Phinisi Mengarungi tiada akhir

Rabu, 20 Juli 2011

HAK ASASI MANUSIA (HAM) INTERNASIONAL (Generasi genersi HAM dan Bentuk bentuk HAM)

Tugas II

Generasi generasi perkembangan Hak Asasi Manusia (HAM) dan bentuk bentuk HAM

Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dapat dibagi pada empat generasi. Yaitu antara lain:

Generasi pertama, Liberté: Hak Sipil Politik berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik, berdasarkan prinsip kebebasan dan ditujukan pada eksistensi insan pribadi dan kemungkinan perkembangannya. Secara lebih spesifik konsep hak asasi pertama ini lebih bernuansa hukum, antara lain mendapatkan peradilan yang adil dan tidak memihak, hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang, dan lain-lain.

Generasi pertama, hak sipil politik muncul pada abad 17 hingga 18 melalui teori-teori kaum reformist yang berkaitan erat dengan revolusi-revolusi di Inggris, Amerika dan Perancis. Dimulai dengan filosofi politik tentang kebebasan individu dan hubungan ekonomi serta doktrin sosial “laissez-faire” (sebuah doktrin yang menentang campurtangan pemerintah dalam masalah ekonomi selain kepentingan untuk memperbaiki perdamaian dan hak kepemilikan). Generasi pertama ini lebih menempatkan hak asasi manusia dalam terminologi negatif (freedoms from) daripada sesuatu yang positif (rights to). Kepemilikan bagi generasi pertama ini adalah hak-hak sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 -21 Dekalarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang mana termasuk didalamnya adalah bebas dari diskriminasi gender, ras, dan bentuk-bentuk diskriminasi lainya hak untuk hidup, bebas dan merasa aman; bebas dari perbudakan atau perbudakan tanpa disengaja, bebas dari penyiksaan dan kekejaman yang tidak manusiawi; penangkapan dan pengasingan yang sewenang-wenang, hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil; bebas dari campurtangan dalam hal-hal pribadi; bebas untuk berpindah dan menetap; hak untuk mendapatkan perlakuan yang layak pasca penyiksaan, bebas untuk berpikir, berpendapat dan beragama; kebebasan untuk beropini dan berekspresi; kebebasan untuk mendapatkan ketenangan dan berserikat; dan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung atau melalui pemilihan yang bebas. Juga didalamnya adalah hak untuk memiliki kekayaan hak milik. Hak dasar inilah yang di perjuangkan pada saat revolusi Amerika dan Perancis dan yang mengilhami kebangkitan kapitalisme.

Namun akan salah bila kita menyatakan hak-hak tersebut dan hak generasi pertama lainnya merupakan ide “negative” semata seperti dipertentangkan dengan hak “positive.” Hak merasa aman, untuk mendapatkan pengadilan yang adil, untuk mendapatkan suaka atau perlindungan karena penyiksaan dan pemilihan yang bebas, sebagai contoh, tidak bisa diwujudkan tanpa tindakan nyata dari pemerintah. Konsep generasi pertama ini adalah harapan kebebasan, sebuah perlindungan yang melindungi seseorang, baik secara individu maupun dalam sebuah perserikatan dengan lainnya terhadap penyalahgunaan otoritas politik. Inilah pokok pikirannya. Yang ditonjolkan oleh konstitusi di hampir semua negara di dunia dan diadopsi oleh mayoritas kovenan dan deklarasi internasional sejak PD II, merupakan konsep dasar liberal barat tentang hak asasi manusia yang kadang-kadang dibuat dengan sentuhan romantisme yang mengetengahkan suatu kejayaan individualisme alaThomas Hobe dan John Locke terhadap statisme Hegelian.

Generasi kedua, Égalité : Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis, melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran generasi kedua menunjukkan perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Akan tetapi pada generasi kedua ini pula, hak yuridis kurang mendapat penekanan, sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial budaya, hak ekonomi dan politik.
Generasi kedua, hak ekonomi, sosial dan budaya berasal dari tradisi sosialis, yang telah dibayangkan oleh para penganut paham pergerakan Saint-Simonian di perancis pada awal abad 19 dan di promosikan dengan cara yang berbeda-beda melalui perjuangan-perjuangan revolusioner dan pergerakan kesejahteraan yang telah terjadi sejak saat itu. Hal ini, sebagian besar, merupakan suatu response terhadap penyalahgunaan perkembangan kapitalis dan konsepnya yang tidak kritis secara esensi mengenai kebebasan individu yang mentolerir dan bahkan meligitimasi ekploitasi kelas pekerja. Sejarah memperlihatkan bahwa hal ini merupakan ”counterpoint” terhadap generasi pertama akan hak sipil dan politik dimana mereka memandang hak asasi manusia lebih pada terminologi yang positif (hak untuk) dari pada terminologi negatif (bebas dari) dan mengharuskan lebih banyak intervensi negara untuk menjamin produksi yang adil dan distribusi nilai-nilai atau kemampuan yang ada. Ilustrasi dari beberapa hak-hak tersebut dijelaskan dalam pasal 22-27 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia seperti hak akan keamanan social, hak untuk bekerja dan hak perlindungan terhadap ketidakadaan pekerjaan, hak untuk mendapat standar hidup yang cukup untuk kesehatan dan kesehjateraan diri sendiri dan keluarga, hak untuk pendidikan dan hak untuk perlindungan terhadap hasil karya ilmiah, sastra dan seni.

Oleh sebab itu dengan cara yang sama kita tidak bisa mengatakan bahwa semua hak yang diangkat oleh masyarakat generasi pertama dalam hak sipil dan hak politik tidak dapat di dipandang sebagai “hak-hak negative” dan sebaliknya semua hak yang dianut generasi kedua dalam hak ekonomi, social dan budaya tidak bisa dilabel “hak-hak positif.” Sebagai contoh, hak memilih pekerjaan, hak untuk membentuk dan bergabung dengan kumpulan dagang, hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya masyarakat (pasal 23 dan 27) tidak harus mewajibkan tindakan nyata dari Negara guna menjamin ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Meskipun demikian, sebagian besar hak generasi kedua mengharuskan intervensi negara sebab hak tersebut menyangkut harapan akan materi dari pada barang-barang yang bersifat tidak nampak (non materi). Secara fundamental hak generasi kedua diklaim sebagai kesetaraan social. Akan tetapi, karena keterlambatan munculnya, socialist-komunist dan pengaruh “Dunia Ketiga” yang sesuai dengan masalah2 internasional, penginternasionalisasikan hak-hak ini relative lambat muncul. Dan dengan kekuatan kapitalisme pasar bebas yang menggunakan ”bendera” globalisasi pada awal abad 21, maka belum terlihat hak-hak keadilan tesebut akan muncul dengan segera pada waktu ini. Sebaliknya, dengan semakin jelas ketidak adilan sosial yang diciptakan oleh kapitalisme nasional dan transnasional yang bebas dan tidak ada pertanggung jawaban melalui penjelasan-penjelasan gender atau ras, maka mungkin harapan untuk hak-hak generasi kedua akan bertumbuh dan menjadi matang. Kecenderungan ini sudah jelas dengan berkembangnya Uni Eropa dan usaha-usaha yang lebih luas untuk meregulasi institusi keuangan interpemerintah dan Korporasi transnational guna melindungi kepentingan public.

Generasi ketiga, Fraternité: Hak Solidaritas sebagai reaksi pemikiran sebelumnya. Generasi ini menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum alam dalam satu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (The Rights Of Developement). Generasi ketiga juga merumuskan HAM sebagai hak bangsa-bangsa yang memperoleh dasar dari solidaritas bangsa-bangsa. Dalam pelaksanaannya, ternyata hasil pemikiran generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan antara penekanan hak ekonomi dan hak-hak lain yang menjadi terabaikan.Generasi ketiga dikenal sebagai Fraternite.

Akhirnya, generasi ketiga yang mengusung hak solidaritas, dengan menarik inti dari dan menkonseptualkan kembali harapan-harapan dari dua generasi hak sebelumnya, perlu dimengerti sebagai suatu produk yang muncul dari kebangkitan dan kemunduran nation-state dalam pertengahan abad 20 terakhir.

Bersandar pada pasal 28 Deklarasi HAM yang menegaskan “setiap orang berhak atas tatanan sosial dan internasional” yang mana hak tersebut diangkat dalam deklarasi ini untuk dapat diwujudkan secara penuh, generasi ini muncul untuk mengangkat dan memperjuangkan enam hak yang di klaim oleh kedua generasi sebelumnya.

Tiga dari hak-hak ini mencerminkan munculnya nasionalisme Dunia Ketiga dan revolusinya dalam mengangkat harapan-harapan (misalnya harapan untuk suatu pembagian kembali kekuasaan, kekayaan, dan nilai dan kemampuan penting lainnya): hak atas politik, economy, social, dan penentuan sendiri secara budaya, hak untuk perkembangan social dan hak untuk turut berpatisipasi dan merasakan manfaat dari “warisan untuk manusia. Tiga hak lain dari generasi ketiga adalah: hak untuk perdamaian, hak untuk lingkungan yang sehat dan berkelanjutan, hak untuk memperoleh bantuan kemanusiaan bencana.

Semua enam hak ini cenderung dianggap sebagai hak kolekti yaitu menghendaki usaha-usaha bersama dan intensif dari semua kekuatan sosial. Akan tetapi, masing-masing dari ini juga mencerminkan dimensi individu. Maksudnya adalah meskipun dikatakan bahwa hak tersebut merupakan hak kolektif semua bangsa dan masyarakat (khususnya Negara-negara berkembang dan masyarakat yang masih bergantung) untuk menjamin sebuah tatanan ekonomi internasional baru yang akan menghilangkan halangan-halangan bagi pembangunan economy dan social mereka, ini juga bisa dikatakan merupakan hak individu setiap orang yang turut merasakan manfaat dari kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kepuasaan materi dan kebutuhan non materi lainya. Penting juga dikatakan bahwa mayoritas dari hak solidaritas ini adalah lebih bersifat aspiratif dan statusnya sebagai norma hak asasi manusia secara internasional masih tidak ambigiu.
Dengan demikian, dalam berbagai tahap sejarah modern, isi dari hak asasi manusia telah di defenisikan secara luas dengan harapan bahwa hak yang dianut oleh setiap generasi perlu saling mengisi bukan dibuang dan digantikan yang lain. Isi dari sejarah hak manusia mencerminkan suatu persepsi yang berkembang dari suatu tatanan nilai-nilai telah dipupuk yang mengharapkan adanya suatu keberlanjutan demi kestabilan manusia.
`Setelah banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemikiran HAM generasi ketiga, lahirlah generasi keempat.


Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak negatif pada aspek kesejahteraan rakyat. Pemikiran generasi keempat dapat dilihat dalam Declaration of The Basic Duties of Asia Fasific and Government (1983).

Deklarasi tersebut memuat beberapa masalah penting, sebagai berikut:

1. Pembangunan berdikari (Self Development). Yakni pembangunan yang membebaskan rakyat dan bangsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan kepada rakyat sumber-sumber daya sosial-ekonomi.

2. Perdamaian. Dalam hal ini bukan semata-mata berarti anti perang, anti nuklir dan anti perang bintang. Tetapi justru bagaimana melepaskan diri dari budaya kekerasan (Culture of Violence) dan menciptakan budaya damai (Culture Of Peace).

3. Partisipasi rakyat. Artinya hak asasi manusia bukanlah tanggung jawab sepihak, melainkan menuntut partisipasi seluruh elemen masyarakat.

4. Hak-hak budaya. Adanya upaya dan kebijaksanaan penyeragaman merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi berbudaya, karena mengarah ke penghapusan kemajemukan budaya (multikulturalisme) yang seharusnya menjadi identitas kekayaan suatu komunitas warga dan bangsa.

5. Hak keadilan sosial. Sebagai realisasinya, keadilan sosial tidak saja berhenti dengan menaiknya pendapatan perkapita, mellainkan terus berkelanjutan pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Bentuk bentuk HAM
Prof. Bagir Manan membagi HAM pada beberapa kategori, yaitu: hak sipil, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama di muka hukum, hak bebas dari kekerasan, hak bagi kelompok anggota masyarakat tertentu, dan hak hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, da hak menyampaikan pendapat di muma umum. Hak ekonomi terdiri dari hak jaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan, dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial-udaya terdiri dari hak memperoleh pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan, dan hak memeperoleh perumahan dan pemukiman.

Sejalan dengan itu, Prof. Baharuddin Lopa membagi beberapa jenis HAM, yaitu: hak persamaan dan kebebasan, hak hidup, hak memeproleh perlindungan, hak penghormatan pribadi, hak menikah dan berkeluarga, hak wanita sederajat dengan pria, hak anak dari orang tua, hak memperoleh pendidikan, hak beragama, hak bebas bertindak dan mencari suaka, hak untuk bekerja, hak meeproleh kesempatan yang sama, hak milik pribadi, hak menikmati hasil/produk ilmu, dan hak tahanan dan narapidana.
Dalam deklarasi universal tentang HAM (Universal Declaration Of Human Rights) atau DUHAM, hak asasi manusia terbagi dalam beberapa jenis, yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak jaminan sumber daya untuk menunjang kehidupan), serta hak ekonomi, sosial dan budaya.
Selanjutnya, secara operasional dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, ada beberapa bentuk:
1. Hak untuk hidup;
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
3. Hak mengembangkan diri;
4. Hak memperoleh keadilan;
5. Hak atas kebebasan pribadi;
6. Hak atas rasa aman;
7. Hak atas kesejahteraan;
8. Hak turut serta dalam pemerintahan;
9. Hak wanita; dan
10. Hak anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar