui batas-batas tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. Dalam masyarakat geneologis, diketahui tanah yang mana termasuk tanah yang dipunyainyabersama. Karena hak ulayat meliputi semua tanah, maka dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada ”res nullius”
Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat adn para tetua adat dalam kenyataannya, Sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Selain diakui, pelaksanaannya juga dibatasi. Dalam artian bahwa harus sedemikian rupa sehingga sesuai kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa srta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hak ulayat pada kenyataannya idak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali, dan juga tidak akan diciptakan hak ulaya6t yang baru. Dalam rangka hukum tanah nasional, tugas dn kewenangan yang merupakan unsur hak ulayat, telah menjadi tugas dan kewenangan Negara. Dalam kenyataannya, hak ukayat cenderung berkurang, sehingga mengakibatkan semakin kuatnya hak pribadi para warga atau anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah-tanah ulayat yang dikuasainya. Uleh karena itu, hak ulayat tidak akan diatur dan UUPA juga tidak memerintahkan untuk membuat aturan khusus tentanh hak ulayat ini, karena pengaturan akan hak ulayat, akan tambah memperkuat keberadaan tanah ulayat dalam masyarakat adat.
Kriteria penentu keberadaan hak ulayat (Peraturan Menteri Negara Agraria/ Ka. BPN No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian hak ulayat masyarakat Hukum Adat) yaitu :
1. adanya masyarakat hukum adat tertentu.
2. adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat.
3. adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu.

Sumber:
Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Moh. Koesno, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya.

PENGADAANTANAH.

PENGADAANTANAH.
Salah satu berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya pembaebasan hak atas tanah tersebut.pembebasan hak atas tanah selama ini telah mengalami perubahan, yaitu semula diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 15 tahun 1974 tentang tata cara pembebasan hak Atas tanah. Kemudian pada tahun 1993 diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
a. pengertian pembebasan hak atas tanah.
Dalam pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975, secara tegas diatur dikatakan bahwa ”Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat pada pemegang hak (penguasa tanah) dengan cara memberikan ganti rugi. Ganti rugi atas tanah-tanah yang dibebaskan berupa : tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tanah-tanah masyarakat hukum adat Z(pasal 1 ayat 5 Permendagri Nomor 15 tahun 1974).
b. pokok-pokok kebijakan tanah
kebijakan pemerintah terhadap pengadaan tanah merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan tanah demi kepentingan umum. Dalam artian bahwa tanah yang telah diambil dari warga masyarakat peruntukannya benar-benar untuk kepentingan pembangunan. Sebab esensi yang terkandung di dalamnya adalah masyarakat telah melepaskan haknya tersebut, sehingga tidak ada lagi hubungan hukum dengan pemiliknya.
Dalam pasal 5 Keppres Nomor 55 tahun 1993 diatur mengenai kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain :
1. jalanan umum dan saluran pembuangan air.
2. Waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.
3. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat.
4. Pelabuhan udara, bandar udara, atau terminal.
5. Peribadatan.
6. Pendidikan atau sekolah.
7. Pasar umum atau pasar inpres.
8. Fasilitas pemakaman umum.
9. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana.
10. Pos dan telekomunikasi.
11. Sarana olahraga.
12. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya.
13. Kantor pemerintah.
14. Fasilitas Angkatan Bersenjata ( dan Polisi Negara Indonesia, kursif penulis).
Penentuan mengenai jenis bidang pembangunan yang termasuk dalam kepentingan umum tersebut tetap ditentukan dalam keputusam presiden Republik Indonesia. Hal ini menandakan bahwa penentuan pembangunan yang masuk dalam kategori tersebut, bukan sembarang ditentukan tetapi harus melalui suatu proses yang nantinya Presiden sendirilah ayng menentukan kategori tesebut.
c. tata cara pelaksanaan pengadaan tanah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang bersifat umum, dilakukan oleh sebuah panitia yang ditunjuk oleh gubernur apabila pengadaan tanah tersebut berada di tingkat provinsi atau tanah tersebut terletak diantara 2 daerahkabupaten. Khusus untuk daerah kabupaten, susunan panitia anggotanya terdiri atas instansi yang terkait dengan pengadaan tanah yang terdapat didaerah kabupaten. Adapun tugas panitia tersebut berdasarkan pasal 8 keppres Nomor 55 tahun 1993 adalah sebagai berikut :
1. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
2. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang hak atasnya akan dilepas atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.
3. menaksir dan mengusulkan besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya akan dilepaskan atau diserahkan.
4. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.
5. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/ atau besarnya ganti kerugian.
6. menyaksikan pelaksanaan penyerahan uang ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada diatas tanah.
7. membuat berita acara pelaksanaan atau penyerahan hak atas tanah.
Menelaah dengan seksama ketentuan pasal 8 diatas, tampaknya tugas panitia sangatlah berat, sebab panitia memiliki tugas melakukan penelitian terhadap keberadaan tanah sampai pada penyaksian terhadap pembayaran ganti rugi kepada pemilik tanah, hingga membuat berita acara. Ha;l ini dapat dimaklumi, karena masalah yang timbul dalam pembebasan tanah, antara lain ganti kerugian kadang-kadang tidak sampai pada sasaran, karena panitia tidak terlibatmenyaksikan penyerahan ganti kerugian tersebut.

PROSES PENDAFTARAN TANAH

1. PROSES PENDAFTARAN TANAH
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegfiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.
a. pendaftaran tanah secara sistematik.
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri. Karena pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan oleh prakarsa pemerintah, maka kegiatan tersebut didasarkan pada suatu rencana kerja yang ditetapkan oleh menteri.
Pada pendaftaran tanah secara sistematik, pemegang hak atas tanah, kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan memiliki kewajiban dn tanggung jawab untuk :
1. memasang tanda-tanda batas pada bidang tanahnya sesuai ketentuan yang berlaku.
2. berada dilokasi pada saat panitia adjukasi melakukan pengumpulan data fisik dan data yuridis.
3. menunjukkan batas-batas tanahnya kepada panitia adjukasi.
4. menunjukkan bukti pemilikan atau penguasaan tanahnya kepada panitia adjukasi.
5. memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi pemegang hak atau kuasanya atau selaku pihak lain yang berkepentingan.
b. Pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan. Adapun tahapan-tahapan pendaftaran tanah secara sporadik sebagaimana tercantum dalam Permen-Agra/Ka.BPN No. 3/1997 adalah sebagai berikut :
1. penetapan lokasi oleh menteri atas usul kepala kantor wilayah.
2. persiapan kepala kantor pertanahan menyiapkan peta dasar pendaftaran berupa peta dasar yang berbentuk peta garis atau peta foto.
3. pembentukan panitia adjukasi dan satuan tugas.
Panitia adjukasi adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
4. penyelesaian permohonan yang ada pada saat mulainya pendaftaran tanah secara sistematik
5. penyuluhan wilayah.
6. pengumpulan data fisik.
7. pengumpulan dan penelitian data yuridis.
8. pengumuman data fisik dan data yuridis dan pengesahannya.
9. penegasan konversi, pengakuan hak, dan pemberian hak.
10. pembukuan hak
11. penerbitan sertifikat.
12. penyerahan hasil kegiatan.

TESTAMENT/WASIAT

TESTAMENT/WASIAT

Pada azasnya seorang Pewaris berhak untuk menentukan kehendak terakhirnya mengenai harta bendanya sepanjang hal tersebut tidak mengganggu bagian legitim dari seorang ahli waris legitimaris.

SIFAT-SIFAT DARI WASIAT/TESTAMENT :

1. Dapat ditarik kembali oleh Pewaris apabila ia menghendakinya, sebelum ia meninggal dunia.
2. Berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat (Pewaris).

BENTUK-BENTUK WASIAT :

1. Wasiat Terbuka
Si pemberi wasiat datang kepada Notaris menyampaikan maksudnya tentang kehendak terakhirnya mengenai harta bendanya dan kehendak tsb dicatat oleh Notaris dalam akta authentik dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

2. Wasiat Olographis
Si pemberi wasiat menulis sendiri dgn tulisan tangannya tentang kehendak terakhirnya mengenai harta bendanya kemudian wasiat itu dibawa ke Notaris untuk disimpan oleh Notaris dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.

3. Wasiat Rahasia
Si pemberi wasiat membuat sendiri wasiatnya tetapi tidak disyaratkan bahwa harus dengan tulisan tangannya sendiri, tentang kehendak terakhirnya mengenai harta bendanya kemudian wasiat itu ditutup, dibawa ke Notaris dan saat penyerahan wasiat dihadapan Notaris itu harus disaksikan oleh 4 (empat) orang saksi kemudian wasiat itu disegel untuk disimpan oleh Notaris.
Yang paling umum dan banyak digunakan adalah Wasiat Terbuka, karena si Pembuat wasiat disamping menyatakan kehendaknya juga bisa langsung diberi saran oleh Notaris bila kehendak tersebut bertentangan dengan bagian legitim dari ahli warisnya.
Sedangkan yang paling sering menimbulkan masalah/kesulitan adalah Wasiat Rahasia.
Karena si Pembuat membuat waiatnya berdasarkan kemauannya semata-mata dan tidak ada yang memberi saran-saran. Akibatnya biasa hak legitim dari ahli waris legitimaris menjadi berkurang bahkan kadang-kadang tidak ada sama sekali.

Disamping ke tiga bentuk Surat Wasiat ini, ada lagi bentuk Wasiat, berupa akta dibawah tangan, yang disebut CODECIL, yaitu :
Wasiat yang hanya berisi petunjuk-petunjuk mengenai pelaksanaan wasiatnya dan kadang-kadang juga mengenai penguburannya si Pemberi Wasiat jika ia meninggal dunia, dan/atau penghibahan perhiasan badan tertentu atau perkakas rumah tangga yang khusus.

MENOLAK WARISAN DAN AKIBAT PENOLAKAN WARISAN

MENOLAK WARISAN

Dalam suatu pewarisan dikenal 3 macam menolak, yaitu :
1. Menolak Warisan (Ps. 1057 s/d 1065)
 Ahli waris yang menolak warisan, berarti ia melepaskan pertanggung jawabannya sbg ahli waris & menyatakan tdk menerima pembagian Harta Peninggalan.
 Dapat dilakukan oleh semua ahli waris menurut UU, baik ahli waris legitimaris maupun ahli waris non legitimaris.
 Ps. 1047  Penolakan warisan mulai berlaku dianggap terjadi sejak hari meninggalnya pewaris dan berlaku surut.
 Ps. 1050  Jika terdapat beberapa ahli waris, maka yang satu boleh menolak sedangkan yang lainnya menerima warisan.
 Ps.1057 Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yg dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukum nya telah terbuka warisan itu.”
Jadi ahli waris yang menolak warisan harus datang sendiri menghadap Panitera Pengadilan Negeri setempat, lalu menyatakan keinginannya dan panitera membuat akta penolakan, Kalau ahli waris yang menolak warisan tsb tidak datang sendiri, ia boleh menguasakan kepada orang lain, tetapi dengan surat kuasa secara notaril.
 Ps. 1046 Yo Ps. 401 & 393  Wali yg akan menolak warisan yang seharus nya diterima oleh orang yg diwalikannya, hrs ada izin dari Pengadilan Negeri .
 Ps. 1062 Hak untuk menolak warisan baru timbul dan berlaku setelah warisan terbuka dan tidak dapat gugur karena daluwarsa.
 Ps.1063  Sekalipun dalam suatu perjanjian kawin, tak dapatlah seorang melepaskan haknya atas warisan seorang yang masih hidup, begitupun tak dapatlah ia menjual hak-hak yang di kemudian hari akan diperoleh nya atas warisan yang seperti itu.
 Ps. 1064a. AW yg menghilangkan/menyembunyikan benda2 yang termasuk harta peninggalan, kehilangan haknya untuk menolak.
b. Ia tetap sebagai ahli waris murni meskipun ia menolak.
c. Ia tidak dapat menuntut suatu bagian pun dalam harta benda yang telah dihilangkan atau disembunyikan itu.
Ps. 1064 memberi perlindungan pada para AW dari penggelapan yg dilakukan oleh AW lainnya. Demikian pula terhadap para kreditur, mereka juga dilindungi dari penggelapan oleh AW, yaitu berdasarkan pasal 1031 angka 2.
 Ps. 1065  Pernyataan Menolak Warisan tidak bisa dicabut atau dibatal kan lagi kecuali penolakan itu terjadi sbg akibat penipuan atau paksaan.

 AKIBAT PENOLAKAN WARISAN (Ps. 1058, 1059 & 1060)
1. AW tsb tidak berhak atas bgn warisan termasuk bagian Lp untuk AW legitimaris.
2. ahli waris yang menolak warisan tidak bisa digantikan (Ps. 1060) dan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (Ps. 1058)
3. AW tidak bertanggung jawab terhadap utang-utang pewaris.
4. Penggantian tidak bisa terjadi untuk ahli waris yang menolak warisan kecuali dengan mewaris atas kekuatan sendiri.
 Ps. 1058  AW yg menolak warisannya, dianggap tidak pernah telah menjadi AW
 Ps. 1059  Bagian warisan seorang yang menolak, jatuh kepada mereka yang sedianya berhak atas bagian itu, seandainya si yang menolak itu tidak hidup pada waktu meninggalnya orang yang mewariskan.
 Ps. 1060  Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak dapat lagi diwakili de- ngan cara penggantian, jika ia satu-satunya waris di dalam derajatnya ataupun jika kesemuanya waris menolak, maka sekalian anak-anak tampil ke muka atas dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris untuk bagian yang sama.”
2. Menolak Wasiat
- Dapat dilakukan oleh legaataris atau ahli waris testamenter.
- Tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang
- Penolakan wasiat cukup diberitahukan ke ahli waris pelaksana wasiat, jika tidak ada yang ditunjuk sebagai pelaksana wasiat amak semua ahli waris yang ada dianggap sebagai pelaksana wasiat.
- Akibatnya : 1. ahli waris yang bersangkutan tidak berhak atas bagian warisan yang diberikan kepadanya.
2. dalam hal ini ahli waris yg bersangkutan tidak bisa digantikan

3. Menolak Persatuan Harta Perkawinan
- Dapat dilakukan oleh suami atau istri yang hidup terlama.
- Akibatnya : 1. hanya bertindak sebagai ahli waris non legitimaris dari pewaris
2. tidak bertanggung jawab atas utang perkawinan jika persatuan harta perkawinannya merupakan persatuan penghasilan.

PENCABUTAN / PEMECATAN AHLI WARIS

PENCABUTAN / PEMECATAN AHLI WARIS

 Yang dapat melakukan pencabutan/pemecatan atas diri ahli waris adalah Pewaris sendiri dan hal ini disebut juga pewaris mengenyampingkan ahli waris (onterfd)
 Pernyataan pencabutan/pemecatan ahli waris biasanya dilakukan dengan membuat surat wasiat yang isinya mengangkat satu atau beberapa orang tertentu sebagai ahli waris untuk seluruh harta peninggalnnya. Orang yang diangkat ini mungkin juga merupakan ahli waris tetapi dapat pula merupakan orang luar yang bukan ahli waris.
 Tidak ada penggantian untuk orang dicabut atau dipecat sebagai ahli waris.
 Pencabutan sebagai ahli waris testamenter atau ahli waris menurut UU dpt terjadi karena : 1. Kehendak Pewaris sendiri
2. dinyatakan secara : - tegas dengan akta;
- diam-diam, dengan membuat testamen baru yang bertentangan dengan testamen lama.
3. Testamen batal jika pelaksanaannya tidak mungkin.
4. Terbukti dari perbuatan testatuur.

AKIBAT PENCABUTAN / PEMECATAN AHLI WARIS, adalah :
1. Untuk ahli waris onwaardig (tidak cakap)
bagi ahli waris legitimaris maupun non legitimaris adalah tidak akan menerima warisan apapun dari Pewaris.

2. Untuk ahli waris onterfd (dikesampingkan o/ pewaris)
 bagi Ahli waris legitimaris  hanya berhak atas bagian legitime portienya kalau ia menuntut.
 bagi Ahli waris non legitimaris  tidak berhak atas apapun dari warisan Pewaris.

Bagian AHLI WARIS LEGITIMATIE

Bagian AHLI WARIS LEGITIMATIE, adalah :

1. Garis Lurus Kebawah :
A. Bagian Anak Sah, adalah :
a. Jika satu anak; Lp nya = ½ x bagiannya menurut UU.
b. Jika dua anak; Lpnya = 2/3 x bagiannya menurut UU.
c. Jika tiga anak atau lebih; Lpnya = ¾ x bagiannya menurut UU.

B. Bagian Anak Luar Kawin Yang Diakui Dengan Sah, adalah :
a. Mewaris dgn Golongan I; Lp nya = ½ x bagiannya menurut UU.
b. Mewaris dgn Golongan II & Golongan III; Lpnya = ¼ x warisan.
c. Mewaris dengan Golongan IV; Lpnya = ½ x ¾ x warisan.

2. Garis Lurus Keatas, yaitu orang tua atau nenek/kakeknya.
Bagian LP nya = ½ x bagian masing-masing menurut UU.
Bagaimana jika Ahli Waris Onterfd (ahli waris yang dikesampingkan oleh Pewaris) ingin menggugat hak legitime portie nya sebagai anak sah ? Harus diingat bahwa pemecatan sebagai ahli waris yang dilakukan oleh pewaris terhadap legitimaris akibatnya dibatasi, yaitu bahwa legitimaris dilindungi dengan UU menjamin haknya sebanyak bagian legitimnya saja tidak bisa lebih banyak lagi.

Bagian ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI SAH

B. Bagian ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI SAH, adalah :

• 1/3 dari bagian yang sedianya ia peroleh seandainya ia merupakan anak sah, jika anak luar kawin tersebut mewaris bersama dengan golongan I.
• ½ dari warisan, jika anak luar kawin tersebut mewaris bersama dengan golongan II atau golongan III
• ¾ dari warisan, jika anak luar kawin tsb mewaris bersama dgn golongan IV.

Catatan : Bgn anak luar kawin itu adalah bgn kelompok, artinya kalau anak luar kawin 1 orang maka seluruh bagian anak luar kawin untuk dia sendiri. Kalau 2 orang maka dibagi rata 2, kalau 3 orang maka dibagi rata 3 dst.

PEMBAGIAN HARTA PERSATUAN ATAU HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN II

HAL YANG PERLU DIINGAT & DIPERHATIKAN DALAM PEMBAGIAN HARTA PERSATUAN ATAU HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN II INI ADALAH :

1. Jika dalam perkawinan I tidak ada keturunan maka pembagian harta persatuan atau harta warisan disamakan dengan dalam perkawinan I.
2. Jika dalam perkawinan I ada keturunan maka ada 2 cara untuk membagi harta persatuan; yaitu :
 a. Istri/suami menerima harta persatuan
- Cara ini digunakan jika harta bawaan istri dan harta bawaan suami dalam perkawinan II tersebut seimbang,maksudnya adanya percampuran harta bawaan ini tidak menimbulkan keuntungan suami/istri dari perkawinan kedua tersebut.
- Kalau cara a ini yang dipilih maka tidak bisa menggunakan lagi cara b.
- Dalam cara ini, suami/istri yang hidup terlama hanya berhak atas ½ dari harta persatuan dan tidak berhak sebagai ahli waris.
- Kalau keuntungan yang diperoleh suami/istri dengan cara ini melebihi dari ketentuan pembagian yang diatur dalam Ps. 181 atau Ps. 852a KUHPerd maka cara ini tidak bisa digunakan meskipun suami/istri tersebut meng- hendakinya oleh karena itu hanya bisa menggunakan cara b dibawah ini.
 b. Istri menolak harta persatuan
- Cara ini digunakan jika harta bawaan istri dan harta bawaan suami dalam perkawinan II tersebut tidak seimbang, maksudnya percampuran harta bawaan ini menimbulkan keuntungan suami/istri dari perkawinan kedua.
- Kalau cara b ini digunakan maka kedudukan suami/istri yang hidup terlama disamping berhak atas harta bawaannya juga hanya dianggap sebagai ahli waris dari pewaris dan tidak berhak sebagai istri/suami yang memperoleh ½ dari harta persatuan. Jadi harta warisan yang akan dibagi merupakan harta perkawinan yang tidak perlu dibagi dua dan harus dikeluarkan harta bawaan suami/istri yang hidup terlama
3. Jika dalam perkawinan I ada keturunan dan untuk membagi harta persatuan dapat digunakan 2 cara, yaitu menerima maupun menolak harta persatuan maka hanya dapat menggunakan salah satu cara saja dan cara yang digunakan adalah yang lebih menguntungkan istri meskipun berdasarkan Ps. 181 melindungi bagian anak-anak yang lahir dalam perkawinan I.

Contoh-Contoh :
1. Duda A kawini B tanpa perjanjian kawin. A tidak membawa apa-apa sedangkan kan B membawa Rp. 100 jt,- Pada waktu perkawinan mereka bubar, maka menurut Ps. 181, istri/suami pada perkawinan kedua dan selanjutnya tidak akan memperoleh lebih dari ¼ bagian dari harta suami/istri yang masuk ke dalam perkawinan ke dua dan bagiannya tersebut tidak boleh lebih besar dari penerima terkecil dari anak dalam perkawinan pertama. Jadi bagian A maksimum adalah ¼ x Rp. 100 jt,- = Rp. 25 jt,- saja.

2. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B,C dan D kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa Rp. 9 jt,- A meninggal dunia tanpa membuat surat wasiat, E menolak harta peninggalan A, maka berapa bagian E ?
A membawa Rp. 40 jt,-- dan E membawa Rp. 9 jt,- maka Harta Persatuan adalah Rp. 49 jt,- E menolak Harta peninggalan A.
Maka bagian E adalah ½ x Harta persatuan = ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,-
Keuntungan E adalah Rp. 24,5 jt,- - Rp. 9 jt,- = Rp. 15,5 jt,-
Bagian B, C dan D masing-masing adalah : 1/7 x rp. 24,5 = Rp. 3,5 Jt,-
Berdasarkan Ps. 181 keuntungan E dari perkawinan kedua ini (Rp. 15,5 jt,-) tidak boleh lebih besar dari bagian terkecil anak dari perkawinan I (B, C dan D yaitu Rp. 3,5 jt,-). Oleh karena itu pembagian diatas harus menggunakan cara menolak harta persatuan meskipun E menolak harta peninggalan A.
Karena menolak harta persatuan maka kedudukan E juga sebagai ahli waris A dan bagiannya adalah = 1/8 x Rp. 40 jt,- Rp. 5 jt,-
Bagian E adalah = Harta bawaan + Keuntungan (ahli waris A)= 9 + 5 = Rp. 14 jt,-
Pembagian dengan cara menolak harta persatuan ini maka keuntungan B adalah sama dengan keuntungan anak dari perkawinan I yaitu Rp. 5 jt,- Hal ini sesuai menurut Ps. 181 dan Ps. 852a. Jadi pembagian ini yang digunakan.
Ps. 181 tidak berlaku jika :
1. Tidak ada anak yang lahir dari perkawinan pertama;
2. Karena percampuran harta tidak menimbulkan keuntungan terhadap suami/istri dari perkawinan kedua atau harta bawaan suami/istri dari perkawinan kedua itu sama atau lebih besar dari pada harta yang dibawa oleh orang yang kawin untuk kedua kali tadi.
Dalam contoh diatas, Ps. 181 tidak berlaku bila : (A meninggal dengan 7 anak)
a. A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa Rp. 40 jt,- atau
b. A membawa Rp. 40 jt,- dan E membawa lebih dari Rp. 40 jt,- atau
c. B, C dan D tidak ada.
d. Jika bagian E kurang dari yang diizinkan, yaitu lebih kecil dari harta bawaannya.

Contoh-Contoh :
1. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B, C dan D kawin dengan E tanpa perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini E membawa Rp. 40 jt,- dan A membawa Rp. 9 jt,- E menolak Harta peninggalan A maka berapa bagian E ?
E membawa Rp. 40 jt,-- dan A membawa Rp. 9 jt,- maka Harta Persatuan adalah Rp. 49 jt,- . Kalau perkawinan bubar, maka yang beruntung adalah A bukan E.
E mendapat ½ x Harta Persatuan, yaitu : ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,-
Jadi Harta Peninggalan A = Rp. 49 jt,- - Rp. 24,5 jt,- = Rp. 24,5,- Bagian inilah yang akan dibagi rata ke ahli waris A, yaitu B, C, D, E, F, G, H dan I. E tidak diperhitungkan lagi karena E menolak harta peninggalan A.
Bagian B, C, D, F, G, H dan I masing-masing adalah : 1/7 x Rp. 24,5 = Rp. 3,5 jt,-
Ps. 181 ini juga tidak diterapkan apabila karena pembagian ini maka istri atau suami memperoleh keuntungan kurang dari pada jumlah yang diizinkan.

2. A seorang duda, dengan 3 anak yaitu B,C dan D kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Dari perkawinan A dengan E ini lahir 4 orang anak, yaitu F, G, H dan I. Kedalam perkawinan ke 2 ini A membawa Rp. 26 jt,- dan E membawa Rp. 23 jt,- Berapa bagian E ?
Jika E menerima harta persatuan :
A membawa Rp. 26 jt,-- dan E membawa Rp. 23 jt,- maka harta persatuan adalah Rp. 49 jt,- Bila perkawinan bubar karena A meninggal dunia maka harta persatuan dibagi 2, untuk E mendapat ½ x Rp. 49 jt,- = Rp. 24,5 jt,- dan sisanya Rp. 24,5 jt,- dibagi rata ke ahli waris A, yaitu B, C, D, F, G, H dan I dengan bagian masing-masing sebesar = 1/7 x Rp. 24,5 jt,- = Rp. 3.067.500,-
E tidak bisa lagi mendapat bagian sebagai ahli waris karena ia telah mendapat haknya sebagai istri A, yaitu ½ dari harta persatuan.
Keuntungan E dari perkawinan tersebut adalah Rp.24,5 jt - Rp.23 jt = Rp. 1,5 jt,-
Hal ini ( keuntungan Rp. 1,5 jt,-) menurut Ps. 852a dan Ps.181 diperbolehkan karena lebih kecil dari bagian anak dalam perkawinan I (Rp. 3.067.500,-)
Bagian E adalah Rp. 24,5 jt ,-

Jika E menolak harta persatuan :
E dianggap sebagai ahli waris dan mewaris bersama ahli waris lainnya (B, C, D,
F, G, H dan I) dan bagiannya adalah = 1/8 x Rp. 26 jt,- = Rp. 3, 25 jt..-
Keuntungan yang E peroleh adalah Rp.. 3,25 jt,-
Hal ini ( keuntungan Rp. 3,25 jt,-) menurut Ps. 852a dan Ps. 181 diperbolehkan karena tidak lebih besar dari bagian anak dalam perkawinan I (Rp. 3,25 jt,-).
Bagian E adalah = harta bawaan + bagian sebagai ahli waris
= Rp. 23 jt,- + Rp. 3,25 jt,- = Rp. 26,25 jt,-
Jadi jika dalam hal ini bisa digunakan 2 cara, maka dipilih cara yang paling menguntungkan E, dalam hal ini adalah cara pembagian dengan menolak harta persatuan.

3. A duda dengan 3 orang anak, yaitu B, C dan D, kawin dengan E tanpa membuat perjanjian kawin. Harta bawaan A Rp. 16 jt,- Sedang E tidak membawa apa-apa. Berapa bagian E jika A meninggal ?
Jika E menerima harta persatuan maka bagiannya adalah ½ x Rp.16jt,- =Rp. 8 jt,-
Sisanya Rp. 8 jt,- dibagi rata untuk ahli waris A, yaitu B, C dan D, masing-masing : 1/3 x Rp. 8 jt,- = Rp. 2 2/3 jt,-
Jadi keuntungan yang diperoleh E (Rp. 8 jt,-) lebih besar dari warisan yang diperoleh anak dari perkawinan pertama (Rp. 2 2/3 jt,-)
Oleh karena itu harus dengan cara menolak harta persatuan, sehingga kedudukan E juga sebagai ahli waris dan bagiannya adalah ¼ x Rp.16jt =Rp. 4 jt,-
Karena E tidak mempunyai harta bawaan maka bagian E adalah Rp. 4 jt,-
Seandainya perkawinan A dengan E merupakan perkawinan I bagi mereka maka Bagian yang diperoleh E adalah : ½ Harta persatuan + harta sebagai ahli waris,
= (½ x Rp. 16 jt,- ) + (½ x ¼ x Rp. 16 jt,-) = Rp. 8 jt,- + Rp. 2 jt,- = Rp. 10 jt,-

4. A duda dengan 1 orang anak, yaitu B , kawin dengan C tanpa perjanjian kawin.
Harta bawaan A Rp. 10 jt,- dan harta bawaan C Rp. 2 jt,- Pada waktu A meninggal, terdapat harta kekayaan sebesar Rp. 20 jt,- Berapa bagian C jika A meninggal ?
Harta Persatuan adalah Rp. 10 jt,- + Rp. 2 ,- = Rp. 12 jt,-
Kekayaan pada saat A meninggal Rp. 20 jt,- Jadi ada keuntungan Rp. 8 jt,-(20-12).
Menurut Ps.185 bahwa pun jika ada anak-anak dari perkawinan yang dahulu, maka untung dan rugi harus dibagi sama antara suami dan istri, kecuali jika peraturan tentang itu dengan perjanjian kawina ditiadakan.
Berdasarkan Ps. 185 maka keuntungan yang Rp. 8 jt,- dibagi 2 antara A dan C.
Harta Peninggalan A menjadi Rp. 10 jt,- + Rp. 4 jt,- = Rp. 14 jt,- dan ini dibagi rata ke ahli warisnya, yaitu B dan C, masing-masing ½ x Rp. 14 jt,- = Rp. 7 jt,-
Menurut Ps. 852a, maksimum bagian C adalah ¼ x warisan (Rp.14 jt) = Rp.3,5 jt,-
Jadi C mendapat Rp. 14jt,- - Rp. 3,5 jt,- = Rp. 10,5 jt,-
Bagian B adalah : Harta Bawaan + Keuntungan + warisan dari A
= Rp. 2 jt,- + Rp. 4 jt,- + Rp. 3,5 jt,- = Rp. 9,5 jt,-
Seandainya C termasuk onterfd atau menolak warisan maka bagian C adalah : Harta Bawaan + Keuntungan = Rp. 2 jt,- + Rp. 4 jt,- = Rp. 6 jt,-
C tidak berhak atas warisan A dan semua warisan A jatuh ke C.
 Kalau ada hibah dari A ke C, bagaimana ? Menurut ketentuan umum, hibah yang diterima oleh suami/istri menjadi harta bawaan suami/istri, tidak perduli siapa yang memberikan.
5. A duda dengan 1 orang anak, yaitu B dan kawin dengan C. Harta bawaan A Rp. 20 jt,- dan harta bawaan C Rp. 5 jt,- Pada waktu A meninggal, terdapat harta persatuan atau harta kekayaan sebesar Rp. 17 jt,- Berapa bagian C jika A meninggal ?
Harta Persatuan adalah Rp. 20 jt,- + Rp. 5 ,- = Rp. 25 jt,-
Kekayaan pada saat A meninggal Rp. 17 jt,- Jadi ada kerugian Rp. 8 jt,-(25-17).
Jika C menolak harta persatuan :
Menurut Ps. 185, Kerugian ( Rp. 8 jt,-) ini ditanggung bersama suami istri sehingga dibagi 2, antara A dan C. Harta A sisa : Rp. 20 jt,- - ½ x Rp. 8 jt,- = Rp. 16 jt,- dan Harta C sisa : Rp. 5 jt,- - ½ x Rp. 8 jt,- = Rp. 1 jt,-
Ahli waris A nya, C dan B masing-masing mendapat ½ x Rp. 16 jt,- = Rp. 8 jt,-
Menurut Ps. 852a, maksimum bagian C adalah ¼ harta warisan = Rp. 4 jt,-
Jadi bagian B adalah = harta bawaan + ahli waris A = Rp.1Jt + Rp.4jt = Rp. 5 jt,-
Sedangkan C mendapat Rp. 16 jt,- - Rp. 4 jt,- = Rp. 12 jt,-
Jika C menerima harta persatuan :
Harta persatuan Rp. 17 jt,-
Menurut Ps. 128, harta ini dibagi 2 antara suami dan istri, jadi bagian C adalah ½ x Rp. 17 jt,- = Rp. 8,5 jt,- Sisanya Rp. 8,5 jt,- untuk B.
Keuntungan yang diperoleh C adalah = Rp. 8,5 jt,- - Rp. 5 jt,- = Rp. 3,5 jt,-
Menurut Ps. 852 a, maksimum bagian C adalah ¼ x Rp. 8,5 jt,- = Rp. 2,125 jt,-
Jadi C hanya bisa memperoleh Rp. 2,125 jt,- + Rp. 5 jt,- = Rp. 7,125 jt,-
B, anak A mendapat ; Rp. 17 jt,- - Rp. 7,125 jt,- = Rp. 9,775 jt,-

Menurut HALMAKER :
Bagian C jika harta persatuan tetap Rp. 25 jt,- adalah : Harta bawaan + bagian maksimum menurut Ps. 852a = Rp. 5 jt,- + (¼ x Rp. 20 jt,-) = Rp. 10 jt,-
Tetapi karena harta persatuan mengalami penurunan menjadi Rp. 17 jt,- maka bagian C adalah : 10/25 x Rp. 17 jt,- = Rp. 6,8 jt,-
Bagian B adalah = Rp. 17 jt,- - Rp. 6,8 jt,- = Rp. 10,2 jt,-

MEWARIS

CARA-CARA MEWARIS

Seorang ahli waris dapat mewaris secara :
1. Langsung (uit eigen hoofde), apabila orang itu mewaris dalam kedudukan sebagai ahli waris langsung untuk atau karena dirinya sendiri
2. Penggantian (bij plaatsvervulling), adalah seseorang menjadi ahli waris karena ahli waris yang sebenarnya sudah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris maka orang tersebut menjadi ahli waris untuk menggantikan kedudukan ahli waris yang sebenarnya yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si yang meninggal (pewaris). Jadi orang itu mewaris, yang sebenarnya warisan itu bukan untuk dia, tetapi untuk orang yg sudah meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si yang meninggal (pewaris).

Contoh : Ahli waris langsung dan ahli waris Pengganti


A : PEWARIS
. B dan C adalah anak dari A
C meninggal dunia lebih dahulu dari A
D dan E anak C dan merupakan ahli waris tidak langsung (pengganti C).
B adalah ahli waris langsung

KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI AHLI WARIS PENGGANTIAN:
1. Ps. 840 anak-anak dr seorang yg telah dinyatakan tidak patut mewaris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah karena kesalahan orang tua tadi, dikecualikan/disingkirkan dari pewarisan.

A : PEWARIS
B adalah anak A dan merupakan ahli waris tidak patut (onwaardig) terhadap A.
C dan D anak B dan merupakan cucu A.
Jika ahli waris yang ada hanya B dan tidak ada ahli
waris yang lainnya maka D dan C dapat mewaris atas kekuatan sendiri terhadap harta peninggalan A.
Tetapi jika masih ada ahli waris lain selain B, maka D dan C tidak dapat mewaris.

2. Ps 841 Penggantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti dlm derajat & dlm segala hak orang yang diganti.

A : PEWARIS
. B dan C adalah anak dari A
C meninggal dunia lebih dahulu dari A
D dan E anak C menggantikan C utk menerima warisan dari A dan semua hak-hak C diambil alih oleh D dan E.

E dan D bersama-sama sederajat dengan B terhadap A.

3. Ps. 842  Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada akhirnya.
Dalam segala hal, penggantian seperti diatas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak pewaris mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak si yang telah meninggal lebih dulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
A: PEWARIS
C, D dan G meninggal lebih dulu dari A.
Dalam Hal ini :
H dan I : menggantikan G
F dan H dan I : menggantikan D
E, F dan H serta I menggantikan C
Seandainya I meninggal terlebih dahulu dr
A dan anak I adalah J dan K maka J & K dapat menggantikan I. Begitulah seterus-nya, pergantian boleh terus berlangsung dalam garis lurus kebawah tanpa batas.


4. Ps. 843  tiada penggantian terhadap keluarga sedarah dlm garis menyimpang ke atas. Keluarga yang terdekat dalam kedua garis, menyampingkan segala keluarga dalam perderajatan yang lebih jauh. (Gol. 3 & 4 tdk mengenal penggantian)


A : PEWARIS
B : Ayah dari A
C : Ibu dari A
D : Kakek A dari pihak Bapak.
E : Saudara B, paman A
D & B meninggal lebih dulu dari A.
E tidak dapat menggantikan B untuk
mewaris harta peninggalan A sebab
tiada pergantian terhadap keluarga se- darah dalam garis menyimpang ke atas
F dan G dikesampingkan oleh C, sebab yang derajatnya terdekat terhadap A ialah C. Jadi dalam hal di atas, harta A sepenuhnya jatuh kepada C.
5. Ps. 844  dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan –sekalian anak dan keturunan saudara laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu, harus dibagi antara sekalian keturunan mereka yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam perderajatan yang tidak sama. ( golongan 2 mengenal penggantian).

A Meninggal dunia, anaknya A yaitu : B, C. D dan E.
B dan E meninggal lebih dahulu dari A.
G cucu A, anak E, keponakan C dan D, yang meninggal lebih dulu dari A.
H dan I, anak G, cicit A.
Dalam hal diatas, J dan K boleh menggantikan B; H dan I boleh pula menggantikan G. Jadi yang mewaris adalah : J dan K, C, D, F serta H dan I.

6. Ps. 845  Pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juga bagi pewarisan para keponakan, ialah dalam hal bilamana disamping keponakan yang bertalian keluarga sedarah terdekat dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki atau perempuan darinya, saudara-saudara mana telah meninggal lebih dahulu.


A yang meninggal dunia.
B, C dan D serta E saudara2 A.
B meninggal lebih dulu dari A.
Dalam hal ini F dan G boleh mengganti
B, tetapi G meninggal lebih dulu dari B dan A maka H dan I yang akan meng- gantikan G. Oleh karena itu F, I dan H boleh mengganti B. Jadi yang mewaris adalah : C, D, E, F, H dan I.


7. Ps. 846  dalam segala hal, bilamana pergantian diperbolehkan, pembagian ber- langsung pancang demi pancang; apabila pancang yg sama mempunyai pula cabang2nya maka pembagian lebih lanjut, datang tiap-tiap cabang, berlangsung pancang demi pancang pula, sedangkan antara orang-orang dalam cabang yang sama pembagian dilakukan kepala demi kepala.

A meninggal dunia.

Pembagian Warisan :
1. Dibagi dulu dalam pancang B, C dan D.
2. Pancang B bercabang L dan M. Bagian B dibagi ke anaknya yaitu L dan M.
Bagian L bercabang lagi ke anak-anaknya, yaitu P, O dan N.
Dalam cabang yang sama (cabang P, O & N), pembagian dilakukan kepala demi kepala. Bagian mereka dibagi rata antara anggota cabang itu. Pembagian yang sama caranya dilakukan pula dalam cabang-cabang pancang D.

8. Ps. 847  tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya.

A yang meninggal
B dan C anak A yang masih hidup.
D dan E anak C, cucu A.
D dan E tidak dapat bertindak menggantikan C kalau C onwaardig (dinyatakan tidak layak men- jadi ahli waris A) maka D dan E tidak dapat warisan dari A.

9. Ps. 848 seorang anak yang mengganti orang tuanya, memperoleh haknya itu tidaklah dari orang tua tadi, bahkan bolehlah terjadi, seorang pengganti orang lain, yang mana ia telah menolak menerima warisan.

A yang meninggal
C meninggal lebih dulu dari A.
D menggantikan C sebagai ahli waris.
D memperoleh haknya bukan dari C, bahkan kalau D onwaardig terhadap C, D masih juga boleh mengganti C menerima warisan A.

10. Penggantian tidak dapat dilakukan oleh ahli waris dari orang yang digantikan yang berstatus :
a. onwaardig (tidak cakap untuk mewaris)
b. onterfd (dikesampingkan sebagai ahli waris oleh pewaris)
c. yang menolak warisan, maksudnya si ahli waris tsb melepas pertanggung- jawabannya sebagai ahli waris dan menyatakan tidak menerima pembagian harta peninggalan. Akibatnya ia kehilangan haknya untuk mewaris dan diang- gap tidak pernah menjadi ahli waris (Ps. 1058) dan bagian legitim portienya pun hilang.

CARA-CARA MEWARIS

JENIS-JENIS AHLI WARIS

Berdasarkan cara mewaris, maka ahli waris dapat dibedakan atas :
1. Ahli waris Ab intestato, yaitu seseorang menjadi ahli waris karena ditunjuk oleh undang-undang atas dasar hubungan darah.
Untuk menjadi Ahli waris Ab intestato harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali istri pewaris.
Mis. anak pewaris, istri, orang tua maupun ssaudara pewaris.
2. Ahli waris Testamenter, yaitu seseorang menjadi ahli waris karena sudah ditentukan atau ditetapkan dalam surat wasiat pewaris.
Untuk menjadi Ahli waris Testamenter tidak harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris tetapi bisa pula orang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
Mis. perawat pewaris atau kenalan baik pewaris.
Ahli waris Legitimaris, yaitu ahli waris ab intestato yang tidak dapat dihilangkan hak warisnya oleh pewaris sepanajng ahli waris tersebut tidak digolongkan sebagai ahli waris yang tidak cakap.

CARA-CARA MEWARIS

Seorang ahli waris dapat mewaris secara :
1. Langsung (uit eigen hoofde), apabila orang itu mewaris dalam kedudukan sebagai ahli waris langsung untuk atau karena dirinya sendiri
2. Penggantian (bij plaatsvervulling), adalah seseorang menjadi ahli waris karena ahli waris yang sebenarnya sudah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris maka orang tersebut menjadi ahli waris untuk menggantikan kedudukan ahli waris yang sebenarnya yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si yang meninggal (pewaris). Jadi orang itu mewaris, yang sebenarnya warisan itu bukan untuk dia, tetapi untuk orang yg sudah meninggal terlebih dahulu dari pada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dahulu dari pada si yang meninggal (pewaris).

SYARAT-SYARAT MEWARIS

SYARAT-SYARAT MEWARIS

A. HARUS ADA KEMATIAN PEWARIS atau Pewaris sudah meninggal dunia (Ps. 830  pewarisan hanya berlangsung karena kematian)
Harta peninggalan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia. Jadi harus ada orang yang meninggal dunia dan si ahli waris harus masih hidup pada saat harta warisan terbuka.
KAPAN SESEORANG DIKATAKAN SUDAH MENINGGAL ?
- Secara tradisional, pakar hukum mengatakan bahwa “jantung orang tsb sudah berhenti berdenyut” a/ “pada saat jantung seseorang berhenti berdenyut”.
Pengertian ini sudah tidak dpt digunakan lagi sejak terjadinya perkembangan tehnologi dalam ilmu kedokteran, yakni adanya pencangkokan jangtung.
- Sekarang ini menggunakan istilah sehari-hari, yaitu :
“pada saat ia menghembuskan nafas yang terakhir”
- Untuk Kematian yang difiksian, yaitu bila seseroang meninggalkan tempat ke- diamannya tanpa memberi kabar berita dan tidak pula menunjuk kuasa untuk mengurus kepentingannya secara pantas dan bila keadaan tersebut berlangsung terus menerus dalam tenggang waktu & syarat2 yang telah ditentukan sbb :
a. 5 (lima) tahun berturut-turut, bila seseorang meninggalkan tempat kediaman- nya tanpa memberi kabar berita dimana ia berada dan tidak menunjuk seseorang kuasa untuk mengurus kepentingannya.
b. 10 (sepuluh) tahun berturut-turut, bila seseorang meninggalkan tempat ke- diamannya tanpa memberi kabar berita dimana ia berada tetapi dia menunjuk seseorang kuasa untuk mengurus kepentingannya dan surat kuasa tersebut dianggap telah daluarsa.
c. 1 (satu) tahun, jika orang tersebut termasuk anak buah kapal atau penum- pang kapal yang dinyatakan hilang.
Untuk kematian fiksi ini harus dimintakan Surat Pernyataan pada Pengadilan Negeri tempat kediaman yang ditinggalkan orang tersebut.
Pengurusan harta benda yg ditinggalkan oleh orang yg dinyatakan meninggal adalah hanya bisa dikuasai oleh ahli warisnya untuk jangka waktu 30 tahun terhitung sejak adanya Surat Pernyataan Wafat, setlh itu baru dpt digunakan.

Ps 832  Yang berhak menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan yang tertera di bawah ini dan bilamana baik keluarga sedarah maupun suami atau istri yang hidup terlama tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.
Sedangkan kalau suami istri telah bercerai, maka mereka bukan ahli waris satu sama lain, Tetapi suami istri yang pisah meja dan tempat tidur (scheiding van tafol en bed) masih tetap jadi ahli waris kalau salah satu meninggal.
Ps. 833  bahwa apabila seseorang meninggal maka pada saat itu juga segala hak & kewajibannya beralih kpd para ahli warisnya. Ahli waris menempati kedudukan si pewaris dalam hal menyangkut harta kekayaannya dan memperoleh hak mewaris dgn algemene titel (titel umum) jadi tidak perlu dengan “levering”.
Ps. 834  Tiap2 ahli waris berhak menuntut setiap barang/uang yang termasuk harta peninggalan utk diserahkan kepadanya kalau dikuasai orang lain.
Ps. 835  Gugatan ini gugur setelah tenggang waktu 30 tahun.
Ps. 837 apabila suatu warisan terdiri dari barang-barang atau kekayaan yang sebahagian ada di Indonesia dan sebahagian lagi ada di luar negeri, dan warisan itu harus dibagi antara orang Indonesia dan orang asing yang bukan penduduk Indonesia, maka orang Indonesia itu bolehlah mengambil lebih dahulu suatu jumlah tertentu dari bagiannya dari barang di luar negeri itu (diambilkan dari barang yang di Indonesia). Aturan ini ialah untuk menjaga jangan sampai orang Indonesia tidak memperoleh hak miliknya karena suatu peraturan yang mungkin merugikannya yang berlaku di luar negeri.
Sampai saat ini belum ada peraturan yang mengatur tentang warisan orang asing di Indonesia. Jadi kalau ada orang asing yang meninggal di Indonesia, maka kita tidak dapat menentukan soal warisannya.

B. AHLI WARIS HARUS ADA atau MASIH HIDUP SAAT PEWARIS MENINGGAL DUNIA (Ps. 836 );

Ps. 2  anak yg ada dalam kandungan seorang wanita, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan dianggap ia tidak pernah ada. Jelasnya, seorang anak yang baru lahir, pada hal ayahnya meninggal sebelum ia lahir, maka ia berhak mendapat warisan.
Untuk jelasnya lihat :
a. Ps. 836 : Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2 Kitab ini, supaya dapat bertindak sebagai ahli waris, seorang harus telah ada pada saat warisan jatuh meluang dan
b. Pasal 831 menentukan bahwa kalau beberapa orang meninggal pada saat yang sama atau malapetaka yang sama, atau pada satu hari yg sama dengan tidak diketahui siapa yang mati terlebih dahulu, maka mereka dianggap me- ninggal pada detik saat yang sama. Dalam hal ini tidak ada pemindahan harta diantara mereka. Disini harus dibuktikan dan bila tidak dapat dibuktikan, dianggap meninggal pada saat yang sama. Kalau saat meninggal berselisih satu detik saja, maka dianggap tidak meninggal ber sama-sama.

C. AHLI WARIS HARUS CAKAP/MAMPU MEWARIS atau LAYAK BERTINDAK SEBAGAI AHLI WARIS (waardig).

Pengertian cakap dalam hal ini bukanlah cakap dalam batas-batas umur tetapi maksudnya adalah tidak dicabut haknya untuk memperoleh warisan. Sehingga yang dimaksud tidak cakap adalah orang-orang atau ahli waris yang dicabut hak mewarisnya atau dinyatakan sebagai orang yang tidak pantas mewaris karena mereka telah melakukan suatu perbuatan yang dipandang tidak sepantasnya dilakukan oleh manusia beradab.
Menurut Ps. 838, telah ditetapkan 4 golongan ahli waris yang tidak cakap, yaitu :
1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si yang meninggal.
Dalam hal ini harus ada Keputusan Hakim. Kalau sudah mendapat keputusan Hakim, lantas mendapat grasi dari presiden mk yg onwaardig itu tetap onwaardig.
2. Mereka yang dengan Keputusan Hakim pernah dipersalahkan menfitnah si pewaris, terhadap fitnah tsb diancam dgn hukuman 5 tahun atau lebih berat.
Jadi dalam hal ini juga harus sudah ada Keputusan Hakim yg menyata kan bahwa yang bersangkutan bersalah karena menfitnah itu.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal dunia untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.

Kejadian Ad.3 & Ad.4 jarang terjadi, sebab surat wasiat umumnya dibuat didepan notaris.
Ps. 839  Setiap ahli waris yg tidak patut menjadi ahli waris wajib mengembali- kan segala hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya semenjak warisan terbuka.
Pernyataan onwaardig (Tidak patut menjadi ahli waris) terjadi pada saat warisan terbuka.
D. HARUS ADA WARISAN atau SESUATU YG AKAN DIWARISKAN.

Pasal 849  Undang2 tidak memandang akan sifat atau asal dari barang-barang dalam suatu pertinggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya.

HUKUM WARIS

HUKUM WARIS

Pengertian istilah-istilah dalam Hukum Waris :

1. Hukum Waris, adalah kumpulan peraturan/ketentuan, yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si yang meninggal dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka mapun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
2. Pewaris adalah org yg meninggal dunia dgn meninggalkan kekayaan/harta benda.
3. Warisan atau budel warisan adalah kekayaan yang berupa aktiva maupun pasiva, yang ditinggalkan oleh pewaris. Warisan ini biasa pula disebut budel.
4. Ahli Waris adalah mereka yang menerima warisan baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya.
5. Wasiat adalah surat yang dibuat oleh pewaris yang berisikan kehendaknya mengenai pengaturan warisan yang ditinggalkan.
Dalam wasiat hanya menyebutkan/menentukan bagian-bagian yang akan diberikan kpd ahli waris tetapi tdk menyebutkan barang apa yang akan diberikan.
6. Ahli waris ab intestato adalah mereka yg dipanggil sebagai ahli waris berdasarkan undang-undang.
7. Ahli waris testamenter (legataris) adalah mereka yang dipanggil sebagai ahli waris berdasarkan surat wasiat.
8. Hibah wasiat (legaat) adalah warisan yang diperuntukkan kepada legataris, jadi warisan atau barang yang akan diwarisnya disebutkan/ditentukan secara tegas telah ditentukan.
9. Pewarisan abintestato adalah peralihan warisan kepada ahli waris yang ditunjuk oleh undang-undang.
10. Legitimaris adalah ahli waris menurut undang-undang yang dijamin suatu bagian minimum dalam harta peninggalan.
11. Legitim portie adalah bagian tertentu dari warisan yg tidak dapat ditiadakan/ dihapus oleh Pewaris dan hanya khusus diperuntukan kepada legitimaris.

Yang dapat diwariskan hanyalah :
Hak atas harta kekayaan, baik yang berupa hak maupun kewajiban sepanjang yang berwujud harta benda dan dapat dinilai dengan uang termasuk hak kekayaan intelektual pewaris.

Yang tidak dapat diwariskan adalah:
- kedudukan atau jabatan.
- Hak dan kewajiban yang lahir dari hubungan hukum keluarga, kecuali atas hak ayah untuk menyangkali keabsahan anaknya atau hak anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak/ibunya.
- Kedudukan yang lahir dari perkawinan, kekuasaan orang tua.
- Hak menikmati hasil.
- Perjanjian kerja.
- Hak dan kewajiban yang berhubungan dengan pemberian nafkah.
Prinsip-prinsip pewarisan menurut BW, adalah :

Prinsip2 Hukum Waris menurut KUHP tersirat dalam :
1. Pada Prinsipnya berlaku pewarisan tanpa wasiat. (Pasal 874 BW)
Pasal 874 BW, yakni :
“Segala harta peninggalan seseorg yg meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.”

2. Prinsip Harus ada Kematian. Tidak ada pewarisan tanpa didahului dengan kematian (Pasal 830 BW)
Pasal Pasal 830 BW, yakni : “Pewarisan hanya terjadi karena kematian”.
Ini berarti tidak ada pewarisan tanpa didahului dgn kematian. Oleh karena itu warisan tdk dpt dituntut oleh Ahli warisnya selama pewaris masih hidup.

3. Prinsip keberadaan ahli waris (Pasal 831 KUHPerd), artinya org sudah harus ada pada saat warisan terbuka, kecuali anak yang berada dalam kandungan.
“Apabila beberapa orang antara mana yang satu adalah untuk menjadi waris yang lain, karena satu malapetaka yang sama atau pada hari yang sama telah menemui ajalnya, dengan tidak dapat diketahui siapakah kiranya yang mati terlebih dahulu, maka dianggaplah mereka telah meninggal dunia pada detik saat yang sama, dan perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain tidaklah berlangsung karenanya.” (Pasal 831 KUHPerd)

4. Prinsip Genealogis, yaitu yang pertama-tama berhak atas harta warisan adalah keluarga terdekat. (Pasal 832 BW)
“Menurut undang-undang, yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun tidak sah, maupun yang di luar kawin, dan suami atau isteri yang hidup terlama.

5. Azas Saisine adalah bahwa ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu juga bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.
Ini berarti ahli waris melanjutkan kedudukan Hak Pewaris (Pasal 833 : 1 BW)
“Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas
segala barang, segala hak dan segala piutang orang yang meninggal.”
Psl ini memperkuat sistem hukum waris seperti yg terlihat dalam Psl 874 BW.

6. Prinsip individualistis, yaitu ahli waris dapat menuntut pembagian warisan untuk mencegah adanya benda yang tersingkir akibat pengadilan hukum.
Hal ini tergambar dalam hak yang diberikan kepada ahli waris, yaitu :
a. Hak Hereditatis petitio, (yaitu ahli waris berhak mengajukan tuntutan hukum sehubungan dgn kedudukannya sebagai ahli waris kpd pihak ketiga baik yang juga sbg ahli waris maupun bukan yg menguasai sebagian warisan tanpa hak.) yang diatur dalam Pasal 834 BW, yaitu :

“Ahli waris berhak mengajukan gugatan utk memperoleh warisannya terhdp semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya. Dia boleh mengajukan gugatan itu untuk seluruh warisan bila ia adalah satu-satunya ahli waris, atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dgn alas hak apa pun ada dlm warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi, menurut peraturanperaturan yang termaktub dalam Bab III buku ini mengenai penuntutan kembali hak milik.”

b. yang diatur dalam Pasal 1066 BW, yang berbunyi sebagai berikut :
Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan di wajibkan menerima berlangsungnya harta eninggalan itu dalam keadaan tdk terbagi. Pemisahan harta peninggalan itu setiap waktu dapat dituntut, meskipun ada ketentuan yg bertentangan dgn itu. Akan tetapi dpt diada-kan persetujuan utk tdk melaksanakan pemisahan harta peninggalan itu selama wkt tertentu. Perjanjian demikian hanya mengikat utk lima tahun, tetapi tiap kali lewat jangka waktu itu perjanjian itu dapat diperbarui.
Jadi berdsrkan psl ini tiap ahli waris berhak menuntut diadakannya pembagi- an harta warisan. Tujuan penetapan prinsip ini adalah utk mencegah adanya benda-benda yang tersingkit dari pergaulan hukum.

7. Prinsip Penggantian atau Azas Substitusi, bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris, hak mewarisnya dapat diganti oleh keturunannya.
Prinsip ini dapat dijabaran dalam Pasal-Pasal tentang Penggatnian, yaitu Pasal 841 - 845 BW.
Pada Pasal 841 BW, bahwa :
“Penggantian memberikan hak kpd orang yg mengganti untuk bertindak sbg pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya.”

Pasal 842 BW  Penggantian boleh pada ahli waris golongan 1.
Pasal 843 BW  Penggantian tidak boleh pada ahli waris golongan 3 dan 4
Pasal 844 & 845 BW  Penggantian boleh pada ahli waris golongan 2.

8. Prinsip Kesamaan Hak dalam pewarisan antara jenis kelamin, maksudnya tidak ada pembedaan jenis kelamin pada pembagian warisan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 852 BW, yaitu :

9. Prinsip Ahli waris dalam garis lurus tidak dapat dicabut hak mewarisnya oleh pewaris. Prinsip ini dijabarkan dalam ketentuan Pasal 913 s/d 929 BW, yg mengatur ttg bgn mutlak atau bgn legitim anak serta keturunan mereka.
 Legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat. (Pasal 913 BW)
 Bagian Legitim ahli waris dalam golongan 1, yaitu : (Pasal 914 BW)
- apabila 1 orang anak, adalah 1/2 dari harta peninggalan yang sedianya akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian.
- apabila 2 orang anak, maka bgn masing2 anak adalah 2/3 bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.
- apabila 3 orang anak atau lebih, adalah 3/4 bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.
 Dlm garis ke atas, legitieme portie itu selalu sebesar 1/2 dari apa yg menurut UU menjadi bgn tiap2 keluarga sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian (Pasal 915 BW).
 Bagian Legitieme portie anak Luar kawin yang diakui sah, adalah :
½ dari bagian yang oleh UU sedianya diberikan kepada anak di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian. (Pasal 916 BW).

10. Hal-Hal yang dapat diwariskan ialah :
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban di lapangan hukum kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang.
Pengecualian terhadap prinsip ini adalah :
a. Hak memungut hasil (juga harta kekayaan)
b. Perjanjian perburuhan (Pasal 1240 BW), dimana pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi, perjanjian itu hanya mengenai para pihak saja.
c. Perjanjian perkongsian dagang, berbentuk Fa dan CV menurut BW. Karena perkongsian akan berakhir dengan kematian salah satu anggota/peseronya.
Jadi meskipun ketiga hak di atas terletak di lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan, namun hak itu tidak beralih kepada ahli waris pemilik hak tsb.


Hak Pilih Ahli Waris terhadap budel warisan yang terbuka, adalah :

1. Menerima warisan sepenuhnya.
Akibatnya jika ahli waris menyatakan keinginannya untuk menerima warisan maka ini berarti ia kehilangan haknya untuk menolak warisan. Ahli waris ini bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kewajiban-kewajiban yang melekat pada warisan artinya ahli waris harus menanggung segala utang-utang pewaris.

2. Menerima dengan bersyarat (penerimaan secara beneficiar), yaitu dengan mengadakan pencatatan/inventarisasi harta peninggalan dan utang-utang dan pelunasan utang-utang hanya ditanggung sebesar harta warisan yang diterima.
Akibat dari penerimaan sevara beneficiar adalah :
- Budel warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris.
- Meskipun ahli waris menjadi debitur terhadap utang-utang pewaris tetapi ia tidak dapat dituntut atau ditagih mengenai pembayaran utang-utang tersebut yang melebihi dari budel warisan.
- Ahli waris wajib mengurus serta mengatur segala hal yang berhubungan dengan warisan dan memberikan pertanggungan jawaban. Jika jumlah utang melebihi harta warisan maka dalam praktek ditempuh upaya meminta pernyataan pailit terhadap harta peninggalan.

3. Menolak warisan.
Ps. 1057 BW  Menolak warisan harus terjadi dengan tegas dan dilakukan dgn suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu.
Ps. 1047 BW  Penolakan warisan mulai berlaku sejak hari meninggalnya Pewa-ris, jadi berlaku surut.
Ahli waris yang telah menolak warisan tidak mengenal penggantian.

Kamis, 21 Juli 2011

UNSUR-UNSUR NEGARA

UNSUR-UNSUR NEGARA

Wilayah tertentu

Merupakan batas-batas dimana kekuasaan suatu negara berlaku

Rakyat

Merupakan sekumpulan orang-orang yang hidup di suatu tempat
Pemerintahan yang berdaulat

Ada 2 maknanya:
1) Arti luas, keseluruhan badan-badan negara dengan segala organisasinya bagian-bagiannya dan pejabat yang menjalankan negaranya, baik di pusat maupun di daerah, baik lembaga eksekutifnya, legislatifnya, dan yudikatifnya
2) Arti sempit, badan pimpinan yang memiliki peran untuk menentukan dan melaksanakan tugas negara

SIFAT DAN HAKEKAT NEGARA

 Sifat Negara :
1. Sifat Memaksa:
Negara mempunyai kekuasaan untuk memaksa (misalnya bayar pajak) dan memakai kekerasan fisik secara legal, seperti: polisi, tentara dan lain-lain
2. Sifat Monopoli:
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat dan melarang sebuah aliran yang tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh negara
3. Sifat Mencakup Semua:
Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara berlaku untuk semua orang tanpa kecuali

 Hakekat Negara
“Hakekat Negara” dimaksudkan sebagai penggambaran tentang “sifat” daripada negara. Negara sebagai wadah dari suatu bangsa yang diciptakan oleh negara itu sendiri. Negara sebagai wadah bangsa untuk mencapai suatu cita-cita atau tujuan bangsanya. Karena itu penggambaran tentang hakekat negara selalu dihubungkan dengan tujuan negara. Tujuan negara merupakan kepentingan utama dari tatanan suatu negara.

PENGERTIAN NEGARA

PENGERTIAN NEGARA

Negara adalah organisasi tertinggi yang dijalankan bersama oleh pemerintah dan rakyat dalam wilayah tertentu, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
NEGARA MENURUT TRIUMFILSUF
SOCRATES
Negara adalah polis atau tempat bersemayamnya masyarakat (warga)
PLATO (429-347 SM)
Negara adalah polis, maksudnya kesatuan masyarakat yang bekerja sama antarmanusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
ARISTOTELES (384-322 SM)
Negara adalah gabungan keluarga sehingga menjadi kelompok besar yang bertujuan untuk memakmurkan warganya

Penjelasan Atas UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Penjelasan Atas UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
________________________________________
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

I. UMUM

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti :
a. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undangundang;
b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
d. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
e. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
f. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
g. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
h. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
i. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
l. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
n. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
o. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
p. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
q. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
r. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
s. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
t. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undangNomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undangundang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 2
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Angka 3
Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.

Angka 9
Lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Angka 11
Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional.
Pasal 2
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkansecara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalampenggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pasal 4
Huruf g
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.
Pasal 7
Huruf c
Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.

Huruf e
Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
Pasal 8
Huruf g
Jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata best before yang biasa digunakan dalam label produk makanan.
Huruf j
ayat (1)
Barang-barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
ayat (3)
Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ayat (4)
Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran.
Pasal 11
Huruf d
Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.
Pasal 18
ayat (1)
Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Pasal 22
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.
Pasal 27
Huruf b
Cacat timbul dikemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standarisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak.
Huruf e
Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.
Pasal 30
ayat (2)
Yang dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya.
ayat (3)
Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
Pasal 34
Huruf e
Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism)
Pasal 35
ayat (1)
Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama
Pasal 36
Huruf d
Akademisi adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi.
Huruf e
Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 38
Huruf d
Sakit secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya.
Pasal 40
ayat (2)
Yang dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 41
Yang dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 44
ayat (1)
Yang dimaksud dengan memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 45
ayat (2)
Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 46
Huruf b
Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Huruf d
Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen.
Pasal 47
Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Pasal 49
ayat (3)
Unsur konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau sekelompok konsumen.
Pasal 54
ayat (3)
Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3821
- Puisi Soe Hok Gie
Author: Tokoh Indonesia // Category: Soe Hok Gie
Photobucket

Sebuah Tanya
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

Soe Hok Gie
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa”

MANDALAWANGI PANGRANGO
Sendja ini, ketika matahari turun kedalam djurang2mu
Aku datang kembali
Kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu.
Walaupun setiap orang berbitjara tentang manfaat dan guna
Aku bitjara padamu tentang tjinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku.
Aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi
Sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin dan kebisuan menjelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bitjara padaku tentang kehampaan semua.
“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi jang tanda tanja
“Tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
“Terimalah dan hadapilah.”
Dan antara ransel2 kosong dan api unggun jang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 djurangmu.
Aku tjinta padamu Pangrango
Karena aku tjinta pada keberanian hidup
Djakarta, 19-7-1966

Pesan
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Sinar Harapan 18 Agustus 1973
Photobucket

Masyarakat Borjuis
ditulis saat Soe Hok Gie berumur 18 thn.

Ada suatu yang patut ditangisi
Aku kira kau pun tahu
Masyarakatmu, masyarakat borjuis
Tiada kebenaran disana
Dan kalian selalu menghindarinya

Aku selalu serukan (dalam hati tentu)
”Wahai, kaum proletar sedunia”
Berdoalah untuk masyarakat borjuis.

Ada golongan yang tercampak dari kebenaran
Dan berdiri atas nilai kepalsuan
Aku kira, tiada bahagia disana
Sebab tiada kasih, kebenaran dan keindahan
Dalam kepalsuan
Aku akan selalu berdoa baginya
(aku sendiri tak percaya pada doa, maaf)

Aku kira anda tiada kenal kasih
(Nafsu tentu ada)
Apakah bernilai dengan uang
Dan padamu, kawan
Semua adalah uang, perhitungan saldo
Tiada yang indah dalam kepalsuan
(Engkau tentu yakin?)
Di sinilah a moral ditutup oleh a moral
Di sinilah tabir-tabir yang terlihat
Dan seringkali aku bersepeda sore-sore
Bertemu dengan gadismu (borjuis pula)
Aku begitu sedih dan kasih
Aku begitu sedih dan kasih
Ya, Tuhan (aku tak percaya Tuhan)
Berilah mereka kebenaran
Aku tahu
Gadis cantik di mobil, bergaun abu-abu
Tapi bagiku tiada apa.


Sumber : http://kapasmerah.wordpress.com/
Sumber : http://dymasgalih.wordpress.com/
Sumber : http://ekohm.multiply.com/
Puisi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Menimbang :

1) bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang;
2) bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana dimaksud pada huruf a telah diatur dalam Bab VIII UUD 1945;
3) bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang;
4) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-undang tentang Keuangan Negara;

Mengingat :

Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pasal 2

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :

1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.
2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan Negara;
4. Pengeluaran Negara;
5. Penerimaan Daerah;
6. Pengeluaran Daerah;
7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pasal 3

1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.

3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.

6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.

7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.

8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.

Pasal 4

Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

Pasal 5

1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD adalah mata uang Rupiah.
2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai de- ngan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.

BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 6

1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :

1. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
2. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
3. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
4. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 7

1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.

2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD.

Pasal 8

Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut :

a. menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b. menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e. melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
f. melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h. melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pasal 9

Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut :

1. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
2. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran
3. melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
4. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara
5. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
6. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
7. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
8. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pasal 10

1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c :

1. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD;
2. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.

2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut :

1. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
2. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
3. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
4. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
5. menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan APBD.


3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:

1. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
2. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
3. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
4. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
5. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
6. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
7. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.

BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN
Pasal 11

1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang- undang.
2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelak- sanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.

Pasal 12

1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 13

1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.

Pasal 14

1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya.
2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15

1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya
2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN
4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilak- sanakan.
5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD

Pasal 16

1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah
2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.

Pasal 17

1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.
2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.

Pasal 18

1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Pasal 19


1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya.
2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 20

1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.
2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING

Pasal 21

Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.

Pasal 22

1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya.
3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain dengan persetujuan DPRD.

Pasal 23

1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.
2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diteruspinjam-kan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah.
BAB VI

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT

Pasal 24

1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.
2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah.
5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR.
6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.
7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.

Pasal 25

1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.
2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.

BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26

1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

Pasal 27

1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah Pusat.
3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :

1. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
2. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
3. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
4. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Pasal 28

1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah.
3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :

1. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD
2. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
3. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia angga- rannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun angga- ran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk menda- patkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Pasal 29

Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.

BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD
Pasal 30

1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.

Pasal 31

1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Peme- riksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.

Pasal 32

1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 33

Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang tersendiri.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF,
DAN GANTI RUGI
Pasal 34

1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 35

1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang mengenai perbendaharaan negara.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 36
1) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
2) Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah, demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/ pemerintah daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37

Pada saat berlakunya undang-undang ini :

1) Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);
2) Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445;
3) Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381;

sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 38

Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Pasal 39

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
RAY PRATAMA SIADARI S.H.,M.H.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.

---------------------------------------------

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 47

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA

1. UMUM


1. Dasar Pemikiran

Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara.

Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan undang-undang.

Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan ketentuan perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968, yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang- undangan tersebut tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.

Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara.

Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara telah dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu, penyelesaian Undang-undang tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

2. Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam Ketentuan Pengelolaan Keuangan Negara yang Diatur dalam Undang-undang ini

Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.

Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional.

3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara

Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

4. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :

• akuntabilitas berorientasi pada hasil;
• profesionalitas;
• proporsionalitas;
• keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
• pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.

Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.

6. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD

Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran.

Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.

Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.

Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.

Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.

Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.

7. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat

Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan lembaga-lembaga infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta dan badan pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undang-undang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.

8. Pelaksanaan APBN dan APBD

Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.

Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.

Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian negara/ lembaga di lingkungan pemerintah.

9. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara

Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.

Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggung-jawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.

Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.

Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.



PASAL DEMI PASAL

Pasal 3 Ayat (1)

Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban.

Ayat (4)

Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.

Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.

Pasal 6 Ayat (1)

Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.

Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan Penerimaan Negara.

Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.

Ayat (2) Huruf b

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.

Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan lembaga yang bersangkutan

Pasal 9 Huruf e

Piutang dimaksud dalam ayat ini adalah hak negara dalam rangka penerimaan negara bukan pajak yang pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.

Utang dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan tanggung jawab kementerian negara/lembaga berkaitan sebagai unit pengguna anggaran dan/atau kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan undang-undang/keputusan pengadilan.

Huruf g

Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.

Pasal 11 Ayat (5)

Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.

Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.

Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Pasal 12 Ayat (1)

Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Ayat (3)

Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.

Ayat (4)

Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertang-gungjawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.

Pasal 15 Ayat (3)

Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.

Pasal 16 Ayat (4)

Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah.

Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial.

Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.

Pasal 17 Ayat (1)

Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.

Ayat (3)

Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan.

Ayat (4)

Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.

Pasal 20 Ayat (3)

Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.

Pasal 22 Ayat (2)

Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.

Pasal 23 Ayat (2)

Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.

Pasal 24 Ayat (1)

Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.

Pasal 25 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan badan pengelola dana masyarakat dalam ayat ini tidak termasuk perusahaan jasa keuangan yang telah diatur dalam aturan tersendiri.

Pasal 27 Ayat (4)

Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan.

Pasal 28 Ayat (4)

Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.

Pasal 30 Ayat (1)

Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat.

Ayat (2)

Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian negara/lembaga.

Pasal 31 Ayat (1)

Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Daerah.

Ayat (2)

Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.

Pasal 32 Ayat (2)

Apabila dalam waktu 2 (dua) bulan tidak memberikan pertimbangan yang diminta, Badan Pemeriksa Keuangan dianggap menyetujui sepenuhnya standar akuntansi pemerintahan yang diajukan oleh Pemerintah.

Pasal 34 Ayat (1)

Kebijakan yang dimaksud dalam ayat ini tercermin pada manfaat/hasil yang harus dicapai dengan pelaksanaan fungsi dan program kementerian negara/lembaga/pemerintahan daerah yang bersangkutan.

Pasal 38

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Undang-undang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun. Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya Undang-undang ini dan sudah selesai dalam waktu 2 (dua) tahun.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4286