Phinisi Mengarungi tiada akhir

Rabu, 20 Juli 2011

HAK ULAYAT MASYARAKAT
DALAM KETENTUAN HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR (HP3)

Oleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM. dan Dinah Yunitawati, S.T.


Kearifan lokal yang berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan
Hak Ulayat, didefinisikan sebagai "kewenangan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumberdaya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan
hidupnya dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan".

Hak ulayat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda,
merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang
meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat
hukum adat tertentu yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.
Hak ulayat mengandung 2 (dua) unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum
perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula
sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu
kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta
lingkungan hidup (lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur
kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola
dan mengatur peruntukkan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut,
baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri, maupun ekstern
dengan orang-orang bukan warga atau orang luar.

Yang juga perlu disamakan pengertiannya adalah tentang masyarakat hukum adat
dan tanah ulayat. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum
karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.Tanah ulayat
adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat
hukum adat tertentu.

Subyek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik yang merupakan
persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal
(territorial), maupun yang didasarkan pada keturunan (genealogis) yang
dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya
suku, marga, dati, dusun, nagari, dan sebagainya. Apabila orang yang
seakan-akan merupakan subyek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua
atau tetua adat yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subyek
hak ulayat, melainkan petugas masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan
kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.

Dalam rangka hak ulayat tersebut, para masyarakat hukum adat yang
bersangkutan berhak untuk menguasai dan menggunakan bagian-bagian tanah
bersama itu secara individual, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
warga yang lain dengan hak-hak atas tanah yang sifatnya pribadi. Hak
penguasaan individual itu bersifat pribadi, karena tanah yang dikuasai
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Hak-hak
perorangan tersebut ada yang sifatnya sementara, ada pula yang karena
tingkat intensitas penguasaan dan penggunaannya berkembang menjadi hak
pribadi yang kuat, tidak terbatas jangka waktu berlakunya dan dapat pula
dipindahkan kepada warga yang lain. Ada pengaruh timbal balik antara
kekuatan hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak-hak pribadi para warganya.


Pengakuan Hak Ulayat Laut
Hak ulayat merupakan bagian dari konsepsi hukum adat tentang hak-hak atas
tanah dan air. Hukum adat dirumuskan sebagai konsepsi yang "komunalistik",
religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan
hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur
kebersamaan" (Boedi Harsono, 1997). Hak ulayat memiliki paling sedikit 3
unsur pokok, yaitu:
1. Masyarakat hukum sebagai subjek hak ulayat;
2. Institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas
hak ulayat;
3. Wilayah yang merupakan objek hak ulayat, yang terdiri atas tanah,
perairan, dan segenap sumber daya alam yang terkandung didalamnya.

Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam bidang
hukum perdata adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan,
sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk
mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharaannya. Hak ulayat meliputi semua tanah dan perairan yang ada dalam
lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan baik yang sudah
dihak-i oleh seseorang maupun yang belum sehingga dalam lingkungan hak
ulayat tidak ada tanah maupun perairan sebagai res nulius (Boedi Harsono,
1997).

Konsekuensi dari ada dan tidaknya tanah dan perairan res nulius dalam
lingkungan hak ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum yang bersifat
perdata maupun publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum adat,
yang diwakili oleh suatu sistem kepemimpinan dengan
kewenangan-kewenangannya. Dalam konteks hak ulayat laut, hal ini berarti
perairan yang merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk sepenuhnya
di bawah otoritas institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.

Di Indonesia, selain hak ulayat laut di kenal pula jenis hak adat lainnya,
seperti tradisi penguasaan bagian-bagian wilayah pesisir untuk kegiatan
penangkapan ikan secara tradisional di Sulawesi Selatan yang disebut bagang
(Saad, 2000).


Hak Masyarakat Adat
Masyarakat adat selain memiliki hak, sebenarnya juga memiliki
kewajiban-kewajiban terhadap tanah dan sumber daya alam di sekitar mereka.
Antara hak dan kewajiban harus ada keseimbangan yang kuat sehingga membentuk
pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang terintegrasi baik secara
sosial, politik, alamiah, budaya, dan agama dari kehidupan masyarakat adat
(Ronald Titahelu, Paper on Indonesian Legal Center for Community Based
Property Rights and Marine and Coastal Resources Management).

Bagi masyarakat pesisir dan laut misalnya, sumber daya laut dan pesisir
tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kehidupan
sehari-hari masyarakat, tetapi mereka sangat mengenal lingkungan sekitar
mereka dan tahu bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup secara harmonis
dan tetap dapat mempertahankan keberlanjutan dan kestabilan wilayah laut dan
pesisir beserta sumber daya alam di dalamnya.

Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat adat di dalam mengelola
wilayah laut dan pesisir juga memiliki kekuatan eksternal yang memberikan
potensi besar bagi masyarakat untuk melakukan ancaman dari orang luar,
termasuk dari Negara. Masyarakat adat telah melindungi dan mempertahankan
hak dan kewajiban mereka jauh bahkan sebelum negara itu ada. Pengakuan
kepemilikan masyarakat adat terhadap wilayah laut dan pesisir bukan atas
pemberian Negara melainkan secara alamiah merupakan bagian dari legenda dan
sejarah masyarakat adat itu sendiri. Wilayah adat yang mereka diami
merupakan warisan dari nenek moyang yang secara turun temurun diwariskan.

Hak memiliki atau mengelola dari masyarakat adat menekankan pada 3 (tiga)
elemen mendasar, yaitu:
1. Otoritas hukum untuk mengelola lingkungan.
2. Otoritas penuh untuk menentukan nasib sendiri.
3. Hak untuk memberikan persetujuan terhadap setiap rencana
kegiatan/kebijakan negara yang berdampak pada nasib masyarakat itu sendiri.

Saat ini, hubungan antara sumberdaya laut dan pesisir dengan kewenangan
pengelolaan masyarakat adat mulai menjadi perhatian dan kepentingan dari
pemerintah dan pembuat kebijakan. Selain itu, beberapa inisiatif dari
masyarakat dan dorongan dunia internasional mulai bermunculan untuk
mendukung masyarakat nelayan walaupun hukum nasional yang spesifik,
kebijakan-kebijakan, dan instrumen hukum lainnya yang mengakui kewenangan
pengelolaan masyarakat adat terhadap sumber daya laut dan pesisir belum
terdapat di Indonesia. Namun pelaksanaan otonomi daerah dan pelimpahan
kewenangan yang sekarang ini sedang di lakukan oleh pemerintah pusat kepada
daerah merupakan langkah yang cukup menjanjikan serta mengkhawatirkan untuk
mendukung pengelolaan sumber daya laut dan pesisir oleh masyarakat adat,
walaupun hal ini masih perlu dilihat lebih jauh lagi.


Eksistensi Hak Ulayat di Lapangan
1. Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna
. Sumber kearifan lokal masyarakat di Kawasan Pulau Tiga bersumber dari
ajaran Islam dan kepercayaan yang berbau mistik. Prinsip-prinsip kearifan
lokal mereka berbasiskan ekologi dan ekosistem.

. Bentuk kearifan lokal yaitu dengan mengkeramatkan daerah-daerah
tertentu, larangan membunuh atau menangkap hewan tertentu, penghormatan
terhadap laut, pemeliharaan terumbu karang, dan penggunaan teknologi
penangkapan sederhana.

2. "Kelong" Kearifan Lokal Nelayan Batam
Di Kota Batam dan beberapa wilayah lain di Kepulauan Riau sebenarnya
terdapat pengelolaan perikanan tradisional yang disebut "Kelong". Kelong ini
merupakan sejenis perangkap (trap) dan diperuntukkan untuk menangkap ikan
Dingkis atau ikan Baronang.

3. "Awig - awig" Hak Ulayat Laut Provinsi Nusa Tenggara Barat
Di Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat dan di Dusun Serewe Kabupaten
Lombok Timur, terdapat hak ulayat laut yang mengatur tentang pelarangan
penggunaan bom dan potassium cyanida pada kawasan terumbu karang dalam upaya
penangkapan ikan oleh nelayan serta pelarangan menebang hutan mangrove.

4. "Panglima Laot", Kearifan Lokal Nelayan Aceh

. Panglima Laot adalah lembaga pemimpin adat nelayan yang telah ada sejak
zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad 14.

. Teritori jendral nelayan yang terkecil adalah lhok (teluk atau kuala)
tempat nelayan menyandarkan perahu-perahu mereka. Di seluruh Nanggroe Aceh
Darussalam saat ini tercatat ada 140 lhok yang masing-masing dipimpin oleh
panglima lhok.

. Kewenangan panglima laot (abu laot, ayah laut), ada dua tugas pokok:
Pertama, dia menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang.
Termasuk dalam hal ini adalah penentuan hari-hari nelayan tidak boleh
melaut, antara lain pada hari raya, hari Jumat, hari kemerdekaan 17 Agustus,
juga pada hari-hari ketika ikan di lautan sedang kawin atau bertelur. Kedua,
panglima laot wajib menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi di
kalangan nelayan. Sebisa mungkin, sengketa antar nelayan dibereskan diantara
kaum nelayan sendiri.

5. Mane'e, Kearifan Lokal Nelayan Kabupaten Kepulauan Talaud
Mane'e merupakan keraifan lokal masyarakat nelayan di Kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, berupa pengaturan masa penangkapan ikan
dalam rangka menjaga kelestarian sumberaday kelautan dan perikanan di
wilayah mereka, misalnya dengan cara membuat larangan menangkap ikan pada
masa-masa tertentu serta pembuatan sejenis sistem bendungan untuk
mempermudah penangkapan ikan.


Ilustrasi Keraifan Lokal Mane'e di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi
Utara




Hak Ulayat dalam Ketentuan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil pasal 18, disebutkan bahwa HP3 (Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir) dapat diberikan diantaranya kepada masyarakat adat. Lebih lanjut,
pada pasal 60, disebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk melakukan
kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

Pada pasal 61, disebutkan juga bahwa pemerintah mengakui, menghormati, dan
melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan
lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan
secara turun-temurun. Kemudian disebutkan juga bahwa pengakuan hak-hak
masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal dijadikan acuan
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

Mengacu pada amanat UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dalam draft PP HP3 ini, pengaturan dan
pemuatan yang berkenaan dengan hak ulayat menjadi semakin terdefinisi untuk
dapat dioperasionalisasikan. Pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat serta
perhatian terhadap keberlangsungan aktivitas dari masyarakat adat tetap
menjadi salah satu muatan utama yang mewarnai muatan PP HP3 tersebut. Esensi
untuk menghormati, melindungi, dan menyetarakan kepentingan masyarakat,
termasuk masyarakat adat dalam kompetisi terhadap kepentingan investasi yang
dikhawatirkan akan mendominasi pemanfaatan ruang khususnya pemanfaatan ruang
laut atau wilayah perairan, merupakan salah satu landasan yang seharusnya
dapat memperkuat PP HP3 ini sebagai suatu kebijakan yang akan berpihak
kepada masyarakat.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa UU No. 27 tahun 2007 telah
mengakomodasi hak ulayat masyarakat. Oleh karena itu, hal-hal yang dapat
menjadi perhatian dalam mengelola hak ulayat tersebut, khususnya dalam
muatan kebijakan mengenai HP3 yaitu:
1. Penilaian eksistensi terhadap hak ulayat yang sudah ada
Keberadaan masyarakat adat pada suatu daerah, seyogyanya dapat dibuktikan
melalui serangkaian cerita sejarah yang sudah berlangsung dalam komunitas
masyarakat adat tersebut. Keberdaan ini diakui tidak hanya oleh komunitas
adat itu sendiri, tetapi masyarakat lain yang ada disekitarnya dan tentunya
sudah berlangsung untuk suatu jangka waktu yang tertentu

2. Penentuan prioritas terhadap optimalisasi pemanfaatan ruang
Perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang bertujuan untuk
mengoptimalisasikan sumberdaya-sumberdaya yang ada. Dalam konteks ini,
eksistensi hak ulayat pada suatu daerah dapat memberikan optimalisasi atau
dapat minimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang ada. Pada konteks ini pula,
prioritas pemanfaatan sumberdaya melalui optimalisasi pemanfaatannya tidak
dapat disetarakan dengan eksistensi hak ulayat itu sendiri, karena secara
manajerial pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat khususnya masyarakat adat
dapat dioptimalkan melalui penerapan teknologi atau optimalisasi manajemen
sumberdayanya

3. Memposisikan hak ulayat terhadap hak-hak lain dalam penentuan status
pengelolaan terhadap suatu area atau wilayah perairan tertentu
Status hak atas suatu wilayah/area perairan tertentu yang berkenaan dengan
subjek hak, seperti masyarakat adat, masyarakat umum, negara, dsb, memiliki
posisi yang tidak berjenjang. Pengalihan hak dapat dilakukan melalui
manajemen konflik atau resolusi konflik, sehingga yang menjadi prioritas
seyogyanya adalah kepentingan atau objek dari hak tersebut dan tentunya
kepentingan-kepentingan ini akan dapat disinergikan dan diselaraskan.

sumber : http://bulletin.penataanruang.net/index.asp?mod=_fullart&idart=142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar