Phinisi Mengarungi tiada akhir

Senin, 27 Februari 2012

KEABSAHAN AKTA PPATS YANG DITANDATANGANI PARA PIHAK TIDAK DI HADAPAN CAMAT SELAKU PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SEMENTARA DI KABUPATEN PINRANG

ABSTRAK

ANDI BASO AMRY (B11107070), Keabsahan Akta PPATS Yang Ditandatangani Para Pihak Tidak Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara Di Kabupaten Pinrang, dibimbing oleh Anwar Borahima dan Sri Susyanti Nur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan akta PPATS yang ditandatangani para pihak tidak dihadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara serta mengetahui perlindungan bagi pembeli terhadap akta yang tidak dibuat oleh dan di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pinrang khususnya di Kecamatan Watang Sawitto dan Kecamatan Duampanua, untuk mendapatkan data primer dan data sekunder yang berhubungan langsung dengan skripsi ini. Adapun teknik pengumpulan data dengan wawancara langsung dengan pihak terkait seperti Camat selaku PPATS, Kepala Kelurahan, Kepala Lingkungan Kantor Badan Pertanahan dan para pihak yang melakukan perbuatan hukum terkait dengan tanah serta penelitian kepustakaan (library research). Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa keabsahan akta yang tidak di buat di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah tidak memenuhi syarat keotentikan suatu akta, hal ini berpengaruh pada saat pembuktian di persidangan apabila terjadi sengketa, karena perbuatan hukum tersebut tidak di hadapan PPAT Sementara, mengakibatkan Camat selaku PPAT sementara tidak memahami proses terjadinya perbuatan hukum tersebut, sekaligus tidak mengikuti proses pemeriksaan syarat-syarat pembuatan akta baik identitas para pihak maupun dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Terkait perlindungan hukum terhadap pembeli terhadap akta yang tidak dibuat di hadapan Camat selaku PPAT sementara bahwa tidak terpenuhinya syarat keotentikan dan syarat formal suatu akta mengakibatkan akta tersebut lahir dari perbuatan hukum yang tidak sah. Hal ini rentan sekali dengan pemalsuan tandatangan khususnya pihak penjual. Hal ini jelas berakibat akta menjadi cacat hukum dan sertifikat yang lahir dari akta yang tidak sah dapat dibatalkan karena akta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik. Selain itu perlindungan terhadap pembeli sangat tergantung pada Camat dalam melaksanakan kewajibannya selaku PPAT yang menjamin kebenaran perbuatan hukum serta pemenuhan syarat formal dan keotentikan suatu akta.



KATA PENGANTAR

Bismillahi rahmanirahim
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena Rahmat, Kasih dan Keberkahannya-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan tak lupa penulis panjatkan sholawat kepada junjungan umat Islam Baginda Rasululllah SAW yang telah menjadi suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Terkhusus kepada kedua orang tua penulis, ibunda Hj. Andi Anna Syamsie Taha Wello dan ayahanda tercinta H. Andi Mattoreang yang telah memberikan dukungan, baik itu motivasi maupun doa. Penulis menyadari tanpa doa dan dukungan dari kedua orang tua penulis tidak akan mampu menjadi yang sekarang ini. Terima kasih ayah, terima kasih ibu. Kepada adik-adik penulis, Andi Mutiara P.Sari, dan Andi Sulolipu, terkhusus kepada keluarga besar Andi Syamsie Toha Wello, terima kasih atas semua doa dan dukungannya.



Akhirnya skripsi yang merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan studi strata 1 dapat terselesaikan Maha Suci Allah dengan segala keterbatasan dan kekurangan penulis, terselesaikanlah skirpsi dengan judul “Keabsahan Akta PPATS Yang Ditandatangani Para Pihak Tidak Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara Di Kabupaten Pinrang ”
Perkenankan penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H. dan ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. selaku Pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingannya selama ini, tanpa bimbingan bapak dan ibu penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H., dan Ibu Prof.Dr. Farida Patittingi, S.H., M.H. serta bapak H.M Ramli Rahim, S.H., M.H selaku penguji penulis. Terima kasih atas kesediannya untuk menguji penulis dan menerima skripsi penulis yang masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari yang diharapkan.
3. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru,S.H.,M.H selaku penasehat akademik penulis terima kasih atas nasehat dan bimbingannya.
4. Seluruh Dosen dan seluruh Civitas akademik fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terima kasih atas semua bantuannya.
5. Kepada Bapak/Ibu guru SD 46 Lampa Barat, SMPN 1 Duampanua, SMA 2 Pinrang, terkhusus kepada DR. Sahabuddin Toha, M.Agryang telah mengajarkan penulis hingga sampai kejenjang perkuliahan, jasamu akan kukenang sampai akhir hayat.
6. Kepada para sahabat-sahabat penulis. Sirajuddin, Onna Bustang, Haeril Akbar S.H., Nashrun, S.H, Trisutrisno S.H, Ardiasyah Arfah S.H, Andi Rahmat W S.H, Terima kasih sobat atas bantuannya selama ini. Kalian telah mengajarkan penulis tentang arti sebuah kebersamaan, persaudaraan dan pengorbanan.
7. Kepada teman-teman KKN Profesi PTUN Makassar. Abhy, Farid, Sul,Rian, Andy, Hendra, Anti, Rini, Kiki,Yaya, Ocha, Nadya, Ana, Terima kasih atas pelajaran tentang sebuah kerjasama tim.
8. Kepada teman-teman MCC Konstitusi Padjajaran law fair 2011. Anto, Onna, Haeril, Yaya, Adel, Ain, Tizar, Ridwan, Zul, Ikram, Fahmi, Helmy, Amy, Dewi, Hati, Ziqra, Qia, Dian. Banyak hal-hal positif yang penulis dapatkan dari kalian.
9. Kepada keluarga besar Limited Games (LG).Candra Sentosa, Rahman, Dede, Fidy, Buchek, Hadi, Fira, Nunu, Rista Stef, Yoel, Ujha, Ichal, Inyol, Wawan, Wawa, Ino, Arsyad, Echy, Dani, Rais, Winny, Furgon. Terima kasih atas persahabatan, motivasi, dukungan dan kritik yang kalian berikan, semuanya mengajarkan penulis akan arti sebuah kesempatan dan kekeluargaan.
10. Kepada teman-teman BEM FH-UH, MPM AS-Syariah, Ekstradisi 2007, Jack’D, Nekens, Wasabby Brotherhood, Study Club, Al-Huda, dan seluruh pihak yang telah membantu penulis yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua kebaikan dan bantuan kalian.
Dengan kesadaran penuh, skripsi yang tentunya terdapat banyak kekurangan, namun penulis sangat berharap skripsi ini mempunyai manfaat bagi masyarat khususnya bagi penegakan hukum dalam hal Pembuatan Akta PPATS oleh Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara. Dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik, saran ataupun masukan yang sifatnya membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan skripsi ini.
Demikian kata pengantar yang penulis paparkan, atas segala ucapan yang tidak berkenan dalam skripsi ini penulis memohon maaf.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Makassar, 23 November 2011

Andi Baso Amry



D A F T A R I S I


HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI iii
PENGESAHAN SKRIPSI iv
ABSTRAK v
KATA PENGHANTAR vi
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah 11
1. Pengertian PPAT 11
2. Dasar Hukum PPAT 12
3. Tugas dan Kewenangan PPAT 13
4. Syarat sahnya Perjanjian 14
5. Jenis-jenis perjanjian 16
6. Akibat perjanjian 16
7. Asas Konsensualisme 17
B. Tinjauan Tentang Camat 18
1. Pengertian Camat 18
2. Syarat Camat Selaku PPAT Sementara 21
3. Hubungan Hukum Camat dengan Pendaftaran Tanah 22
4. Kedudukan dan Fungsi Camat Sebagai PPAT 24
5. Larangan Pembuatan Akta oleh Camat Selaku PPAT 26
C. Tinjauan Tentang Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah 30
1. Pengertian Akta Otentik 30
2. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik 36
D. Tinjauan Tentang Pendaftaran Tanah 38
1. Pengertian Pendaftaran Tanah 38
2. Sistem Pendaftaran Tanah 42
3. Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali 44
4. Pemeliharaan Data Pendaftaran tanah 44

BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian 46
B. Jenis dan Sumber Data 47
C. Teknik Pengumpulan Data 47
D. Analisis Data 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 49
1. Letak Geografis 49
2. Luas Wilayah 50
3. Penduduk 53
B. Keabsahan Akta PPATS Yang Di Tandatangani Para Pihak Tidak Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara 55
1. Praktek Camat Selaku PPATS di Kabupaten Pinrang
a) Kedudukan Dan Fungsi Camat Selaku PPAT 55
b) Proses Pembuatan Akta 61
c) Akibat Hukum Yang Timbul Akibat Kesalahan Camat Dalam Pembuatan Akta 77
2. Keabsahan Akta Yang Dibuat Tidak Di Hadapan Camat Selaku PPAT 81
C. Perlindungan Terhadap Pembeli Terhadap Akta Yang Dibuat
Tidak DiHadapan Camat Selaku PPAT 86
1. Jual beli 86
2. Perlindungan Terhadap Pembeli 90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 100
B. Saran 101

DAFTAR PUSTAKA 103




DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Data Luas Wilayah Kabupaten Pinrang menurut Kecamatan Tahun 2011……………………………………. 51
Tabel 2
: Data Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan Tiap Kecamatan Di Kabupaten Pinrang Tahun 2010……….. 51
Tabel 3 : Luas Lahan Sawah Berdasarkan Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan Di Kabupaten Pinrang Tahun 2010………………………………………………………….... 52
Tabel 4 : Data Banyaknya Penduduk Tiap Kelurahan Di Kabupaten Pinrang Tahun 2004-2009…………………… 54
Tabel 5 : Camat Sebagai PPAT Sementara Di Kabupaten Pinrang……………………………………………………….. 56
Tabel 6 : Notaris Sebagai PPAT Di Kabupaten Pinrang……….. 57
Tabel 7 : Data Perbuatan Hukum Berkaitan Dengan Tanah Di Kecamatan Watang Sawitto Kabupaten Pinrang Januari-Agustus Tahun 2011……………………………... 62
Tabel 8 : Data Perbuatan Hukum Berkaitan Dengan Tanah Di Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang Januari-Agustus Tahun 2011……………………………………….. 63
Tabel 9 : Jumlah Pembuatan Peralihan Hak Atas Tanah Yang ditangani oleh Camat Sebagai PPAT SementaraSelama Tahun 2011…………………………. 64
Tabel 10 : Data Permintaan Blangko Akta Oleh Camat PPAT Januari-Agustus 2011……………………………………… 74










BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum sehingga kekuasaan tunduk pada hukum.Hukummempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan, hukum adalah perlindungan kepentingan manusia. Hukum mengatur segala hubungan antar individu atau perorangan dan individu dengan kelompok atau masyarakat maupun individu dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan demi mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 2 ayat (2) UUPA mengatur bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut paham negara hukum kesejahteraan (welfare state) sebab dengan dikuasainya bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tersebut oleh negara, maka pemerataan atas hasil-hasil pengelolaan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam ini akan dapat dicapai.
Hak menguasai oleh negara yang disebutkan pada Pasal 2 UUPA tersebut di atas dijabarkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai (hubungan-hubungan hukum antara orang-orang) atas bumi, air dan ruang angkasa,
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif manusia, baik sebagai wadah maupun sebagai faktor produksi. Aspek ekonomi tanah menunjukkan bahwa tanah sebagai aset ekonomi memiliki nilai yang tinggi, karena luas tanah tetap sedangkan jumlah manusia yang membutuhkannya semakin bertambah, tidak hanya orang-perorangan, bahkan Badan Hukum dan Instansi Pemerintah memerlukan tanah dalam upaya pelaksaanaan tugas maupun untuk kepentingan lain.
Hubungan antara tanah dan bangsa Indonesia, pada gilirannya antara manusia dengan tanah, serta hubungan suatu kelompok manusia dengan tanah juga merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius.
Tanah pada prinsipnya dianggap sesuatu yang berharga, oleh karena itu, manusia selalu berupaya untuk mendapatkannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan membuka hutan dan ladang, atau dengan perbuatan hukum melalui pemindahan hak atas tanah. Perbuatan hukum itu mungkin jual beli, tukar menukar, hibah, atau pemberian dengan wasiat (lazim disebut juga “hibah-wasiat” atau “legaat”)
Keberadaan tanah sebagai sesuatu yang berharga menimbulkan kesadaran akan pentingnya suatu landasan hak yang memiliki dasar hukum yang kuat terkait status kepemilikan tanah. Upaya itu terkait status hukum penguasaan tanah, penguasaan terhadap tanah dapat dimaknai dalam arti fisik maupun dalam arti yuridis. Terkait dengan hak atas tanah yang membutuhkan pengakuan hukum maka pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa setiap perjanjian harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Perbuatan hukum berkaitan dengan tanah seperti jual beli mensyaratkan bahwa harus dibuat di hadapan pejabat tertentu. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) perbuatan hukum terkait dengan tanah cukup dilakukan di hadapanKepala Desa atau Kepala Adat, namun setelah berlakunya UUPA ada beberapa perbuatan hukum terkait dengan tanah harus dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Ketentuan dibuat oleh dan di hadapan PPAT menjadi syarat sahnya suatu perbuatan hukum terkait dengan tanah hal ini diatur Pada Pasal 19 UUPA dan Peraturan Pemerintah nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut diatur bahwa peralihan hak atas tanah harus dilakukan oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Makna kata dibuat oleh dan di hadapan PPAT ini adalah bahwa semua peralihan hak atas tanah harus dilakukan sesuai dengan syarat formal yaitu dibuat bentuknya berdasarkan Undang-Undang, dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang dimana akta tersebut dibuat dengan mengisi dan melengkapi blangko akta oleh dan di hadapan PPAT jika salah satu proses tidak terpenuhi maka peralihan hak dan perbuatan hukum terkait dengan tanah tersebut tidak sah.
Keberadaan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementarakarena jabatannya, sebenarnya mempunyai tujuan mulia, yaitu untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah belum cukup terdapat PPAT serta membantu pelaksanaan pendaftaran tanah di Kecamatannya. PPAT Sementara dibutuhkan karena Camat selaku PPAT Sementara memiliki kedudukan yang sangat strategis karena Camat sangat menguasai wilayah dan memahami karakter masyarakatnya. Namun dalam praktik tetap harus memperhatikan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah telah diberlakukan sejak tanggal 5 Maret 1998, dan kini dilengkapi dengan peraturan pelaksananya seperti Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Namun dalam kenyataan tidak menutup kemungkinan ditemukan berbagai pelanggaran misalnya dalam jual beli tanah yang mensyaratkan bahwa perbuatan hukum terkait dengan tanah harus dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, semua harus dihadiri para pihak dengan melengkapi persyaratan dan mengisi blangko akta, jika persyaratan ini tidak terpenuhi maka perbuatan hukum tersebut tidak sah, namun dilapangan para pihak hanya membuat akta dengan menandatangani tidak di hadapan Camat tetapi hanya di hadapan Kepala Desa atau Lurah. Selain itu kebanyakan akta ditandatangani namun tidak dibuat di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara sehingga unsur dibuat oleh dan di hadapan PPAT tidak terpenuhi.
Adanya tanggungjawab Camat seperti melakukan pengecekan sertipikat asli di Kantor Pertanahan sesuai ketentuan yang digariskan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, seperti keharusan penggunaan blangko yang bentuknya di tentukan menteri agraria, dibuat oleh dan di hadapan PPAT, dan membacakan akta serta menyampaikan akta yang dibuatnya serta dokumen terkait ke Kepala Kantor Pertanahan untuk didaftarkan 7 hari setelah ditandatangani, sehingga pada akhirnya menimbulkan akibat hukum terkait dengan keabsahan akta yang merugikan para pihak terutama pembeli maupun PPAT itu sendiri jika tanggung jawab tersebut tidak dijalankan.
Peran PPAT Sementara sangat besar, terutama pada daerah-daerah yang masih sedikit jumlah PPAT Notaris, terutama di daerah Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan , yang memiliki 12 Kecamatan yaitu Kecamatan Batulappa, Kecamatan Cempa,KecamatanDuampanua, Kecamatan Lanrisang, Kecamatan Lembang, Kecamatan Mattiro Bulu, Kecamatan Mattiro Sompe, Kecamatan Paleteang, Kecamatan Patampanua, Kecamatan Suppa, Kecamatan Tiroang dan Kecamatan Sawitto.
Dari 12 Kecamatan tersebut di atas, KecamatanWatang Sawitto merupakan Kecamatan yang terletak di tengah kota Pinrang dengan luas 13.249 Ha merupakan pusat perkotan di Kabupaten Pinrang sedangkan Kecamatan Duampanua merupakan Kecamatan dengan luas sawah paling besar di Kabupaten Pinrang yaitu sekitar 6.760 Ha, juga merupakan Kecamatan dengan luas tambak paling luas 4.356 Ha dengan produksi udang 718,33 ton dengan nilai Rp 21.549.900 (2010). Pembangunan yang terus meningkat di dua Kecamatan ini secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan masyarakat akan tanah sehingga di ikuti dengan perbuatan hukum terkait dengan tanah sehingga secara langsung juga berpengaruh terhadap frekuensi pembuatan akta-akta tanah yang menggunakan jasa PPATCamat terlebih keberadaan PPAT Notaris yang belum cukup

Besarnya tanggungjawab Camat dalam perannya sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementaradan perbuatan hukum terkait dengan tanah banyak dilakukan tidak di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara.
Oleh karena itu menarik diteliti lebih lanjut terhadap Keabsahan Akta PPATS Yang Ditandatangani Para Pihak Tidak Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara Di Kabupaten Pinrang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian pada latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keabsahan perjanjian jual beli hak atas tanah yang aktanya ditandatangani para pihak tidak di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara?
2. Bagaimanakah perlindungan bagi pembeli terhadap akta yang tidak dibuat oleh dan di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang masalah serta pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji, maka pembahasan dalam skripsi ini diarahkan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui keabsahan perjanjian jual beli hak atas tanah yang aktanya ditandatangani para pihak tidak di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara.
b) Untuk mengetahui perlindungan bagi pembeli terhadap akta yang tidak dibuat oleh dan di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara.
2. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan sebagai suatu bahan yang akan berguna sebagai:
a) Diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi praktisi hukum terutama bagi instansi pemerintah yang terkait seperti Badan Pertanahan, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris, Camat dan Lurah/ Kepala Desa serta bagi masyarakat pada umumnya dalam Pembuatan Akta Tanah oleh Camat selaku PPAT Sementara, terutama menyangkut akibat hukum yang timbul dari peraturan pembuatan akta tanah oleh PPAT, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai bahan masukan dalam kajian informasi yang bersifat ilmiah guna penyempurnaan peraturan hukum agraria di masa yang akan datang.
b) Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan sumbangan pemikiran serta pertimbangan dalam mengkaji Undang-Undang serta praktik penerapannya dalam rangka penegakan hukum di bidang Agraria khususnya mengenai praktik pembuatan akta tanah oleh Camat dalam kedudukannya selaku PPAT Sementara.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pejabat Pembuat Akta Tanah
1. Pengertian PPAT
Pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, namun dalam pelaksanaan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini, PPAT adalah Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta tanah tertentu, yaitu akta dari pada perjanjian perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

2. Dasar Hukum

Dasar hukum PPAT adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa : “PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. PPAT sebagai pejabat umum yang ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah disebutkan bahwa:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pajabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan yang berlaku”

Undang-Undang tersebut memberikan ketegasan Bahwa PPAT adalah pejabat umum dan berwenang membuat akta otentik. Dengan demikian sesuai dengan Pasal 1868 Burgerlijk Wetbok menyatakan bahwa: “Suatu akta autentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditetapkan oleh Undang-Undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”


3. Tugas dan Kewenangan PPAT

Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, tugas pokok PPAT yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu yang mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum tertentu.
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) diatas adalah berupa Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan kedalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan, hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan, pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.
Untuk melaksanakan semua tugasnya itu, PPAT diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalam daerah kerjanya.
Menurut bentuknya akta diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu: surat akta dan bukan surat akta. Surat akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu.
Sedangkan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai kewenangan PPAT, sebagai berikut :

a) PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik terhadap semua perbuatan hukum mengenai semua hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
b) PPAT khsusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khsusus dalam penunjukannya dan sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik.
c) Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1), pada dasarnya PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai tanah atau satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya, kecuali jika ditentukan lain menurut Pasal ini. Pelanggaran terhadap ketentuan ini mengakibatkan aktanya tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran yang masing-masing bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
d) Akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta-akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi perbuatan hukum dalam akta.

4. Syarat Sahnya Perjanjian

Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu seperti jual beli, tukar menukar, hibah dan lainnya termasuk dalam lingkup perjanjian timbal balik, yang keabsahannya bersumber dari Burgelijk Wetboek (BW) dan tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh badan Pertanahan Nasional. Sahnya suatu perjanjian diatur dalam Burgerlijk Wetbok, diantaranya dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetbok yang mengatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu :
a) Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b) Kecakapan membuat perjanjian
c) Suatu hal tertentu
d) Kausa yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif , karena mengenai orangnya atau subyeknya yang melakukan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Sehingga jika perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur pertama dan kedua maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkanjika perjanjian tersebut tidak memenuhi unsur ketiga dan keempat maka perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjiannya dianggap tidak pernah ada.



5. Jenis Jenis Perjanjian
Dalam Burgelijk Wetboek dikenal beberapa jenis erjanjian atau perikatan pada dasarnya perikatan yang dimaksud bukan merupakan perikatan yang bersahaja atau perikatan yang dapat dilaksanakan dengan mudah karena pihak hanya terdiri dari satu orang dan obyek perikatannya hanya satu macam, perjanjian yang bersahaja dimaksud adalah sebagai berikut:
a) Perikatan bersyarat
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternatif
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan dapat dibagi-bagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman

6. Akibat Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain untuk melakukan danatau tidak melakukan suatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua pihak yang dinamakan perikatan, dengan demikian hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Sehingga perjanjian itu merupakan sumber perikatan terpenting selain Undang-Undang.
Perikatan yang lahir dari perjanjian, dikehendaki para pihak sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-Undang diadakan oleh Undang-Undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.
Suatu perikatan yang dilahirkan oleh perjanjian mempunyai dua sudut yaitu sudut kewajiban (obligations) dan sudut hak atau manfaat sehingga mengindikasikan bahwa perjanjian mengakibatkan salah satu pihak memperoleh kewajiban dan salah satu pihak lainnya memperoleh hak.
7. Asas Konsensualisme
Arti asas konsensulisme adalah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hak-hak yang pokok dan tidaklah dibutuhkan suatu formalitas. Perjanjian itu pada umumnya konsensuil. Asas konsensualismetersebut lazimnya disimpulkan dari 1320 Burgelijk Wetboek yang berbunyi:
“Untuk sahnya suaty perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk berbuat suatu perjanjian,3. suatu hal tertentu, 4. Suatu sebab yang halal ”

Oleh karena dalam pasal tesebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah dicapai tesebut, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudah sah apabila sudah dicapai kesepakatan mengenai hal-hak pokok dari perjanjian itu.

Namun, terhadap asas konsensualisme itu dikecualikan yaitu jika ditetapkan formalitas-formalitas tertentu oleh Undang-Undang untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya perjanjian jual beli harus dibuktikan dengan akta jual beli yang bentuknya telah ditentukan oleh Undang-Undang di buat oleh dan di hadapan PPAT . Sehingga beberapa perjanjian memiliki bentuk formil dan syarat formil.

B. Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara
1. Pengertian Camat
Otonomi daerah adalah suatu perpaduan langsung dari ide-ide desentralisasi dengan ide-ide demokrasi. Organ-organ pembuat norma-norma daerah dipilih oleh para subjek dari norma-norma ini, salah satu bagian dari daerah otonom adalah kotapraja atau kotamadya dan walikota. Ini adalah sebuah pemerintahan daerah yang otonom dan desentralistis.
Masalah otonomi daerah merupakan hal yang hidup dan berkembang sepanjang masa sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Lagipula tuntutan global menempatkan isu demokratisasi dalam pemerintahan, menempatkan rakyat pada kedudukan yang penting dan strategis, karena itu lembaga pemerintahan harus mencari cara terbaik untuk menyejahterahkan karena tugas pemerintah pada hakekatnya adalah sebagai pelayan masyarakat.
Mengingat luas wilayah Negara Republik Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak di satu pihak dan tuntutan terlaksananya pembinaan masyarakat di berbagai bidang, maka Menteri Dalam Negeri atas nama pemerintah pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat-pejabat yang ada di daerah/wilayah untuk melakukan pembinaan masyarakat dalam berbagai bidang. Para pejabat yang dimaksud adalah Kepala Wilayah yang merupakan penguasa tunggal di wilayahnya. Mereka merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat dan bukan hasil pilihan rakyat. Salah satu kepala wilayah yang akan dibahas yaitu Camat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian Camat adalah Pegawai Pamong Praja yang memimpin Kecamatan.Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah, Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam melaksanakan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagai wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.
Selain memperoleh pelimpahan wewenang untuk menangani sebagaian otonomi daerah, Camat juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi :
1. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
2. Menggordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;
3. Menggordinasikan penerapan dan penegakan Peraturan Perundang-Undangan;
4. Menggordinasikan penyelenggaraan pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum;
5. Menggordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintah di tingkat Kecamatan;
6. Membina penyelenggaraan pemerintah Desa atau Kelurahan;
7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/ atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintah Desa dan/ Kelurahan.

Camat bukanlah hasil pilihan rakyat, seperti halnya Kepala Daerah Provinsi (Gubernur) dan Kepala Daerah Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota). Oleh karena bukan hasil pilihan rakyat, maka Camat dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota, sehingga kapanpun dapat diganti dari jabatannya sebagai Kepala Kecamatan.
Kedudukan Camat sekarang ini adalah sebagai perangkat daerah yang mempunyai hubungan hierakis dengan daerah Kabupaten atau daerah Kota, sehingga Camat bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota dalam menjalankan sebagian kewenangan pemerintah yang dilimpahkan oleh Bupati atau Walikota kepadanya. Posisi Camat adalah pada tingkatan paling bawah, maka Camat secara otomatis lebih dekat dan lebih mudah mengenal kehidupan dan persoalan dalam masyarakat apabila dibandingkan dengan kepala daerah lainnya pada tingkatan yang lebih tinggi (Gubernur dan Bupati/Walikota).
2. Syarat- syarat Camat selaku PPAT Sementara

Sebagaimana diketahui pengangkatan PPAT-Notaris adalah harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, sedangkan pengangkatan Camat selaku PPAT Sementara harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud diatas.
Adapun Pasal 5 ayat (3) dimaksud adalah menjadi dasar hukum Camat sebagai PPAT Sementara yang menyebutkan, bahwa untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat dibawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT khusus :
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.
b. Sedangkan wewenang mengangkat dan memberhentikan Camat sebagai PPAT Sementara dilimpahkan kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi.

Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai peran yang penting dalam pendaftaran tanah, oleh karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat PPAT, Camat perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut. Yang dimaksud dengan daerah yang belum cukup terdapat PPAT adalah daerah yang jumlah PPAT-nya belum memenuhi jumlah formasi yang ditetapkan Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Di daerah yang sudah terdapat PPAT dan merupakan daerah tertutup untuk pengangkatan PPAT baru, Camat yang baru tidak lagi sebagai PPAT Sementara.
Atas dasar tersebut diatas, Camat yang menjabat selaku PPAT, karena jabatannya memerlukan surat keputusan pengangkatannya oleh Kepala Kantor Wilayah, atas nama Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional .
3. Hubungan Hukum Camat Dengan Pendaftaran Tanah

Di dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960, disebutkan bahwa: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Dari Pasal 19 ayat (1) tersebut, diketahui bahwa pendaftaran tanah sangat penting untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, oleh karena itu pendaftaran tanah harus diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam melaksanakan pendaftaran tanah sebagaimana yang disebutkan diatas perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak-hak tersebut harus dibuktikan dengan suatu akta yang disebut akta tanah, yaitu akta yang membuktikan hak atas tanah seperti Hak Milik, Hak Tanggungan. Adapun pejabat yang diberi tugas dan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah, dengan tempat kedudukan sampai di ibu kota Kecamatan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Untuk memenuhi kebutuhan kekurangan PPAT, maka suatu Kecamatan yang belum cukup diangkat seorang PPAT, Camat yang ada pada Kecamatan itu karena jabatannya menjadi PPAT Sementara. Sebagai PPAT Sementara, Camat mempunyai tugas dan kewajiban yang sama dengan PPAT.
Hubungan antara Camat dengan pendaftaran tanah terjadi karena perintah dari Pasal 5 ayat (3a) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menyebutkan Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPAT Sementara.
Untuk suatu wilayah belum terpenuhi formasi pengangkatan PPAT dapat ditunjuk Camat sebagai PPAT Sementara, jika ada satu Desa yang jauh sekali letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di Kabupaten / Kotamadya dapat ditunjuk Kepala Desa sebagai PPAT Sementara. Dengan ketentuan ini Camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara (dapat terbukti dari surat pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT). Jika untuk Kecamatan itu telah diangkat seorang PPAT, maka Camat yang bersangkutan tetap menjadi PPAT Sementara, sampai ia berhenti menjadi Camat dari Kecamatan itu. Camat pengganti juga tidak otomatis sebagai PPAT Sementara.
4. Kedudukan dan Fungsi Camat sebagai PPAT

Di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Camat adalah Kepala Kecamatan yang menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah dari Bupati atau Walikota. Dalam melaksanakan kewenangannya, Camat bertanggungjawab kepada Bupati atau Walikota.
Selain sebagai kepala Kecamatan, Camat juga berfungsi sebagai PPAT Sementara. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian kedudukanadalahyaitu keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara. Kedudukan juga dapat diartikan sebagai tempat pegawai tinggal untuk melakukan pekerjaan atau jabatannya. Jadi kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara karena status Camat sebagai kepala Kecamatan padaKecamatan tempat ia tinggaluntukmelakukan jabatannya. Kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara adalah sama dengan kedudukan PPAT, yaitu sebagai pejabat umum. Hanya saja kedudukan Camat adalah sebagai PPAT Sementara yang diangkat karena jabatannya sebagai kepala Kecamatan untuk mengisi kekurangan PPAT di Kecamatannya pada Kabupaten/Kotamadya yang masih terdapat kekurangan formasi PPAT. Apabila untuk Kabupaten/Kotamadya tersebut PPAT sudah terpenuhi, maka Camat yang bersangkutan tetap menjadi PPAT Sementara, sampai ia berhenti menjadi kepala Kecamatan dari Kecamatan itu.
Pengertian Fungsi adalah kemampuan yang dimiliki dari seseorang yang sesuai dengan pekerjaan atau tugasnya. Fungsi Camat sebagai PPAT Sementara adalah membuat akta tanah. Fungsi ini tercipta karena jabatan pekerjaan yang dilakukan yaitu sebagai kepala Kecamatan.
Camat sebagai PPAT Sementara, memiliki tanggungjawab yang sama dengan PPAT lainnya yaitu kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan NasionalProvinsi, Kepala Kantor Pertanahan Kota atau Kabupaten, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Pertanggungjawaban sebagai PPAT Sementara ni berupa pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam praktik pembuatan akta peralihan hak atas tanah.
5. Larangan Membuat Akta oleh Camat selaku PPAT

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Pasal 2 ayat (1), maka seorang Camat selaku PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta tanah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu. Pengaturan tugas pokok Camat selaku PPAT sebagaimana tersebut diatas, dari segi hukum ada hubungan dengan ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan larangan membuat akta oleh Camat selaku PPAT Sementara.
Adapun larangan-larangan tersebut sebagai berikut :
Menolak membuat akta Peralihan Hak atau Pembebanan hutang dengan Jaminan Hak Atas Tanah apabila :
1. Hak atas tanah dimaksud dalam keadaan sengketa.
2. Hak atas tanah dalam sitaan.
3. Hak atas tanah itu dikuasai negara, tanah bekas kepunyaan orang asing, apabila lewat 1 (satu) Tahun sejak yang bersangkutan menjadi orang asing.
4. Yang mengalihkan Hak ternyata bukan pemiliknya atau kurunnya.
5. Yang menerima Hak ternyata bukan berhak untuk memiliki Hak atas tanah itu misalnya :
a. Orang asing kecuali untuk hak pakai
b. Badan Hukum untuk Hak Milik, kecuali Badan Hukum tertentu. Sebagai diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 1965.
6. Hak yang dialihkan adalah ternyata Hak Guna Usaha.
7. Bidang tanah itu, ternyata terletak di luar wilayah kerja PPAT tersebut.
8. Apabila tanah-tanah dimaksud :
a. Tanah ada Sertipikatnya, tetapi tidak dapat ditunjukkan kepada pejabat.
b. Belum membayar biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan pada kantor pajak setempat ( Pasal 24 UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2000 tentang BPHTB)
c. Belum mencocokkan dengan Buku Tanah yang ada pada Kantor Pertanahan Kabupaten setempat (Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN No 3 Tahun 1997)
9. Disamping itu seorang PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping derajat kedua menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara berpihak sendiri maupun melalui kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain. (Pasal 23 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998). Apabila terjadi jual beli antara suami isteri (Pasal 1467 Burgerlijk Wetbok) .
Dengan demikian, fungsi PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah ini menjadi sangat penting dalam membantu Badan Pertanahan Nasional, dalam hal ini Kantor Pertanahan, untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah, khususnya pemeliharaan data pendaftaran tanah. Data yang berupa akta yang dibuat PPAT merupakan salah satu dokumen utama dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu seorang PPAT harus benar-benar melaksanakan tugas dan fungsinya secara teliti dan hati-hati, bahkan secara teknis yuridis peraturan pemerintah memberikan kewenangan kepada PPAT sebagai berkut :
a. Memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum para pihak dengan mencocokkan data yang terdapat dalam Sertipikat dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan (Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997);
b. Menolak membuat akta-akta dalam hal-hal tertentu yang dapat merugikan pihak lain atau menyalahi ketentuan (Pasal 39 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal 1467 Burgelijk Wetboek)
c. Hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa surat setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
d. Wajib menyampaikan dalam waktu tujuh hari kerja setelah menanda tangani akta kepada Kantor Partanahan (Pasal 103 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997).
Disamping itu kewajiban tersebut dan ada sanksi bagi Camat selaku PPAT Sementara dalam menangani praktik pembuatan akta peralihan hak atas tanah yaitu Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal 25 dan 26 UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, serta juga ada akibat hukumnya, baik terhadap para pihak maupun Camat selaku PPAT sementara.

C. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah

1. Pengertian akta otentik

Menurut Subekti Akta adalah ”suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus ditandatangani.”
Menurut Sudikno Mertokusumo , Akta adalah:
”surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.”

Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan namun tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk alat bukti surat.
Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta resmi (authentiek) dan akta di bawah tangan (onderhands). Adapaun yang dimaksud dengan Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang menurut Undang-Undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut.
Akta otentik diatur dalam Pasal 1868 yang berbunyi: ”Suatu akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat”.
Dari penjelasan Pasal ini, akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau bentuknya cacat, maka menurut Pasal 1869 BW:
a. Akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik, oleh karenanya tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.
b. Apabila akta tersebut ditandatangani oleh para pihak maka akta yang demikian mempunyai nilai pembuktian sebagai akta dibawah tangan.
Suatu akta untuk dapat disebut Akta otentik, maka akta tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Dibuat dengan bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-Undang;
2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan oleh Negara;
3. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna;
4. Apabila kebenarannya disangkal, maka penyangkal harus membuktikan mengenai ketidak benaran tersebut.

Philipus M. Hadjonberpendapat bahwa syarat suatu akta otentik adalah:
a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang (bentuknya baku)
b. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum.

Irawan Soerodjo mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) unsur esensilia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik yaitu:
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang;
2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum;
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan ditempat di mana akta itu dibuat.

Definisi dari akta di bawah tangan sendiri menurut Subekti adalah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perataraan seorang pejabat umum.
Pada Pasal 1874 Burgelikj Wetbok dan Pasal 286 Rbg, dinyatakan bahwa Akta Bawah Tangan adalah tulisan atau akta yang ditanda tangani di bawah tangan, tidak dibuat dan ditanda tangani di hadapan pejabat yang berwenang (Pejabat Umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak, dan secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat.
Suatu akta di bawah tangan memiliki ciri dan kekhasan tersendiri, berupa:
a. Dibuat dalam bentuk yang bebas;
b. Pembuatannya tidak harus di hadapan pejabat umum;
c. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya.
Dari definisi tersebut di atas dapat diketahui bahwa Akta otentik merupakan akta yang sengaja dibuat untuk suatu pembuktian dengan melibatkan seorang pejabat umum yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang sedangkan akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk suatu pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat.
Menurut Soepomo, Kedua jenis akta tersebut di atas mempunyai beberapa perbedaan antara lain sebagai berikut:
1. Akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, sedangkan akta di bawah tangan tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, melainkan cukup dibuat oleh para pihak saja,
2. Akta otentik wajib dianggap benar baik mengenai tanda tangan maupun isi akta tersebut, sedangkan akta di bawah tangan wajib diakui atau disangkal oleh yang bersangkutan,
3. Akta otentik apabila disangkal kebenarannya, maka pihak yang menyangkal wajib membuktikannya, sedangkan akta dibawah tangan apabila disangkal kebenarannya oleh yang bersangkutan, maka pihak yang menyangkal ini tidak wajib untuk membuktikannya, yang membuktikan adalah pihak yang mengajukan akta di bawah tangan tersebut sebagai bukti.
4. Akta otentik tidak memerlukan pengakuan dari pihak yang bersangkutan agar mempunyai kekuatan pembuktian, sedangkan akta di bawah tangan wajib memerlukan pengakuan dari yang bersangkutan agar mempunyai kekuatan pembuktian.

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakan bukti yang mengikat, yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Berdasarkan Pasal 1857 Burgerlijk Wetbok, jika akta di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya .
Hal ini tidak hanya cukup dilihat dari akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat saja, tetapi harus dilihat akta dari cara membuatnya apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Suatu akta yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang atau tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang, maka akta tersebut bukan akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. Jika akta tersebut ditandatangani oleh pihak–pihak yang bersangkutan, maka pejabat yang berwenang disini adalah Notaris, PPAT, Panitera, Juru Sita, Pegawai Catatan Sipil, Hakim, Pegawai Pencatatan Nikah dan seterusnya.
Dalam praktik dan sistem pembuktian Hukum Acara Perdata yang berlaku di lembaga Pengadilan Indonesia, suatu akta otentik dapat dijadikan bukti dalam suatu perkara apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu syarat formil dan syarat materil .
Mengenai syarat-syarat tersebut diatas sebagai berikut :
a. Syarat formil akta otentik ;
1. Pada prinsipnya bersifat partai, maksudnya akta tersebut dibuat atas kehendak dan kesepakatan dari kedua belah pihak. Sifat partai akta otentik itu terutama dalam bentuk hubungan hukum perjanjian seperti jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam dan sebagainya.
2. Dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum yang berwenang. Adapun Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik antara lain adalah Gubernur, Petugas Catatan Sipil, Hakim, Panitera, Juru Sita dan sebagainya.
3. Memuat tanggal, hari dan Tahun pembuatan
4. Ditandatangani oleh pejabat yang membuat.
b. Syarat materiil akta otentik;
1. Isi yang tersebut di dalam bagian akta otentik tersebut berhubungan langsung dengan apa yang disengketakan di pengadilan. Jika akta yang dikemukakan dalam persidangan tidak sesuai dengan apa yang disengketakan oleh para pihak, maka akta tersebut dianggap tidak relevan dengan pokok perkara.
2. Isi akta otentik tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum. Segala sesuatu yang tersebut dalam akta otentik jika bertentangan dengan hal tersebut berdasarkan kausa yang diharamkan (ongeroorloofde oorzaak). Dengan demikian akta otentik tersebut mempunyai kekuatan dan nilai pembuktian.
3. Perbuatan sengaja dibuat dipergunakan sebagai alat bukti.
Berkaitan dengan hukum pembuktian ini, Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 berbunyi :
“Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terdiri atas warkah yaitu dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah”.


2. Kekuatan pembuktian akta otentik sebagai alat bukti

Fungsi utama Sertipikat hak atas tanah adalah sebagai alat bukti tetapi Sertipikat bukan satu-satunya alat bukti hak atas tanah. Hak atas tanah seseorang dapat dibuktikan dengan alat bukti lain, misalnya saksi-saksi, akta jual beli, surat keputusan pemberian hak. Perbedaan Sertipikat dengan alat bukti lain adalah Sertipikat ditegaskan oleh Peraturan Perundang-Undangan sebagai alat bukti yang kuat. Perkataan “kuat” dalam hal ini berarti selama tidak ada bukti lain yang membuktikan kebenarannya maka keterangan yang ada dalam Sertipikat harus dianggap benar dengan tidak perlu bukti tambahan. Sedang alat bukti lain hanya dianggap sebagai bukti permulaan, harus dikuatkan oleh alat bukti yang lain.
Pembuktian menurut kamus Besar Indonesia diartikan sebagai proses, perbuatan, cara membuktikan, sedangkan membuktikan diartikan sebagai memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti atau menandakan, menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti.
Pengertian pembuktian yang umum diketahui selalu dikaitkan dengan adanya persengketaan atau perkara di muka hakim atau pengadilan seperti beberapa pendapat antara lain, menurut Subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah menyakinkan hakim tentang dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Pembuktian ini hanya diperlukan apabila timbul suatu perselisihan.
Dari beberapa arti pembuktian tersebut di atas, terlihat bahwa makna pembuktian adalah memberikan kepastian kepadan hakim, tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Pembuktian hak atas tanah untuk kepentingan pendaftaran tanah berbeda dengan pembuktian adanya hak atas tanah dan siapa pemiliknya dalam suatu sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam suatu sengketa di Pengadilan sudah jelas siapa saja yang berebut tanah tersebut sehingga masing-masing dipesidangan akan mengajukan semua bukti-bukti pemiliknya, dan hakimlah yang akan memutuskan siapa diantara mereka yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut dengan bersandar pada hukum pembuktian yang diatur dalam HIR maupun Burgerlijk Wetbok. Sedangkan Sertipikat tanah yang diterbitkan berdasarkan alat bukti yang tersebut dalam Pasal 23 dan 24 Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997 masih terbuka kesempatan lima Tahun sejak terbitnya Sertipikat tersebut untuk mempertahankan haknya bagi orang yang merasa lebih berhak atas tanah tersebut dengan jalan mengajukan gugatan ke Pengadilan yang berwenang.
D. Pendaftaran Tanah

1. Pengertian Pendaftaran Tanah

Tanah merupakan aset yang sangat berharga dan penting pada sekarang ini. Serta banyak sekali permasalahan yang timbul dan bersumber dari hak atas tanah. Untuk mengantisipasi dan mencegah perselisihan yang mungkin timbul maka pemilik hak perlu mendaftarkan tanah yang menjadi haknya supaya tidak terjadi sesuatu yang merugikan dikemudian hari dan menjadi bukti yang dapat dipertahankan terhadap pihak lain .

Hak atas tanah suatu bidang tanah harus didaftarkan . Pendaftaran Tanah bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dengan mendaftarkan hak atas tanah yang kita miliki maka kepemilikaan kita atas sebidang tanah berkekuatan hukum.
Menurut Boedi Harsono yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah :
“Merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur, terus menerus untuk mengumpulkan, menghimpun dan menyajikan mengenai semua tanah atau tanah-tanah tertentu yang ada disuatu wilayah”

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997 juga terdapat pengertian pendaftaran tanah yaitu dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah : “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terusmenerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi tanah yang sudah ada hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak yang membebaninya.”
Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern merupakan tugas negara yang dilaksanakan oleh pemerintah demi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Sebagaian kegiatannya yang berupa pengumpulan data fisik tanah yang haknya didaftar, dapat ditugaskan kepada swasta. Tetapi untuk memperoleh kekuatan hukum hasilnya memerlukan pengesahan pejabat pendaftaran yang berwenang, karena akan digunakan sebagai data bukti.
Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berkaitan 1 (satu) dengan yang lain, berurutan menjadi satu kesatuanrangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat.
Kata “terus – menerus” menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpuldan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir.
Kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan Peraturan Perundang-Undangan yang sesuai karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hukum negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah.
Dalam menyelenggarakan hak atas tanah dikenal 2 (dua) asas, yaitu :

1. Asas Spesialitas
Asas Spesialitas ini dapat kita lihat dengan adanya data-data fisik tentang suatu hak atas tanah. Data-data fisik tersebut berisi tentang luas tanah yang menjadi subjek hak, letak tanah tersebut, dan juga penunjukkan batas-batas secara tegas.
2. Asas Publisitas
Asas publisitas ini tercermin dari adanya data yuridis mengenai hak atas tanah seperti subjek hak nama pemegang hak atas tanah, peralihan hak atas tanah serta pembebanannya.
Adapun salah satu bukti bahwa pendaftaran tanah di Indonesia sudah memenuhi asas-asas tersebut adalah dengan disajikannya data-data yang dibagi 2 (dua) kelompok yaitu :
a. Data fisik adalah keterangan mengenai letak/lokasi, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.
b. Data yuridis keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban yang membebaninya.
2. Sistem Pendaftaran Tanah
Menurut Boedi Harsono Sistem pendaftaran tanah ada 2 (dua) macam yaitu :
1. Sistem Pendaftaran Hak (Registration of Titles)
2. Sistem Pendaftaran Akta (Registration of Deeds)
Digunakan adalah sistem pendaftaran hak sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, sedangkan sistem publikasi yang kita pakai yaitu sistem negatif mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat 2 sub c, Pasal 23 (2), Pasal 32 (2) dan Pasal 38 (2) UUPA.
Dalam sistem pendaftaran tanah mempermasalahkan: apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis serta bentuk bukti haknya. Dalam sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftar oleh pejabat pendaftaran tanah (PPT). Sikap dari PPT dalam sistem ini passif, ia tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar.
Oleh karena sistem ini memiliki kekurangan-kekurangan antara lain lamanya untuk memperoleh data yuridis yaitu harus dengan melakukan “title search”, maka diciptakanlah sistem pendaftaran tanah yang baru yang lebih sederhana dan dimungkinkan orang memperoleh keterangan-keterangan dengan cara yang mudah. Sistem pendaftaran tanah ini dikenal dengan nama registration of title atau lebih dikenal sebagai sistem Torrens. Dalam sistem ini bukan aktanya yang didaftar tetapi hak-hak yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Berbeda dengan sistem pendaftaran akta, sistem ini PPT bersikap aktif.
Pendaftaran tanah meliputi pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Maintenance) Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum terdaftar berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961 dan PP Nomor 24 Tahun 1997.


3. Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali
Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP Nomor10 Tahun 1961 atau PP Nomor 24 Tahun 1997.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :
1. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu Desa/Kelurahan. Umumnya prakarsa datang dari pemerintah, berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah secara sistematik.
2. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu Desa atau Kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara seporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang bersangkutan atau kuasanya.

4. Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah
Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Dalam hal pemeliharaan pendaftaran tanah (Maintenance) dilakukan apabila terjadi perubahan data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang didaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib pendaftarkan perubahan yang bersangkutan pada kantor Pertanahan. Dalam hal pemeliharaan data pendaftaran tanah PPAT diwajibkan mencocokkan terlebih dahulu isi sertifikat hak yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan sebelum diperbolehkan membuat akata yang diperlukan sebagaimana diatur pada Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peratuaran Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan, tepatnya di KecamatanDuampanua dan KecamatanWatang Sawitto, Alasan pemilihan lokasi tersebut diatas berdasarkan pertimbangan bahwa KecamatanWatang Sawitto merupakan Kecamatan yang terletak di tengah kota Pinrang dengan luas 13.249 Ha merupakan pusat perkotan di Kabupaten Pinrang sedangkan KecamatanDuampanua merupakan Kecamatan dengan luas sawah paling besar di Kabupaten Pinrang yaitu sekitar 6.760 Ha, juga merupakan Kecamatan dengan luas tambak paling luas 4.356 Ha dengan produksi udang 718,33 ton dengan nilai Rp 21.549.900 (2010). Pembangunan yang terus meningkat di dua Kecamatan ini secara tidak langsung di ikuti dengan perkembangan hukum sehingga secara langsung juga berpengaruh terhadap frekuensi pembuatan akta-akta tanah yang menggunakan jasa PPATCamat terlebih keberadaan PPAT Notaris yang belum cukup


B. Jenis dan Sumber Data
Data pendukung dalam penelitian ilmiah yang penulis lakukan terdiri atas 2 (dua) jenis data, yakni:
a. Data primer, yaitu data dan informasi yang diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan pejabat instansi pemerintahan terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional, Camat selaku PPAT Sementara, Kepala Desa (Lurah) dan Kepala Lingkungan serta pihak yang telah melakukan transaksi disertai dengan bukti akta PPATS
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi atau lembaga tempat penelitian penulis, data tersebut dapat berupa jumlah transaksi hak atas tanah dan perbuatan hukum terkait tanah di Kantor Kecamatan ,Desa/ Kelurahan, serta Kantor Kepala Badan Pertanahan terkait pendaftaran tanah.
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data yaitu :
1. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan dengan melakukan pengambilan data langsung melalui wawancara dengan instansi pemerintahan terkait yaitu Camat selaku PPAT Sementara, Kepala Desa atau Lurah, selain itu penulis akan melakukan kuisioner kepada para pihak yang telah melakukan perbuatan hukum terkait dengan tanah disertai dengan bukti akta PPATS.
2. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku atau literatur serta pendekatan Undang-Undang (statute approch) yang telah ada yang berhubungan dengan penelitian.
D. Analisis Data
Di dalam pelaksanaan penelitian ini, data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, atau suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu menghimpun jawaban responden baik yang tertulis maupun lisan, dan juga para pihak yang terkait. Jadi, penelitian ini tidaklah semata-mata bertujuan untuk memperoleh data yang konkrit tentang pelaksanaan pembuatan Akta oleh Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Sementara. akan tetapi juga mempelajari dan menganalisis faktor-faktor yang menjadi hambatan yang dihadapi Camat dalam pembuatan akta terhadap tanah, sehingga peneliti dapat menarik sebuah kesimpulan dan memberikan saran atas permasalahan yang diangkat oleh peneliti.


BAB IV
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis
Kabupaten Pinrang Secara Geografis terletak pada Koordinat antara 43°10'30"-30°19'13" Lintang Utara dan 119°26'30" - 119°47'20" Bujur Timur mempunyai batas-batas wilayah yang meliputi: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Sidenreng Rappang, Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat dan Selat Makassar, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kota Pare-Pare.

Peta Kabupaten Pinrang
2. Luas Wilayah
Secara administratif Kabupaten Pinrang terbagi atas 12 Kecamatan dan 68 Desa serta 36 Kelurahan yang terdiri dai 86 lingkungan dan 189 dusun, luas wilayah Kabupaten Pinrang tercatat 1.961,77 Km2 atau 196.177 Ha .
Dua belas Kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Suppa, Kecamatan Lembang, Kecamatan Mattiro Bulu, Kecamatan Mattiro Sompe, Kecamatan Lanrisang, Kecamatan Tiroang, Kecamatan Batulappa, KecamatanWatang Sawitto, KecamatanDuampanua, Kecamatan Patampanua. Kecamatan Cempa, Kecamatan Paleteang
KecamatanWatang Sawitto merupakan Kecamatan yang terletak di tengah kota Pinrang dengan luas 13.249 Ha merupakan pusat perkotan di Kabupaten Pinrang sedangkan KecamatanDuampanua merupakan Kecamatan dengan luas sawah paling besar di Kabupaten Pinrangyaitu sekitar 6.760 Ha, juga merupakan Kecamatan dengan luas tambak paling luas 4.356 Ha dengan produksi udang 718,33 ton dengan nilai Rp 21.549.900 (2010). Berikut rincian luas wilayah dan penggunaan lahan di Kabupaten Pinrang.


Tabel 1
Data Luas Wilayah Kabupaten Pinrang menurut KecamatanTahun 2011
No. Kecamatan Luas wilayah Persentase Luas Kabupaten
1 Suppa 7.420 3,8
2 Mattiro Sompe 9.699 4,9
3 Lanrisang 7.301 3,7
4 Mattiro Bulu 13.249 6,8
5 Watang Sawitto 5.897 3,0
6 Paleteang 3.729 2,0
7 Tiroang 7.773 3,9
8 Patampanua 13.685 7,0
9 Cempa 9.030 4,6
10 Duampanua 29.168 14,86
11 Batulappa 15.899 8,1
12 Lembang 73.309 37,3
Jumlah 196.177 100
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010
Tabel 2
Data Luas Lahan Berdasarkan Penggunaan Tiap Kecamatan
Di Kabupaten PinrangTahun 2010
No. Kecamatan Jenis Penggunaan Lahan
Sawah (Ha) Bukan Sawah (Ha) Bukan Pertanian(Ha) Jumlah (Ha)
1 Suppa 1.450 5.497 473 7.420
2 Mattiro Sompe 4.756 3.964 979 9.699
3 Lanrisang 3.684 2.937 680 7.301
4 Mattiro Bulu 5.156 7.296 797 13.249
5 Watang Sawitto 4.289 1.009 599 5.897
6 Paleteang 2.323 472 934 3.729
7 Tiroang 4.830 2.703 240 7.773
8 Patampanua 5.642 3.792 2.251 13.685
9 Cempa 4.796 4.027 207 9.030
10 Duampanua 6.760 20.528 1.898 29.168
11 Batulappa 1.063 10.164 4.128 15.899
12 Lembang 3.489 15.601 54.219 73.309
Jumlah 48.778 79.994 67.405 196.177
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010

Tabel 3
Luas Lahan Sawah Berdasarkan Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan
Di Kabupaten PinrangTahun 2010

No Kecamatan Jenis Lahan Sawah
Irigasi teknis Irigasi ½teknis Irigasi sederhana Tadah hujan
1 Suppa 994 - - 456
2 Mattiro Sompe 4.540 216 - -
3 Lanrisang 3.684 - - -
4 Mattiro Bulu 4.021 - 71 1.064
5 Wt. Sawitto 3.469 840 - -
6 Paleteang 2.323 - - -
7 Tiroang 4.830 - - -
8 Patampanua 4.327 - 1.315 -
9 Cempa 4.796 - - -
10 Duampanua 4.550 772 792 646
11 Batulappa - - 665 850
12 Lembang 53 1.069 701 1.719
Jumlah 37.587 2.877 3.544 4.735
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010
Penggunaan tanah di Kabupaten Pinrang yang luasnya 1.961,77 km2 atau 196.177 Ha, terbagi dalam bentuk yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah serta non petanian. Lahan sawah 48.709 Ha dan lahan bukan 79.994 Ha ,non pertanian 67.405 Ha. Luas lahan sawah tersebut menurut jenisnys diatas dapat dirinci yaitu sawah pengairan setengah teknis 2. 877 Ha , pengairan teknis 37.632 Ha, tadah hujan 4.722 Ha, Irigasi Desa/Non PU : 3.478 Ha.

Panjang saluran, saluran induk 45,826 km, skunder 402,863 km, tersier 474,686 km, kwarter 1.263,690 km, Lahan Bukan Sawah seluas 79.661 Ha terdiri dari Empang/ Tebat 14.00 Ha, Perkebunan 12.177 Ha, Padang penggembalaan 6960 Ha, Tegalan/Kebun 20.793 Ha, Pohon Hutan Rakyat 12.922 Ha, Ladang/Huma 5.062 Ha, Tambak/Kolam 12.311 Ha, Lain-Lain 48.045 Ha.
3. Penduduk
Jumlah Penduduk di Kabupaten PinrangTahun 2009 adalah 3482.110 Jiwa tediri dari laki-laki 164.959 Jiwa (48,31%) dan Perempuan 177.159 Jiwa (51,69%), dengan kepadatan penduduk rata-rata 166,95 Jiwa/km2 sedang penduduk produktif 196.132 jiwa (59,88%), tidak produktif 131.384 jiwa (20,12%). Berikut data jumlah penduduk di rinci tiap Kelurahan di Kabupaten Pinrang:

Tabel 4
Data Banyaknya Penduduk Tiap Kelurahan Di Kabupaten PinrangTahun 2004-2009
No Kecamatan Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009
1 Suppa 28.101 28.354 28.351 28.621 30.590 30.742
2 Mt. Sompe 27.309 27.561 27.823 28.306 28.512 28.746
3 Lanrisang 17.151 17.215 17.374 17.510 17.706 17.745
4 Mattiro Bulu 25.659 25.777 25.901 26.024 25.954 26.179
5 Wt. Sawitto 43.250 43.441 43.497 43.624 44.996 44.647
6 Paleteang 30.210 30.456 30.587 30.679 31.407 31.458
7 Tiroang 18.732 18.803 19.172 19.233 19.292 19.253
8 Patampanua 30.621 30.718 30.917 31.250 31.541 31.729
9 Cempa 16.229 16.610 16.663 16.773 16.900 16.329
10 Duampanua 40.907 44.072 44.669 45.199 45.812 46.222
11 Batulappa 9.442 9.429 9.464 9.457 9.474 9.518
12 Lembang 37.852 38.002 38.232 38.637 38.761 39.950
Jumlah 321.516 330.438 332.921 335.270 340.954 342.110
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Pinrang
Mata pencaharian penduduk Kabupaten Pinrang terdiri dari atas sektor Pertanian yaitu:
• Petani : 62.198 Kk (68,61%)
• Petani Nelayan : 9.450 Kk (10,42%)
• Petani Peternak : 4.745 Kk (5,23%)
• Pedagang/Pengusaha : 11.576 Kk (12,76%)
• Jasa : 1.664 Kk (1,83%)
• Dan lainnya : 1.019 Kk (1,12%)


B. Keabsahan Akta PPATS Yang Ditandatangani Para Pihak Tidak Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara
1. Praktik Camat Selaku PPAT Sementara Dalam Pembuatan Akta Tanah di Kabupaten Pinrang.
a) Kedudukan dan Fungsi Camat Selaku PPAT Sementara di Kabupaten Pinrang.
Keberadaan Camat selaku PPAT Sementara telah di kenal luas di Kabupaten Pinrang, baik oleh masyarakatnya maupun para pihak yang melakukan perbuatan hukum terkait dengan tanah. Kehadirannya sangat penting di tengah pembangunan di Kabupaten Pinrang. Berdasarkan hasil penelitian penulis dapat diketahui bahwa dari dua belas Kecamatan yang ada dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Pinrang, seluruh Camat menjabat sebagai PPAT Sementara, masing-masing Camat tersebut dapat dilihat pada Tabel sebagai berikut :

Tabel 5
Camat Sebagai PPAT Sementara Di Kabupaten Pinrang

No. Kecamatan Camat / PPAT Sementara Dasar Pengangkatan (SK)
1 Watang Sawitto Arif Haji Amin,S.H.,M.H Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.89 thn 2010 tgl 10-08-2010
2 Batulappa Mukti Ali M,S.E Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.89 thn 2010 tgl 10-08-2010
3 Suppa Drs.Candra Yasin M.M Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.89 thn 2010 tgl 10-08-2010
4 Cempa Badaruddin, S.Sos Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.130 thn 2009 tgl 8-12-2009
5 Mattiro Bulu Drs. H. Aswadi Haruna, M.M Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.135thn 2009 tgl 21-12-2009
6 Mattiro Sompe Drs. Yusuf Habe Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.89 thn 2010 tgl 10-08-2010
7 Patampanua A. Khaidir Arifuddin, S.E,.M.Si Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.130 thn 2009 tgl 8-12-2009
8 Duampanua Yunidhar Sulthan, S.Sos Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.89 thn 2010 tgl 10-08-2010
9 Lembang Drs.Abd.RahmanMahmud, M.Si Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.130 thn 2009 tgl 8-12-2009
10 Tiroang Andi Mahmud Bancing A.P Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.92 thn 2011 tgl 18-5-2011
11 Lanrisang Drs. Muhammad Husain Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.89 thn 2010 tgl 10-08-2010
12 Paleteang Jabir, S.IP Kanwil Bpn Prov.Sul-Sel
No.92 thn 2011 tgl 18-5-2011
Sumber Data: Kantor Pertanahan Kabupaten Pinrang, Tahun 2011


Tabel 6
Notaris Sebagai PPAT Di Kabupaten Pinrang

No. Notaris Sebagai PPAT Wilayah kerja Dasar Pengangkatan (SK)
1 H. Muhammad Tahir, S.H Kab. Pinrang SK MENAG/KA BPN TGL 24-09-1993 No.15-XI-1978
2 Darmawati Madilade, S.H Kab. Pinrang SK MENAG/KA BPN TGL 4-12-2003 No.14-X-2003
3 Sri Rahmawati, S.H,.M.Kn Kab. Pinrang SK MENAG/KA BPN TGL 18-12-2006 No.606-XVIII-2006
4 Yusmiati Yusuf, S.H,.M.Kn Kab. Pinrang SK MENAG/KA BPN TGL 1-09-2008 No.9-XVII-PPAT-2008
5 Faisal, S.H,.M.Kn Kab. Pinrang SK MENAG/KA BPN TGL 24-09-2008 No.9-XVII-PPAT-2008
6 Sunarti Marlianti,S.H,.M.Kn Kab. Pinrang SK MENAG/KA BPN TGL 31-07-2011No.109/KBP-17.3/111/2011
Sumber Data: Kantor Pertanahan Kabupaten Pinrang, Tahun 2011
Berdasarkan data pada Tabel di atas dapat di ketahui bahwa seluruh Camat di Kabupaten Pinrangdiangkat sebagai PPAT sementara selain itu diperoleh suatu gambaran bahwa diangkatnya Camat di dua belas Kecamatan tersebut di atas sebagai PPAT Sementara Kabupaten Pinrang, menurut Ismail, Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran, Badan Pertanahan Kabupaten Pinrang, karena jumlah PPAT Notaris belum mencukupi. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Pasal 5 ayat (3a) Tahun 1998, yang menyatakan bahwa untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT dapat menunjuk Camat atau Kepala Desa sebagai PPAT Sementara.
Dari hasil penelitian penulis bahwa dari luasnya wilayah yang ada di Kabupaten Pinrang dengan jumlah penduduk 342.110 jiwa yang tersebar di dua belas Kecamatan belum dapat dilaksanakan oleh PPAT-Notaris, di mana sampai saat ini jumlah PPAT-Notaris di Kabupaten Pinrang hanya berjumlah enam orang dan hanya berpusat di Ibukota Kabupaten yang penduduknya padat dan Camat Selaku PPAT Sementara berjumlah dua belas orang sehingga PPAT di Kabupaten Pinrang adalah berjumlah delapan belas orang.
Berdasarkan jumlah PPAT tersebut di atas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Pinrang, menurut peraturan yang berlaku yang mengatur formasi dari PPAT di suatu wilayah sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1996, maka idealnya jumlah rasio PPAT-Notaris dengan jumlah penduduk adalah 1 : 80.000 jiwa untuk daerah yang kurang padat penduduk dan 1 : 40.000 jiwa untuk daerah padat penduduk.
Di Kabupaten Pinrang secara maksimal rasio ideal PPAT Notaris adalah 1 : 80.000 jiwa penduduk. Idealnya untuk wilayah Kabupaten Pinrangminimal membutuhkan sekitar 40 orang PPAT untuk mencukupi kuota. Hal ini disebabkan masih belum padatnya jumlah penduduk yang mendiami wilayah Kabupaten Pinrang, sehingga dengan maksimal rasio PPAT dengan jumlah penduduk ini, maka perbuatan hukum untuk memperoleh akta otentik peralihan hak atas tanah dapat berjalan dengan baik di daerah kerja masing-masing PPAT.
Dengan demikian, mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi seorang PPAT untuk pelayanan masyarakat untuk kegiatan di bidang hukum pertanahan terutama dalam hal pembuatan akta peralihan hak atas tanah seperti jual beli, hibah, tukar-menukar dan lain-lain, maka peranan Camat selaku PPAT Sementara masih sangat dibutuhkan, terutama untuk wilayah yang formasi PPAT Notarisnya masih belum terpenuhi. Sampai saat ini PPAT notaris di Kabupaten Pinrang hanya berjumlah 6 orang.
Lebih lanjut Ismail menyatakan, bahwa kondisi, letak geografis dari Kabupaten Pinrang yang cukup luas sehingga di antara satu Kecamatan dengan Kecamatan lain terdapat jarak yang cukup jauh, sehingga pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan jasa PPAT akan lebih optimal dengan keberadaan Camat selaku PPAT Sementara. Akses masyarakat lebih relatif cepat untuk menjangkau ibu kota Kecamatan dibandingkan pusat kota tempat Notaris-PPAT berkantor. Harus diakui, bahwa keberadaan Camat selaku PPAT Sementara di Kabupaten Pinrangsangat membantu masyarakat dalam mengurus pembuatan akta peralihan hak atas tanah yang ada di Kecamatannya.
Hal yang menarik yang ditemukan penulis bahwa di KecamatanWatang Sawitto dan Paleteang yang sesungguhnya berada di pusat kota Pinrang walaupun terdapat PPAT Notaris, di dua Kecamatan ini PPAT Sementara masih tetap menjalankan fungsinya.
Kedua Kecamatan ini menurut Ismail, keberadaan Camat selaku PPAT Sementara dirasakan masih sangat dibutuhkan demi kelancaran pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan tanah, sehingga masyarakat dapat memilih di mana mereka akan melakukan pembuatan akta atau perbuatan hukum terhadap tanah. Dengan demikian keberadaan Camat selaku PPAT Sementara sangat berperan dalam memenuhi pelayanan pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan tanah.
b) Proses Pembuatan Akta Tanah di hadapan Camat selaku PPAT
Peralihan hak atas tanah adalah sah apabila dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapanPPAT.Hal ini merupakan konsekuensi dari pemberlakuanPeraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Jadi di sini akta PPAT merupakan syarat mutlak bagi adanya peralihan hak atas tanah, artinya peralihan hak atas tanah tidak dapat dibuktikan dengan pengakuan dari para pihak saja.
Camat sebagai PPAT Sementara di Kabupaten Pinrang, yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah:
1. Bpk. Arif Haji Amin, S.H.,M.H, Camat Watang Sawitto
2. Bpk.Yunidar Sulthan, BA CamatDuampanua
Dari hasil wawancara dengan dua Camat tersebut di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan tugas mereka sebagai PPAT Sementara adalah didasarkan pengangkatan dan pengambilan sumpah oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu dengan cara mengajukan permohonan pengangkatan sebagai PPAT untuk wilayah kerjanya dengan melampirkan foto copy keputusan pengangkatan sebagai Camat melalui kepala kantor wilayah. Oleh karena itu barulah Camat tersebut sah secara hukum melakukan kegiatan peralihan hak atas tanah, selain itu sebelum melakukan tugasnya mereka wajib mengikuti pembekalan teknis pertanahan yang diselenggarakan oleh BPN RI .
Adapun hasil penelitian penulis mengenai banyaknya masyarakat yang mengadakan peralihan hak atas tanah selama Januari hingga Agustus Tahun 2011, di dua Kecamatan tersebut dapat dilihat dalam Tabel sebagai berikut :
Tabel 7
Data Perbuatan Hukum Berkaitan Dengan Tanah Di KecamatanWatang SawittoKabupaten Pinrang Januari-Agustus Tahun 2011
JENIS AKTA TANAH
BULAN BERJALAN
1 2 3 4 5 6 7 8
AKTA JUAL BELI 45 34 42 23 60 55 30 28
AKTA PEMBAGIAN HAK BERSAMA 15 1 13 3 2 3 2 -
AKTA HIBAH 5 3 5 4 1 8 2 1
JUMLAH 65 38 60 30 63 66 34 29
Sumber : Data Lapangan KecamatanWatang SawittoTahun 2011



Tabel 8
Data Perbuatan Hukum Berkaitan Dengan Tanah Di KecamatanDuampanuaKabupaten Pinrang Januari-Agustus 2011
JENIS AKTA TANAH
BULAN BERJALAN
1 2 3 4 5 6 7 8
AKTA JUAL BELI 37 8 15 14 18 32 29 49
AKTA PEMBAGIAN HAK BERSAMA - - 5 - - - - -
AKTA HIBAH - 2 - - - 1 1 1
JUMLAH 37 10 20 14 18 33 30 50
Sumber : Data Lapangan KecamatanDuampanuaTahun 2011
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa di KecamatanWatang Sawitto perbuatan hukum jual beli sebesar 317, hibah sebesar 29 dan pembagian hak bersama sebesar 39 transaksi, sedangkan di Kecamatan Duampanua perbuatan hukum jual beli sebesar 202, hibah sebesar 10, dan pembagian hak bersama sebesar 5 transaksi. Dari data tabel di atas dapat diamati bahwa pembuatan akta masih banyak dilakukan oleh Camat selaku PPAT Sementara di wilayah Kabupaten Pinrang.



Tabel 9
Jumlah Pembuatan Peralihan Hak Atas Tanah Yang ditangani oleh Camat Sebagai PPAT Sementara Januari-AgustusTahun 2011
No. Kecamatan Perbuatan Hukum Terkait Dengan Tanah Jumlah
Jual beli Hibah Pembagian hak bersama
1 Wt. Sawitto 317 29 39 385
2 Duampanua 202 10 5 217
Jumlah 519 39 44 602
Sumber : Data Lapangan Kec. Duampanua dan Kec. Wt. Sawitto Tahun 2011
Dari Tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa masih banyak masyarakat percaya terhadap Camat sebagai PPAT Sementara dalam melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. Meskipun perbuatan hukum yang banyak dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk jual beli, hibah dan pembagian hak bersama lebih mendominasi dalam hal jumlah jika dibandingkan dengan perbuatan hukum dari obyek peralihan hak atas tanah lainnya. Jika dicermati bahwa ke tiga bentuk perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang terdapat di dalam Tabel 9 tersebut maka hanya jual beli yang sering dilakukan di hadapan Camat selaku PPAT Sementara. Berdasarkan penjelasan di atas maka jelas bahwa keaktifan praktik Camat selaku PPAT Sementara di Kabupaten Pinrang terkhusus KecamatanWatang Sawitto dan KecamatanDuampanua hanya terbatas pada peralihan hak atas tanah dalam bentuk jual beli, hibah dan pembagian hak bersama, itupun hanya terbatas pada hak milik atas tanah.
Dari hasil wawancara dengan dua Camat tersebut di atas, bahwa masih banyaknya pembuatan akta tanah oleh masyarakat di hadapan Camat selaku PPAT Sementara disebabkan oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya akta PPAT sebagai alat pembuktian sempurna serta bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu terkait dengan tanah dan menjadi dasar pendaftarannya di Kantor Badan Pertanahan, selain itu masyarakat cenderung memberikan kepercayaan pembuatan akta Tanah oleh Camat karena Camat lebih mengenal wilayah yang dipimpinnya, terlebih keberadaan Kepala Desa dan Kepala Lingkungan setempat yang selalu berkoordinasi dengan Camat selaku PPAT terkait perbuatan hukum di wilayahnya.
Adapun kelemahan Camat selakuPPAT yaitu: sifat “Sementara”, di mana masyarakat menilai bahwa Camat selaku PPAT tersebut sifatnya hanya Sementara selama Camat tersebut menjabat di wilayah Kecamatan yang dipimpinnya sehingga kurang menjamin kepastian hukum terhadap akta yang dibuatnya.
Menurut penulis meningkatnya jumlah pembuatan akta tidak diiringi perbaikan pelayanan hal ini mengingat bahwa jabatan Camat tidak tetap, jika diperlukan oleh Pemerintah Daerah akan diganti dengan pejabat baru atau mutasi di Kecamatan lain sehingga pelayanan kepada masyarakat dalam peralihan hak atas tanah kurang efektif.
Berbeda dengan PPAT-Notaris bahwa proses peralihan hak atas tanah makin hari kualitasnya semakin meningkat, sehingga jumlah pembuatan akta tanah meningkat. Namun perlu dipahami bahwa PPAT harus memikirkan bahwa produk yang akan dihasilkan nanti adalah akta otentik dan untuk mendapatkan stempel otentisitas harus dipenuhi syarat-syarat tertentu baik menyangkut subjek, obyek dan formalitas dari perjanjian yang akan dibuat, oleh karena itu proses pembuatan akta oleh PPATmenurut ketentuan Perundang-Undangan dapat dibagi menjadi tiga tahap kegiatan yaitu tahap sebelum (persiapan pembuatan akta), pada saat (pelaksanaan pembuatanakta) dan setelah pembuatan (pendaftaran ke kantor pertanahan).
Adapun dari tahap-tahap dalam proses pembuatan akta peralihan hak atas tanah penulis dapat mengamati sebagai berikut :
1. Para Pihak Saling Berhadapan
Pelayanan pertanahan di Kabupaten Pinrang yang belum cukup jumlah PPAT, dimana urusan peralihan hak atas tanah diserahkan kepada aparat Desa/Kelurahan, karena masyarakat beranggapan bahwa dengan menyerahkan semua berkas yang dibutuhkan kepada staf Desa/ Kelurahan semua akan selesai dengan cepat dan sah, tanpa memperhatikan Peraturan Perundang-Undangan yang ada.
Dari hasil wawancara ditemukan fakta bahwa terkait pembuatan akta di KecamatanWatang Sawitto masyarakat cenderung menggunakan jasa kepala lingkungan sebagai pihak yang dipercayakan mengurus terbitnya suatu akta. Dari mulai proses permohonan hingga terbitnya akta, dari wawancara penulis dengan Ruslan Kepala Lingkungan Kelurahan Salo KecamatanWatang Sawitto menyatakan bahwa biasanya para pihak terutama pihak penjual mempercayakan pembuatan akta kepadanya, pihak penjual hanya membayar biaya seperti Pembayaran pajak Penghasilan (PPH) dan/ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta biaya-biaya lain terkait pembuatan akta hingga proses penandatanganan oleh Camat.
Menyangkut pembuatan akta di hadapan Camat, Ruslan menyatakan bahwa masyarakat dating kepadanya untuk penandatanganan tidak di lakukan di hadapan Camat secara langsung, menurutnya proses penandatangan hanya bersifat formalitas, yang paling penting menurutnya menjamin kebenaran obyek transaksi sehingga tidak timbul masalah di kemudian hari. Terkait penandatangan akta, setelah akta tersebut diisi /diketik mengenai kesepakatan para pihak di staf Kecamatan yang membidangi PPAT, akta tersebut kemudian ditandatangani secara terpisah baik itu oleh para pihak, saksi-saksi hingga akhirnya ditandatangani oleh Camat selaku PPAT. Terkait apakah akta tersebut dibacakan oleh Camat, Ruslan menyatakan bahwa Camat tidak pernah membacakan akta tersebut di hadapan para pihak karena menurutnya para pihak telah mengetahui isi akta yang mereka perjanjikan.
Berbeda halnya dengan KecamatanWatang Sawitto, di KecamatanDuampanua para pihak mempercayakan pembuatan aktanya kepada Staf Kecamatan, dari hasil wawancara dengan H. Junuddin Staf Kecamatan yang membidang PPAT mengemukakan bahwa pembuatan akta di KecamatanDuampanua seluruhnya dikerjakan dan dipercayakan kepadanya dari proses pengecekan ke Kantor Badan Pertanahan, pelunasan Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan/ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta biaya-biaya lain terkait pembuatan akta hingga akhirnya ditandatangani oleh Camat. Menurutnya masyarakat biasanya datang kepadanya untuk dibuatkan akta sehinggaperan Camat hanya menandatangani akta. Sama halnya di KecamatanWatang Sawitto penandatanganan akta oleh para pihak tidak pernah dilakukan di hadapan Camat menurut H. Junuddin syarat di buat di hadapan dan pembacaan isi akta oleh Camat hanya bersifat formalitas belaka yang mencari kebenaran formil menurutnya tugasnya hanya menjamin kejelasan obyek tanah menjamin tanah tersebut sesuai dengan data di pertanahan menyangkut data fisik dan yuridis (bersertifikat) dan /data Peta Blok/rincik (riwayat tanah) di Kelurahan/ Desa. Selain itu menurutnya Koordinasi antara Kepala Desa/Kelurahan mutlak dibutuhkan karena kepala Desa/Kelurahan mengetahui secara rinci terkait tanah diwilayahnya.
Berdasarkan proses dan tata cara pembuatan akta di atas, maka jelas perbuatan hukum tersebut tidak di hadapan Camat dan tidak dilakukan di kantor PPAT Sementara . Dengan demikian jelas bahwa akta yang dibuat tidak di hadapan Camat selaku PPAT sementara tidak memenuhi syarat keotentikan suatu akta, dan hal ini berpengaruh pada saat pembuktian di persidangan apabila terjadi sengketa, karena perbuatan hukum tersebut tidak di hadapan PPAT Sementara, mengakibatkan PPAT sementara tidak memahami proses terjadinya perbuatan hukum tersebut, sekaligus tidak mengikuti proses pemeriksaan syarat-syarat pembuatan akta baik identitas para pihak maupun dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Hal ini rentan sekali dengan pemalsuan tandatangan khususnya pihak penjual, karena saat ini banyak kasus sengketa terjadi dikarenakan pihak penjual yang merasa tidak tandatangan. Hal ini jelas berakibat akta menjadi cacat hukum.
Berdasarkan temuan penulis di kedua Kecamatan tersebut bahwa pembuatan akta di kedua Kecamatan tersebut tidak dilakukan di hadapan Camat selaku PPAT Sementara, Hal ini dipengaruhi oleh Faktor kebiasaan masyarakat sebelum berlakunya PP No 10 Tahun 1961 yaitu bahwa perbuataan hukum yang dilakukan masyarakat harus sepengetahuan Kepala Desa atau Lurah, selain itu, faktor ketidaktahuan masyarakat akan fungsi dan peran Camat selaku PPAT Sementara sehingga kebanyakan akta tersebut tidak dibuat oleh dan dihadapan Camat selaku Pejabat pembuat Akta Tanah Sementara sehingga akta tersebut tidak memnuhi syarat keotentikan suatu akta dan mengakibatkan akta tersebut tidak sah atau cact hukum.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka jelas dan nyata bahwa Camat selaku PPAT Sementara dalam melaksanakan tugasnya telah melanggar Pasal 52 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan nasional nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Pengecekan Sertifikat
Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah yang akan dialihkan oleh para pihak, maka sebelum melakukan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, Camat selaku PPAT Sementara wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian Sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan Sertipikat asli. Pemeriksaan Sertipikat sebagaimana dimaksud diatas adalah sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 39 PP Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Untuk keperluan itu harus diperlihatkan Sertipikat aslinya.
Dari hasil wawancara dengan staf Kecamatan yang membidangi pembuatan PPAT selain pemeriksaan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pinrang jika dianggap masih meragukan maka di lakukan pengecekan langsung tanah sebagai obyek transaksi untuk memastikan kebenarannya.
3. Penyiapan 2 (dua) orang saksi
Dalam pembuatan akta harus disaksikan oleh 2 orang saksi yang memberi kesaksian mengenai:
a. Identitas dan kapasitas penghadap;
b. Kehadiran para pihak atau kuasanya;
c. Kebenaran data fisik dan data yuridis obyek perbuatan hukum dalam hal obyek tesebut terdaftar;
d. Kebenaran dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan akta;
e. Telah terlaksananya perbuatan hukum tersebut oleh pihak yang bersangkutan.

Berdasarkan praktik yang terjadi, Camat selaku PPAT Sementara bahwa sebagai pelengkap yuridis sahnya suatu perjanjian peralihan hak atas tanah, sudah menjadi kebiasaan PPAT-Camat menggunakan saksi yaitu dari kepala Kelurahan dan kepala lingkungan dengan alasan bahwa keduanya dinilai mengetahui obyek tanah secara spesifik. Menurut aturan saksi yang dihadirkan hendaknya lebih dari seorang karena satu orang saksi tanpa ada bukti lain tidaklah diangap saksi (unus testis nullus testis), artinya suatu peristiwa dianggap tidak terbukti kalau hanya didasarkan keterangan seorang saksi. Keberadaan saksi ini berfungsi untuk menyaksikan terjadinya pelaksanaan peralihan hak atas tanah oleh para pihak di hadapan PPAT, bahwa benar peristiwa hukum pembuatan akta otentik tersebut bisa terjadi secara terang nyata dan riil, kemudian bersama-sama para pihak, Camat selaku PPAT Sementara, saksi-saksi yang hadir dalam pembuatan akta tersebut ikut menanda tangani perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak.
4. Blangko Akta
Pembuatan akta PPAT dalam Formulir akta otentik Sebagaimana diketahui bahwa suatu akta peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh Camat selaku PPAT Sementara akan berkualitas dan berfungsi sebagai alat bukti mengikat para pihak jika disusun secara yuridis dan memenuhi ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan seorang PPAT yang berkualitas dan berpengalaman membuat perjanjian, berpengetahuan hukum acara, pembuktian dan segi yuridis lainnya.
Berdasarkan penelitian penulis pada prinsipnya sebuah akta yang baik dan mempunyai kekuatan pembuktian, terutama akta peralihan hak atas tanah berdasarkan Pasal 96 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 harus menggunakan formulir sesuai dengan bentuk yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Berikut data permintaan blangko akta antara januari-agustus 2011

Tabel 10
Data Permintaan Blangko Akta Oleh CamatPPAT Januari-Agustus 2011
No. Kecamatan Camat / PPAT Sementara Permintaan Blangko Akta
1 Watang Sawitto Arif Haji Amin,S.H.,M.H 420 Blangko Akta
2 Batulappa Mukti Ali M,S.E 10 Blangko Akta
3 Suppa Drs.Candra Yasin M.M 88 Blangko Akta
4 Cempa Badaruddin, S.Sos 26 Blangko Akta
5 Mattiro Bulu Drs. H. Aswadi Haruna, M.M 125 Blangko Akta
6 Mattiro Sompe Drs. Yusuf Habe 50 Blangko Akta
7 Patampanua A. Khaidir Arifuddin, S.E,.M.Si 75 Blangko Akta
8 Duampanua Yunidhar Sulthan, S.Sos 250 Blangko Akta
9 Lembang Drs.Abd.Rahman M, M.Si 10 Blangko Akta
10 Tiroang Andi Mahmud Bancing A.P 95 Blangko Akta
11 Lanrisang Drs. Muhammad Husain 95 Blangko Akta
12 Paleteang Jabir, S.IP 300 Blangko Akta
Jumlah 1544 Blangko Akta

Dari tabel diatas dapat diamati bahwa permintaan blangko sepanjang januari hingga agustus 2011, paling banyak berasal dari KecamatanWatang Sawitto, sebanyak 420 blangko, kemudian KecamatanPaleteang sebanyak 300 blangko dan KecamatanDuampanua sebanyak 250 blangko.
Menurut Rosmalania Staf Pengolahan Data Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Pinrang bahwa permintaan blangko/ formulir akta oleh Camat cendrung meningkat hal ini terkait meningkatnya perekonomian dan pembangunan di tiap Kecamatan di Kabupaten Pinrang selain itu masyarakat mulai memberikan kepercayaan kepada Camat selaku PPAT terlebih keyakinan masyarakat akan pengetahuan Camat akan daerah wilayahnya selain itu kecendrungan masyarakat memilih Camat sebagai PPAT terlebih jika tanah yang di transaksikan belum bersertifikat, karena menurutnya Camat dan jajarannya lebih mengetahui obyek tanah karena memiliki data di Kelurahan / Desa seperti Peta Blok dan/ Rincik.
5. Pembacaan Akta oleh Camat Di Hadapan Para Pihak
Dalam pelaksanaanya seseorang PPAT Sementara di KecamatanWatang Sawitto dan Kecamatan Duampanua tidak membacakan mengenai isi dan maksud dari akta kepada para pihak, karena dalam pembuatan akta antara para pihak tidak saling berhadapan di hadapan PPAT Sementara, karena penandatanganan akta oleh Camat selaku PPAT Sementara semuanya telah diatur oleh Staf Kecamatan atau Kepala Lingkungan yang bersangkutan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka jelas amanat Pasal 101 ayat (3) Peraturan menteri Agraria / Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang pelaksanaan Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan sudah dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran berat dengan sanksi diberhentikan secara tidak hormat berat sesuai dengan Pasal 28 Ayat (4) huruf i Peraturan Kapala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006.
6. Pendaftaran dan penyampaian akta di Kantor Pertanahan
Mengenai penyampaian akta dan disertai dokumen-dokumen kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pinrang, berdasarkan ketentuan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 bahwa selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT sebagai seorang pejabat pelaksana pendaftaran tanah wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang disertakan kepada Kepala Kantor Pertanahan supaya dapat segera dilaksanakan proses pendaftarannya. Dalam hal ini kewajiban PPAT hanya sebatas pada penyampaian akta yang bersangkutan berikut berkasnya. Mengenai pendaftaran kegiatan selanjutnya serta penerimaan Sertipikatnya menjadi urusan pihak yang berkepentingan sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa dalam praktik di Kantor Pertanahan Kabupaten Pinrang keterlambatan penyampaian akta dan berkas-berkasnya untuk pendaftaran oleh PPAT ke Kantor Pertanahan tidak mengakibatkan batalnya akta yang bersangkutan dan menurut penulis ketentuan demikian sudah semestinya, karena kelalaian dari PPAT untuk mendaftarkan akta dari PPAT dalam batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penandatanganan akta tidak selayaknya membuat kepentingan para pihak diabaikan begitu saja dan sudah selayaknya pula PPAT yang mendapat sanksi atas kelalaiannya, oleh karena itu akibat hukum atas pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40 tersebut di atas, menurut ketentuan Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hanya dikenakan terhadap PPAT yang bersangkutan, sedangkan akibatnya atau akta tanahnya dapat di daftarkan.
c. Akibat hukum yang timbul atas kesalahan Camat selaku PPATSementara dalam pembuatan akta tanah.
Dari hasil penelitian penulis, menunjukan bahwa pada umumnya PPAT Sementara yang menjadi responden menyatakan pernah melakukan kesalahan di dalam praktik pembuatan akta peralihan hak atas tanah baik itu di lakukan pada saat persiapan, pelaksanaan pembuatan akta, dan pendaftaran atau penyampaian akta di Kantor Pertanahan. Adapun alasan yang dikemukan oleh para PPAT Sementara sehingga pernah melakukan kesalahan dan kelalaian tersebut antara lain:
1. Efektifitas dari profesi seorang Camat selaku PPAT pada umumnya sangat tergantung pada kinerja dan kualitas serta pengalaman staf yang dipercayakan menangani pembuatan akta peralihan hak atas tanah tersebut.
2. Kesibukan dari pekerjaan jabatan Camat, sehingga kurang mengontrol kinerja staf dalam pembuatan akta yang dipercayakan tersebut.
Timbul pertanyaan, bagaimana akibat hukum yang timbul, apabila dalam praktik pembuatan aktanya ada kesalahan atau mengabaikan ketentuan seperti yang diatur dalam PP Nomor 24 Tahun tentang Pendaftaran Tanah jo PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT dan peraturan pelaksananya.Apakah pembuatan akta hak atas tanah menjadi tidak sah dan karenanya batal demi hukum ? Oleh karena itu berdasarkan penelitian terhadap dua responden Camat, dapat dikemukan bahwa kesalahan sebagaimana telah diuraikan diatas adalah kesalahan dalam hal mana PPAT tersebut sering mengabaikan ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, karena mengingat ketentuan tersebut menjadi dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan pembebanan, maka PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan dengan mencocokkan data yang terdapat dalam Sertipikat dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan, kesalahan lain adalah berupa mengabaikan syarat-syarat formal terutama akta tanah yang ditandatangani sebelum pemohon menyerahkan bukti pembayaran pajak serta kesalahan tidak memenuhi syarat-syarat material pembuatan komparisi dan pembuatan isi akta yang diatur dalam Pasal 38 jo Pasal 39 dan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Adapun pada umumnya kesalahan ini terjadi karena tidak adanya pengetahuan dari responden Camat tentang ketentuan Pasal 97 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, yang mewajibkan PPAT untuk mencocokan Sertipikat asli di Kantor Pertanahan, Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang mengatur larangan penandatanganan akta sebelum pemohon menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa surat setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta kesalahan tidak memenuhi syarat-syarat material pembuatan komparisi dan pembuatan isi akta yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Akibat hukum dari kesalahan dengan tidak mencocokkan data yang terdapat dalam Sertifikat dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan menurut ketentuan Pasal 97 ayat (1) diatas, maka mempengaruhi kepastian hukum atas akta yang dibuat artinya batal demi hukum, dan akibat hukum penandatangan akta sebelum pemohon menyerahkan bukti pembayaran pajak hanya berakibat terhadap pejabat yang menandatangani akta tersebut yaitu berupa sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) seperti ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, sedangkan akta yang dibuat tetap mempunyai kekuatan hukum.
Sedangkan akibat hukum membuat akta yang tidak memenuhi syarat-syarat material, pembuatan komparisi dan pembuatan isi akta yang diatur dalam Pasal 38 jo Pasal 39 dan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menurut Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang mengatur sanksi, menyebutkan bahwa PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya melanggar ketentuan dalam peraturan ini atau peraturan pelaksanaan akan dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak menutup kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.
Menurut hemat penulis, terhadap kesalahan pembuatan akta peralihan hak atas tanah oleh PPAT Sementara yang mengabaikan ketentuan-ketentuan berupa tidak mencocokkan data yang terdapat dalam Sertipikat dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan dan tidak memenuhi syarat-syarat formal serta syarat-syarat material seharusnya dikenakan sanksi pejabat yang diatur secara tegas di dalam Undang-Undang sehingga PPAT Sementara tidak melakukan lagi kesalahan yang memberikan kesan meremehkan dengan alasan tidak tahu peraturan. Demikian juga terhadap larangan penandatanganan akta sebelum bayar pajak, seharusnya pihak yang berwenang menerapkan sanksi tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan mengesampingkan kebiasaan dalam masyarakat.
2. Keabsahan Akta Yang Dibuat Tidak Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta TanahSementara
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 1 butir 1 dan Pasal 2 menyebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Umum diberi kewenangan untuk membuat akta akta otentik mengenai perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang mencangkup jual beli, Tukar Menukar, Hibah, pemasukan Dalam Perusahaan (inbreng), Pembagian hak bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai akta otentik memiliki 2 (dua) fungsi yaitu :
1. Sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dan;
2. Sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Fungsi akta PPAT sebagai alat bukti menjadi sangat penting dalam membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar timbulnya hak atau perikatan hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1865 Burgelijk Wetboek yang menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Dalam pendaftaran tanah sistem publikasi yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 UUPA adalah sistem publikasi negatif yang tidak murni, melainkan sistem publikasi negatif yang bertendensi positif. Secara tersirat pembuktian yang kuat, seperti yang dinyatakan pada Pasal 19 Ayat (2) huruf c, Pasal 23 Ayat (2), Pasal 32 Ayat (2), Pasal 38 Ayat (2) UUPA. Bukan merupakan sistem publikasi negatif yang murni.Sistem publikasi yang negatif murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak, serta tidak akan ada pernyataan bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat. Sistim publikasi negatif yang murni diuraikan dalam penjelasan Pasal (2) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, Yaitu:
“Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sitem publikasi positif, yang kebenaran data yang digunakan dijamin oleh Negara, melainkan menggunakan sistim publikasi negatif, Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi secara murni. Hali ini nampak pada pernyataan Pasal 19 Ayat (2) UUPA bahwa surat tanda bukti yang diterbitkan sebagai alat bukti yang kuat. Selain itu, dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur pengumpulan,pengolahan, penyimpanan, penyajian fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam peraturan pemerintah ini, tampak jelas untuk memperoleh dan menyajiak data yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.”
Bukti bahwa sistim publikasi dalam pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA adalah sistim publikasi negatif yang mengandung unsur positif, hal ini dapat diamati yaitu:
1. Pendaftaran tanah mengahasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak. Kata “kuat” disini mengandung ciri unsur publikasi negatif.
2. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles), bukan sistem pendaftaran akta (registration of deed) sistem pendaftaran hak (registration of titles) merupakan ciri sistem publikasi positif.
3. Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam akta/sertifikat. Hal ini ciri sistem publikasi negatif.
4. Petugas pendaftaran tanah bersifat aktif meneliti kebenaran data fisik dan data yuridis. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi positif.
5. Tujuan pendaftaran tanah untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi positif.
6. Pihak lain yang dirugikan atas tebitnya suatu akta/ sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk dimohonkan pembatalan atau mengajukan gugatan ke pengadilan agar sertifikat / akta dinyatakan tidak sah. Hal ini ciri sistem publikasi negatif.

Menurut penulis bahwa dianutnya publikasi negatif yang tidak murni atau mengandung unsur positif mengindikasikan bahwa pemegang hak dapat digugat sewaktu-waktu karena bisa saja akta tersebut lahir dari perbuatan hukum yang tidak sah, karena yang menentukan adalah pendaftaran hak bukan pendaftaran akta sehingga akta yang dibuat tidak di hadapan Camat selaku PPAT Sementaratidak memenuhi syarat formal yaitu dibuat oleh dan di hadapan Camat selaku PPATS sehingga akta tersebut tidak sah.
Adapun akta yang ditandatangani tidak di hadapan Camat sangat rentan terjadi penyalahgunaan oleh Lurah/Desa bahkan oleh penjual dalam memberikan informasi terkait status hukum tanah, hal ini membuktikan bahwa amanat Pasal 100 ayat 1 peraturan agrarian/ Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun 1997 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah no 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian bahwa akta yang dibuat tidak di hadapan PPAT sementara tidak memenuhi syarat formil dan keotentikan suatu akta dan hal ini akan berpengaruh pada saat pembuktian dipersidangan apabila terjadi sengketa, karena perbuatan hukum tersebut tidak di hadapan PPAT sementara, mengakibatkan PPAT sementara tidak mengetahui proses terjadinya perbuatan hukum tertentu terkait dengan tanah tersebut, sekaligus tidak mengikuti proses pemeriksaan syarat-syarat pembuatan akta baik identitas para pihak maupun dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Hal ini rentan sekali dengan pemalsuan tandatangan khususnya pihak penjual karena banyak terjadi sengketa yang terkait dengan hal tersebut sehingga akta tersebut cacat hukum.
C. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Terhadap Akta Yang Tidak Dibuat Di Hadapan Camat Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara
1. Jual beli
Pengertian jual beli yang dimaksud adalah jual beli hak atas tanah. Dalam praktik di sebut jual beli tanah . secara yuridis yang diperjualbelikan adalah hak atas tanah bukan tanahnya. Tujuan membeli tanah sebenarnya adalah untuk membeli hak atas tanah supaya pembeli dapat secar sah menguasai dan menggunakan tanah.
Istilah jual beli disebut dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan tanah yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Undang-Undang No 16 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, namun dalam Peraturan Perundang-Undangan tersebut tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan jual beli.
Berkenaan dengan pengertian jual beli tanah, Boedi Harsono menyatakan bahwa pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan harganya kepada penjual, jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu termasuk dalam hukum agraria atau hukum tanah. Pengertian jual beli tanah menurut bodi harsono, ruang lingkup obyeknya terbatas hanya pada hak milik atas tanah.sifat jual beli tanah menurut Effendi perangin, adalah :
1. Contan atau Tunai
Contan atau Tunai artinya harga tanah yang dibayarkan bisa seluruhnya maupun sehabagian. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan secra bersamaan pada saat itu jual beli menurut hukum telah selesai.
2. Terang
Terang artinya jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan kepala Desa (kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi juga dalam kedudukannya sebagai pihak yang menaggung bahwa jual beli tanah tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku. Jual beli tanah yang dilakukan di hadapan kepala Desa ini menjadi “terang” bukan perbuatan hukum yang “gelap” artinya pembeli mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagi pemilik tanah yang baru dan mendapatkan perlindungan hukum jika dikemudian hari gugatan terhadapnya terhadapnya dari piahk yang menganggap jual beli tersebut tidak sah.

Jual beli tanah menurut hukum adat terdapat suatu perbuatan hukum , yaitu hak atas tanah berpindah dari penjual kepada pembeli pada saat dibayarnya harga tanah secara tunai oleh pembeli kepada penjual. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan perjanjian sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1457 BW, melainkan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atsatanah dari pemegang hak (penjual) kepada penerima hak (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang secara tunai yang dilakukan di hadapanKepala Desa/ Kepala Adat setempat (bersifat terang).
Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat pebuat akta tanah (PPAT). Syarat jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT yang ditegaskan dalam Pasal 37 ayat 1 peraturan pmerintah no. 24 Tahun 1997. Syarat formal dalam jual beli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun tidak mutlak harus dibuktikan dengan akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat mendaftar pemindahan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta PPAT. hal ini diatur dalam Pasal 37 ayat 2 peraturan pemerintah no 24 Tahun 1997, yaitu dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh menteri, kepala kantor pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang tanah hak milik yang dilakukan oleh perorangan warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut kepala kantor pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftarkan pemindahan hak yang bersangkutan.
Selain hal tersebut diatas keharusan akta dibuat oleh PPAT tidak hanya pada hak atas tanah yang telah terdaftar (bersertifikat) namun juga pada hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) di kantor pertanahan kabupaten/kota. Kalau jual beli hak atas tanah belum terdaftar (belum bersertifikat) dan tujuannya untuk didaftarkan dikantor pertanahan Kabupaten/Kota, maka jual belinya dapat dibuat dengan akta di bawah tangan (bukan oleh PPAT).
Jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar dan tujuannya untuk didaftarkan ke kantor pertanahan melalui pendaftaran tanah secara seporadik, maka jual beli harus di buat dengan akta PPAT. Sejak berlaku efektif peratutan pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tanggal 8 oktober 1997, jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar yang tidak dibuat dengan akta PPAT, maka permohonan pendaftaran tanah dalam pendaftarannya secara seporadik ditolak oleh Kepala Kentor Pertanahan Kabupaten/Kota. Agar permohonan pendaftaran tanah dalam pendaftannya secara seporadik dikabulkan oleh kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maka dilakukan jual beli ulang oleh penjual kepada pembeli yang dibuat dengan akta PPAT.
Dengan telah dibuatnya akta jual beli oleh PPAT maka pada saat itu juga terjadi peralihan/pemindahan hak atas tanah dari pemegang haknya sebagai penjual kepada pihak lain sebagai pembeli. Namun pemindahan hak tersebut hanya diketahuai oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli), pihak ketiga tidak mengetahui tentang adanya jual beli tersebut, agar pihak ketiga mengetahuinya, maka jual beli tersebut harus didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten/kota setempat karena pendaftaran tanah mempunyai sifat terbuka.
Dengan pendaftaran pemindahan hak ke kantor pertanahan kabupaten/kota, maka terpenuhilah asas publisitas dalam pendaftaran tanah, yaitu setiap orang dapat mengetahui data fisik berupa letak, ukuran, batas-batas tanah dan data yuridis berupa subjek hak, status hak dan pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
2. Pelindungan Hukum terhadap Pembeli
Perlindungan menurut kamus umum bahasa Indonesia berarti hal (perbuatan) melindungi, sedangkan yang dimaksud hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu hidup bersama, keseluruhan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.Dengan demikian maka perlindungan hukum dapat diartikan sebagai pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya atau perlindungan terhadap kepentingannya sehingga yang bersangkutan aman.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 1 butir 1 dan Pasal 2 menyebutkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Umum diberi kewenangan untuk membuat akta akta otentik mengenai perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang mencangkup jual beli, Tukar Menukar, Hibah, pemasukan Dalam Perusahaan (inbreng), Pembagian hak bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai akta otentik memiliki 2 (dua) fungsi yaitu :
1. Sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun;
2. Sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Fungsi akta PPAT sebagai alat bukti menjadi sangat penting dalam membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar timbulnya hak atau perikatan hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1865 BW yang menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Di dalam Pasal 1866 BW pun menyebutkan bahwa alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam perkara perdata terdiri dari :
a) Bukti tulisan;
b) Bukti dengan saksi-saksi;
c) Persangkaan-persangkaan;
d) Sumpah;
e) Pengakuan.
Menurut Penulis, Bukti tulisan ditempatkan sebagai bukti utama, yang mengarah kepada kebenaran formal. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan. Tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan ditempat akta tersebut dibuat. Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh Undang-Undang, tanpa perantara atau tidak di hadapan Pejabat Umum yang berwenang. Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti.
Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Jika hal ini terjadi, maka menurut penulis, agar mempunyai nilai pembuktian, tulisan tersebut harus dikaitkan atau didukung dengan alat bukti yang lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna, sedangkan akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika para pihak mengakuinya maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik. Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Burgerlijk Wetbok dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya ( Pasal 1338 Burgerlijk Wetbok) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak. Sesuai dengan fungsi pembuktian dalam perkara perdata, akta-akta otentik yang dibuat di hadapanPPAT termasuk dalam lingkup bukti tulisan yang dimaksud dalam Pasal 1866 Burgerlijk Wetbok, menurut Burgerlijk Wetbok, bukti tulisan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu bukti tulisan lainnya; bukti tulisan otentik; dan bukti tulisan di bawah tangan. Pembedaan bukti tulisan dalam 3 (tiga) macam ini, disimpulkan dari beberapa Pasal dari KUHPerdata yaitu :
1. Pasal 1874 ayat (1) yang menyatakan bahwa sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
2. Pasal 1869 yang menyatakan bahwa suatu akta yang dibuat di hadapan Pejabat Umum yang tidak berwenang atau cacat dari segi bentuknya tidak berlaku sebagai akta otentik, namun mempunyai kekuatan bukti sebagai akta di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.
3. Pasal 1867 yang menyatakan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.
Menurut Pasal 1874 Burgerlijk Wetbok, yang dimaksud dengan bukti tulisan lain adalah surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lainnya, yang dibuat bukan dengan tujuan sebagai alat bukti di muka pengadilan dan tidak harus ada tanda tangannya. Bukti tulisan di bawah tangan atau otentik mengharuskan adanya tanda tangan dan sengaja dibuat sebagai alat bukti di muka pengadilan serta memuat peristiwa-peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan perikatan. Bukti tulisan di bawah tangan (akta di bawah tangan) dan bukti tulisan otentik (akta otentik) berbeda dengan bukti tulisan lainnya yang tidak mengharuskan adanya tandatangan.

Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu seperti jual beli, tukar menukar, hibah dan lainnya termasuk dalam lingkup perjanjian timbal balik, yang keabsahannya bersumber dari Burgelijk Wetboek (BW) dan tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh badan Pertanahan Nasional. Sahnya suatu perjanjian diatur dalam Burgerlijk Wetbok, diantaranya dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetbok yang mengatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjianharus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Kecakapan membuat perjanjian
c. Suatu hal tertentu
d. Kausa yang halal
Perbuatan-perbuatan hukum jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan dan kuasa membebankan hak tanggungan yang menjadi kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah, termasuk dalam bentuk perjanjian dan arena itu tunduk pada ketentuan tentang syaratsyarat sah nya suatu perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetbok dan asa kebebasan berkontrak yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetbok Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah berasal dari Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, sehingga kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat dilihat dari 2 (dua) sumber yaitu:
a. Di bidang hukum perdata untuk membuat akta-akta tanah seperti jual beli, tukar menukar, hibah, dan lain-lainnya.
b. Di bidang hukum administrasi, dalam menjalankan sebagian kegiatan pendaftaran tanah yang menjadi tugas pokok Pemerintah.
Dari hasil wawancara dengan Ismail kepala seksi hak tanah dan pendaftaran tanah menyatakan bahwa fungsi utama PPAT adalah menjalankan fungsi di bidang hukum perdata karena para pihak terutama pembeli melakukan perbuatan hukum seperti jual beli mengharapkan adanya bukti kuat atas perbuatannya untuk mempertahankannya dari klaim atau pengakuan pihak yang tidak bertanggung jawab.
Perlindungan terhadap pihak-pihak yang melakukan pemindahan melalui jual beli tanah juga terdapat pada tanggung jawab PPAT dalam pembuatan akta pemindahan hak atas tanah seperti diatur pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang pelaksanaannya diatur dalam Pasal 53 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No 1 Tahun 2006. Dalam Pasal tersebut menyatakan adanya kewajiban PPAT untuk melakukan pendataan tentang tanah yang dipindahkan haknya secermat mungkin sehingga terhindar dari cacat hukum data yuridis yang akan dipergunakan sebagai data pendukung pembuatan akta pemindahan hak atas tanah.
Berdasarkan semua keterangan di atas terlihat bahwa perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap pemenuhan hak semua pihak dalam pengikatan jual beli selain sesuai perlindungan hukum yang diberikan oleh kekuatan akta otentik juga dapat berlandaskan Pasal 1338 Burgelijk Wetbok (BW), serta niat baik dari para pihak untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat. Hal ini sesuai dengan kekuatan pembuktian dari akta otentik sebagaimana yang diungkapkan oleh G.H.S Lumban Tobing yang menyatakan, menurut pendapat umum yang dianut pada setiap akta akta otentik dibedakan tiga kekuatan pembuktian jika dibandingkan dengan akta dibawah tangan, yaitu :
1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah
Maksudnya adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan itu menurut Pasal 1875 Burgelijk Wetboek tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat dibawah tangan, karena akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku sah terhadap siapa akta itu dipergunakan apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tandatangannya itu. Sedangkan akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya, atau dalam bahasa latin : “ acta publica probant sese ipsa. “ apabila suatu akta kelihatannya sebagai akta otentik, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu tidak otentik.
2. Kekuatan Pembuktian Formal
Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagaimana yang dilakukan dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu.
Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengan dan juga dilakukan sendiri oleh notaries sebagai pejabat umum didalam menjalankan jabatannya.
3. Kekuatan Pembuktian Material
Dalam kekuatan pembuktian material tidak hanya kenyataan bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga diisi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material.
Dengan semua hal yang telah penulis kemukakan di atas maka penulis berpendapat bahwa Perlindungan hukum terhadap pembeli terhadap akta yang tidak dibuat di hadapan Camat selaku PPAT sementara bahwa tidak terpenuhinya syarat keotentikan dan syarat formal suatu akta mengakibatkan akta tersebut lahir dari perbuatan hukum yang tidak sah. Hal ini rentan sekali dengan pemalsuan tandatangan khususnya pihak penjual. Hal ini jelas berakibat akta menjadi cacat hukum. Sehingga pihak penjual dapat digugat sewaktu-waktu dari pihak lain yang merasa dirugikan. Selain itu, konsekuensi dari sistim publikasi negatif yang dianut menyatakan bahwa tidak ada kepastian atas keabsahan suatu akta atau sertifikat, karena setiap saat dapat atau mungkin saja digugat dan dibatalkan jika terbukti sertifikat atau akta tersebut diterbitkan dengan prosedur yang tidak sah sehingga perlindungan terhadap pembeli sangat tergantung pada Camat dalam melaksanakan kewajibannya selaku PPAT untuk menjamin kebenaran perbuatan hukum serta pemenuhan syarat formal dan keotentikan suatu akta.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pembahasan dan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek dalam penelitian, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Keabsahan akta yang tidak di buat di hadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah tidak memenuhi syarat keotentikan suatu akta, hal ini berpengaruh pada saat pembuktian di persidangan apabila terjadi sengketa, karena perbuatan hukum tersebut tidak di hadapan PPAT Sementara, mengakibatkan Camat selaku PPAT sementara tidak memahami proses terjadinya perbuatan hukum tersebut, sekaligus tidak mengikuti proses pemeriksaan syarat-syarat pembuatan akta baik identitas para pihak maupun dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
2. Perlindungan hukum terhadap pembeli terhadap akta yang tidak dibuat di hadapanCamat selakuPPAT sementara bahwa tidak terpenuhinya syarat keotentikan dan syarat formal suatu akta mengakibatkan akta tersebut lahir dari perbuatan hukum yang tidak sah. Hal ini rentan sekali dengan pemalsuan tandatangan khususnya pihak penjual. Hal ini jelas berakibat akta menjadi cacat hukum. Sehingga pihak penjual dapat digugat sewaktu-waktu oleh pihak lain yang merasa dirugikan. Selain itu perlindungan terhadap pembeli sangat tergantung pada Camat dalam melaksanakan kewajibannya selaku PPAT yang menjamin kebenaran perbuatan hukum serta pemenuhan syarat formal dan keotentikan suatu akta.

B. Saran
1. Disarankan agar Camat selaku PPAT Sementara harus memikirkan dan memperhatikan bahwa produk yang akan dihasilkan nanti adalah akta otentik dan untuk mendapatkan stempel otentisitas harus dipenuhi syarat-syarat tertentu baik menyangkut subjek, obyek dan formalitas dari perjanjian yang akan dibuat sehingga menjamin kepasian hukum pemegang hak.
2. Disarankan agar Kantor Pertanahan Kabupaten dalam tugas pembinaan dan pengawasan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 benar-benar melaksanakan peraturan tersebut dengan sungguh sungguh. Jika secara ini kurang mendapat perhatian dan penanganan dari pihak penegak hukum, maka dikhawatirkan nantinya akan timbul kesan seolah-seolah peraturan itu lemah, sebaliknya jika peraturan itu sejak awal telah dilaksanakan secara efektif maka wibawanya akan sedemikian kuat, sehingga berangsur-angsur tertanam dalam kesadaran hukum para Camat dalam melaksanakan tugasnya selaku PPAT Sementara.

DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono. 1996. Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan). Djambatan: Jakarta.

---------------. 2007. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanannya). Djambatan: Jakarta.

Effendi Parangin. 1986. Hukum Agraria Di Indonesia (Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum). Rajawali Pers: Jakarta.

Hans Kalsen. 2010. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara. Terjemahan
Raisul Muttaqien. Nusa Media: Bandung.

Hasni. 2010. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah (Dalam Konteks UUPA- UUPR- UUPLH). Rajawali Pers: Jakarta.

Moh Kusnardi dan Bintan R. Saragih. 2005. Ilmu Negara. Gaya Medika Pratama: Jakarta

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Kencana: Jakarta.
Ropaun Rambe. 2006. Hukum Acara Perdata Lengkap. Sinar Grafika: Jakarta.

Sri Susyanti Nur. 2010. Bank Tanah (Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan). AS Publishing: Makassar.

Subekti. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Internusa: Jakarta.
Sudikno Mertokusumo. 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty: Yokyakarta.

Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Sinar Grafika: Jakarta.
---------------. 2010. Aspek Hukum Tanah Asset Daerah (Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, Kepasatian Hukum Atas Eksistensi Tanah). Prestasi Pustaka Publiseher: Jakarta.

Urip Santoso 2010. Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak atas Tanah. Kencana: Jakarta
------------. 2008. Hukum Agraria Dan Hak-hak Atas Tanah. Kencana: Jakarta.




Majalah

Farida Pattitingi, Tugas dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Mewujidkan Kepastian Hukum. Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol 15 Nomor 2, Juni 2007.

Madjid H. Abdullah, Penataan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Maluku Utara. Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa Vol 14 Nomor 4, Desember 2006.

Peraturan-Peraturan

Subekti dan R. Tjitsudibio, 1992. Cetakan ke 25, Burgerlijk Wetbok, Pradya Paramita: Jakarta.

UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)

UU No. 4 Tahun 1966 Tentang Hak Tanggunagn Atas Tanah.

PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan KBPN No. 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksana PP No. 24 Tahun 1997.

PP No. 37 Tahun 1998 Tentang Perturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan KBPN No. 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksana PP No. 37 Tahun 1998.


Sumber lainnya :

Moekijat. 1996. Kamus Agraria. Mandar Maju: Bandung
www.KamusBahasaIndonesia.org
http://www.landpolicy.or.id/kajian/13/tahun/2008/bulan/08/tanggal/02/id/13/http://pendaftaran-tanah.blogspot.com/2008/08/asas-asas-pendaftaran tanah.htmlhttp://arigawa.blogspot.com/2009/07/beberapa-asas-dan-tujuan pendaftaran.htmlhttp://irmadevita.com/2008/perbedaan-akta-otentik-dengan-surat-di bawah-tanganhttp://www.Pinrangkab.go.id/page/103/potensi-investasi-dan-peluang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar