Phinisi Mengarungi tiada akhir

Selasa, 19 Juli 2011

MASYARAKAT HUKUM ADAT


MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pengertian Masyarakat hukum adat

Oleh Ter Haar dalam bukunya “Beginselen en stelsel van het adatrecht”. 1939 : 12 -14 (Soepomo, 1977 : 49) menyebutkan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan yang demikian yang bersifat persekutuan hukum.
Misalnya :
Famili di Minangkabau adalah suatu persekutuan hukum
Diketuai oleh seorang Penghulu Andiko. Terdiri beberapa jurai/rumah dan dikepalai oleh seorang Tungganai/Mamak kepala Waris. Mempunyai harta pusaka yang diurus oleh penghulu andiko dan mempunyai gelar famili. Jika anggotanya menjadi lebih besar kemungkinan famili itu terpecah menjadi beberapa bagian dan kalau ada yang berkelakuan jahat dibuang dari lingkungan famili.

Patrilineal.
Kedudukan Janda.
Dalam masyarakat adapt yang bersistem Patrilineal kedudukan janda bukanlah ahli waris, akan tetapi berdasarkan putusan MARI tanggal 17 Januari 1959 No.320K/Sip/1968 menyatkan bahwa menurut hokum adapt diTapanuli Bahwa :
- Siistri dpt mewaris harta pencaharian dari sang suami yang meninggal dunia.
- Anak yang belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibunya.
- Karena anak berada dalam pengampuan ibunya, maka harta kekayaan anak dikuasai oleh ibunya.

Dalam putusan MARI tgl 25 oktober 1958 No. 54K/Sip/1958 menyatakan bahwa “menurut hk adapt batak segala harta yang timbul dalam perkawinan adalah milik suami, tetapi istri mempunyai hak pakai seumur hidup dari harta suaminya, selama harta itu diperluka buat penghidupannya.

Jadi kesimpulannya dalam mayarakat adapt bersistem Patrilineal janda bukan ahli waris dari suaminya, melainkan ia hanya berhak mengurus, dan menikmati harta peninggalan suaminya untuk keperluan hidupnya, janda tersebut dimungkinkan untuk mewaris harta pencaharian suaminya untuk mengurus dan memelihara anak-anaknya. Sedangkan terhadap harta pusaka janda bukan sebagai ahli waris suaminya.
Kedudukan bapak, paman, saudara
1. anak laki2, jika tdk ada,
2. anak perempuan, atau mengangkat anak laki2, jika tdk ada
3. ayah dan ibu, jika tdk ada,
4. paman yg lbh tua, baru kemudian paman yang muda, jika tdk ada,
5. maka ditampilkan penggantinya yaitu saudara2 dari keturunan paman dan lainnya.
Pada masyarkat Batak Karo :
1. anak laki2
2. anak angkat,
3. ayah dan ibu serta saudara2 sekandung dari pewaris,
4. keluarga terdekat dlm derajat tdk tertentu.
5. persekutuan adat
pada masyarakat Batak Angkola/Sipirok, Mandailing dan Padang Lawas :
1. anak turunan lelaki dari pewaris
2. bapak pewaris
3. saudara laki2 dari pewaris
4. nenek laki2 dari bapaknya pewaris
5. saudara laki2 dari bapaknya pewaris
6. ripe, yaitu orang-orang yang semoyang dan semarga dari pewaris serta sehuta dengan pewaris
7. Huta (desa).

Keluarga Jawa tidak bersifat persekutuan hukum, setelah anaknya mencar membentuk keluarga baru dan karena perceraian, keluarga itu akan bubar.
Desa di Jawa adalah suatu persekutuan hukum karena terdiri dari suatu golongan manusia, mempunyai tata susunan tetap, mempunyai pengurus, mempunyai wilayah dan harta benda, bertindak sebagai suatu kesatuan kedalam dan keluar dan tidak mungkin desa itu dibubarkan.
Sekarang desa terutama kelurahan bukan lagi merupakan suatu persekutuan hukum karena hanya merupakan daerah administratif belaka

Persekutuan hukum
Persekutuan-persekutuan hukum Indonesia dapat dibagi atas tiga golongan menurut dasar susunannya :
1. Yang berdasar pertalian darah (geneologis)
2. Yang berdasar lingkungan daearah (teritorial)
3. Yang berdasar geneologis dan teritorial

1. Faktor geneologis
Ada 3 macam dasar pertalian keturunan yaitu :
a. Patrilineal, terdapat pada orang Batak, Nias, Ambon, Bali
b. Matrilineal, terdapat pada misalnya, Famili di Minangkabau
c. Parental, misalnya orang-orang Jawa, Aceh, Kalimantan, Sulawesi
2. Faktor teritorial
Persekutuan hukum berdasar lingkungan daerah dapat dibagi dalam 3 jenis :
1. Persekutuan Desa, misalnya Desa di Jawa dan di Bali
2. Persekutuan Daerah, misalnya Kuria di angkola dan Mandailing yang mempunyai huta-huta di dalam daerah, serta marga di Sumatera Selatan dengan dusun-dusunnya
3. Perserikatan beberapa Desa, misalnya Subak di Bali, Perserikatan huta-huta di Batak

3. Faktor geneologis dan teritorial
Ada 5 jenis dan mempunyai corak sendiri-sendiri
Tiap daerah hanya didiami oleh satu bagian golongan (clan) terdapat di pulau-pulau Enggano, Buru, Seram dan Flores. Di tepi laut terbaur penduduknya berdasar atas beberapa famili yang telah memisahkan diri dari golongan (clan) di pedalaman.
Di daearh pedalaman Irian Barat ada clan yang bernama Kanguru, Kauverawet dsb, dan di tepi laut berdiam golongan kecil yang disebut Keret yang berdiri sendiri dan masing-masing mendiami tanah tertentu yang berada di dalam daerah kampong yang dikepalai oleh kepala kampong (korano)
Jenis yang ke 5 terdapat nagari-nagari lain di Minangkabau dan dusun di Rejang (Bengkulu), Dalam suatu nagari atau dusun berdiam beberapa bagian clan yang satu dengan yang lain tidak bertalian famili. Seluruh daerah nagari dan dusun menjadi daerah bersama (yang tidak dibagi-bagi) dari segala bagian clan pada badan persekutuan nagari (dusun) itu.
Menurut Ter Haar (idem : 37, 38) bahwa di daerah Kalimantan terdapat pertumbuhan susunan rakyat dari jenis susunan yang bersifat geneologis makin ke pantai bertumbuh susunan rakyat yang bersifat geneologis teritorial dan sampai di daerah muara sungai terdapat persekutuan hukum kampung yang hanya bersifat teritorial belaka yang penduduknya mempunyai kedudukan sama dengan yang berdiam lebih dahulu.
Perihal di Jawa yang bersifat teritorial tidak diketahui apakah proses pertumbuhannya di waktu lampau sama dengan di Kalimantan.

PENGARUH EKSTERN TERHADAP STRUKTUR DAN ORGANISASI MASYARAKAT HUKUM ADAT

Menurut Soepomo dan Surojo Wignjodipuro bahwa pengaruh ekstern terhadap struktur dan organisasi masyarakat hukum adat karena :
• Pada masa lampau tata susunan serta suasana di dalam masyarakat desa berdasarkan pada adat istiadat
• Kemudian mengalami perubahan kerena pengaruh (ekstern) tata administrasi
• Baik pada masa kerajaan Hindia Belanda maupun pada masa Republik

1. Pada masa kerajaan
Para raja bersemayam di ibukota,sekitar raja adalah famili raja dan para pegawai kerajaan Mereka ini diberi penghasilan menurut sistem apanage yaitu diberi kekayaan atas suatu lingkungan (lungguh),untuk menarik penghasilan, sedangkan Raja ssendiri menarik pajak dari lungguh tersebut
Pemerintah Desa bersifat berdiri sendiri (otonom) namun wajib membayar pajak dan menyerahkan tenaga kerja untuk keperluan kerajaan

Desa-desa disekelilingi kota mengalami banyak perubahan karena :
a. Penggantian kepala desa dengan seorang pegawai kerajaan
b. Tanah Desa diambil dan diurus oleh pagawai kerajaan
c. Dalam pemberian Pilungguh kepada famili Raja atau pegawai kerajaan, tidak diperhatikan sama sekali batas-batas desa bersangkutan
Pengaruh yang merusak tata susunan kehidupan di desa demikian itu terdapat di :
Jawa (kerajaan Mataram), kerajaan di Lombok, Bali, Kesultanan Aceh, Palembang, Jambi, Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, Ternate, dan Tidore
Desa-desa yang letaknya jauh dari kerajaan justru menguntungkan karena memperkokoh persekutuan Desa.

2. pada masa pemerintah Hindia Belanda
`Tata administrasi pada masa kerajaan diganti dengan tata administrasi pemerintah kolonial Belanda, yaitu :
a. Yang merusak misalnya;
Di kota Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar, dll. Persekutuan Desa lenyap
b. Di luar kota besar desa tetap diwajibkan untuk membayar pajak dan menyerahkan tenaga sebaimana pada masa kerajaan bahkan lebih berat lagi, misalnya : Heerendiensten dan cultuurdiensten.

Namun disamping itu politik pemerintah kolonial Belanda memberi kesempatan kepada hukum adat untuk berkembang dengan dikeluarkannya :
MARGA ORDONANSI STB. 1931 NO.6 DAN DESA ORDONANSI STB.1941 NO. 356, Peradilan Desa dan kekuasaan diberikan kepada Hakim Perdamaian Desa (pasal 3 a RO), dan tetap berlaku setelah kemerdekaan dengan UU darurat No. 1 Tahun 1951

3. Pada masa Rebublik Indonesia
Masalah tata administrasi pemerintahan khususnya pemerintahan daerah, desa, marga, nagari, tetap merupakan daerah otonom
Pengadilan Desa tetap dihormati dalam UU darurat no. 1 tahun 1951
Pengaruh moderen mempengaruhi pula hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Sebagaimana yang dikatakan Soepomo pada pidato Dies Natalis 17 Maret 1947 di Yogyakarta :
“Pembangunan negara Indonesia berarti pembentukan negara moderen, pembentukan UU moderen. Pengadilan yang demokrasi yang sehat, tidak terkecuali desa-desa, dan persekutuan hukum adat lainnya, semua harus disesuaikan dengan cita-cita moderen yang kita idam-idamkan.
Dalam proses modernisasi tersebut tidak perlu kita buang semua aliran Timur sebagaimana bangsa Timur yang mempunyai jiwa dan kebudayaan Timur, harus membawa kedua aliran tersebut bersama-sama kearah kesatuan yang harmonis”.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar